Peran Sentral Parpol Islam Antara
Menegakkan Kedaulatan Umat dan Menjaga Persatuan Bangsa
Praktik kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat, manusia
tidak bisa lepas dari masalah politik yang bak lingkaran demit dan perpanjangan
tangan setan. Definisi apa itu politik semakin dinamis, tidak ada harga
matinya, tergantung siapa yang menterjemahbebaskannya, tergantung permintaan
dan kekuatan pasar.
Berpolitik secara awam adalah
mengedepankan, mengutamakan suatu kepentingan, yang tentunya kepentingan yang tak ada kaitan
dengan kemaslahaan umat. Kepentingan dimaksud memang didominasi oleh
kepentingan dan urusan dunia.
Ketika kepentingan menjadi motor
penggerak suatu gerakan politik, atau landasan ideologi sebuah partai politik,
maka kepentingan fragmatis – bersifat mendahulukan yang peting – seperti menjadi
suatu keharusan dan wajib.
Bagaimana parpol Islam atau yang
berlabel Islam dalam mengolah kepentingan politik atau politik kepentingan,
kita simak tindak tutur : “Saya ingin warga Muhammadiyah paham akan politik. Politik adalah jalan
mencapai kekuasaan. Dan, ini cara yang sah serta dilindungi oleh konstitusi dan
hukum. Jadi, janganlah alergi terhadap politik,” ujar Zulkifli. (sumber : Republika, Sabtu 13 Juni 2015, kahazanah hal 12).
Momentum bersejarah,
sebagai penanda bagaimana berpolitiknya parpol Islam, yaitu ketika MPR memilih
dan sekaligus memberhentikan presiden keempat RI yaitu K.H. Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus
Dur. Gonjang-ganjing inilah sebagai cikal bakal debut politik : apa yang kau
cari parpol Islam, mau apa parpol Islam, mau kemana parpol Islam.
Menegakkan kedaulatan
umat dengan merujuk konsep maslaha. Dari berbagai rujukan dapat disimpulkan :
Maslahah berasal dari akar kata sha-lu-ha yang secara harfiah berarti
baik, manfaat, dan penting. Maslahah adalah kepentingan pribadi (perorangan),
keluarga, dan masyarakat, karena maslahah adalah terpeliharanya kebutuhan
primer manusia, baik agama, jiwa, harta benda, keturunan, serta akal atau
kehormatan. Oleh karena itu, maslahah merupakan cita-cita setiap orang atau
kelompok, khususnya kaum muslimin. Kata al-maslahah adakalanya
dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan kata
al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan.
Teori
al-Maslahah telah dikemukakan oleh para pemikir hukum Islam, seperti
asy-Syatibi dan al-Ghazâli.
Menurut al-Gazâli,
yang dimaksud maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i, adalah ungkapan
yang pada intinya guna meraih kemanfaatan atau menolak kesulitan serta
memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah)
yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Sedangkan
al-Khawarizmi mendefinisikan maslahah dengan ”memelihara tujuan hukum Islam
dengan menolak bencana atau kerusakan yang merugikan makhluk.”
Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat
menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut
dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai al-mafsadah;
maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak
salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah.
Dari
pengertian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa maslahah adalah sarana untuk
menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang bersendi pada
prinsip menarik manfaat dan menolak mafsadat (kerusakan).
Dilihat
dari kandungannya, maslahah dibagi dua, yakni: maslahat umum (al-maslahat al-’am),
yakni maslahat untuk kepentingan orang banyak, dan maslahat khusus (al-maslhat al-khash),
yakni maslahat untuk kepentingan pribadi.
Menjaga
persatuan bangsa termasuk menjaga pemikiran yang mengacu kepada disintegrasi
bangsa.
Titik lemah, celah potensi retak yang sekaligus daya tahan, ketahanan NKRI
seolah sudah diprediksi oleh sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ada korelasi historis antara semangat dan jiwa
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mendasari rumusan Pancasila, khususnya sila
‘Persatuan Indonesia’. Dukungan setiap penduduk, warga negara, masyarakat akan
mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional, dalam kemajemukan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika.
Konflik segitiga
antara penguasa, pengusaha dan rakyat di daerah seolah menjadi tradisi.
Jangankan terjadi di daerah yang jauh jarak dari ibukota NKRI, yang di depan
mata saja seperti menu harian. Kasus penistaan agama oleh gubernur Jakarta di
sisa periode 2012-2017 sebagai bukti biang kerok konflik malah dipelihara oleh
negara.
Tak kalah serunya yaitu
praktik kepemimpinan nasional yang merakyat – istilah klasiknya adalah dari,
oleh, untuk rakyat - akan semakin mewujudkan hakikat persatuan Indonesia.
Itulah cita-cita para pendiri bangsa dan khususnya kita yang hidup pasca
proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Kontradiksi persatuan bangsa, persatuan
Indonesia, seolah apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa berkeringat, punya andil
banyak saat membentuk pemerintahan lima tahunan tetapi merasa masih tidak
mendapat imbalan jerih-payah yang sepandan, apakah akan menggunting dalam
lipatan. Atau malah main sendiri. Atau sama-sama
menggerogoti tiang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Perseteruan
antar penyelenggara negara mempertaruhkan masa depan generasi pewaris masa
depan.
Kita lupa,
pemahaman nilai-nilai persatuan untuk mewujudkan Indonesia ke depan yang lebih
adil, damai dan sejahtera, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hadiah dari para penjajah, melainkan
diraih, direbut dengan perjuangan, pengorbanan jiwa dan raga.
Pihak yang
berhasil menang dalam pilpres, bagaikan merebut kekuasaan dari tangan penjajah.
Mereka tak rela kalau lawan politik kebagian kursi kekuasaan yang sama,
terlebih malah duduk di kursi ketua. Pemenang merasa mempunyai wewenang
menentukan komposisi piminan DPR. Jabatan ketua DPR otomatis jatah dan haknya.
Terlihat
pada saat parpol Islam mengusung jagonya sendiri saat pilkada terlebih pilpres
atau mendukung jago atau kandidat bukan dari partainya. Parpol Islam silau oleh
prestasi duniawi pejawat, petahana yang ikut pilkada. Atau terpengaruh rekam
jejak paslon yang seolah sudah sukses dengan karir dunia. Ini barometer
sederhana tetapi secara empiris sebagai bukti bahwa parpol Islam hanya menggunakan
akal lahir untuk meyakinkan diri dalam merangkul paslon yang sedang berlaga.
Kembali ke judul, artinya umat
Islam selain harus merapatkan barisan, memperokoh persatuan dan kesatuan, juga
wajib memperkuat keilmuan maupun keislaman diri. Antar umat Islam agar tetap
saling mengingatkan. Kita simak firman Allah pada kitab Al Qur'an (QS
Al Dzariyat [51] : 55) : "Dan
tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman".
Memberi
peringatan merupakan bentuk lain dari nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (lihat surat Al
‘Ashr). [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar