Halaman

Rabu, 26 April 2017

Peran Sentral Parpol Islam Antara Menegakkan Kedaulatan Umat dan Menjaga Persatuan Bangsa



Peran Sentral Parpol Islam Antara Menegakkan Kedaulatan Umat dan Menjaga Persatuan Bangsa


Praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat,  manusia tidak bisa lepas dari masalah politik yang bak lingkaran demit dan perpanjangan tangan setan. Definisi apa itu politik semakin dinamis, tidak ada harga matinya, tergantung siapa yang menterjemahbebaskannya, tergantung permintaan dan kekuatan pasar.

Berpolitik secara awam adalah mengedepankan, mengutamakan suatu kepentingan, yang  tentunya kepentingan yang tak ada kaitan dengan kemaslahaan umat. Kepentingan dimaksud memang didominasi oleh kepentingan dan urusan dunia.

Ketika kepentingan menjadi motor penggerak suatu gerakan politik, atau landasan ideologi sebuah partai politik, maka kepentingan fragmatis – bersifat mendahulukan yang peting – seperti menjadi suatu keharusan dan wajib.

Bagaimana parpol Islam atau yang berlabel Islam dalam mengolah kepentingan politik atau politik kepentingan, kita simak tindak tutur : Saya ingin warga Muhammadiyah paham akan politik. Politik adalah jalan mencapai kekuasaan. Dan, ini cara yang sah serta dilindungi oleh konstitusi dan hukum. Jadi, janganlah alergi terhadap politik,” ujar Zulkifli. (sumber : Republika, Sabtu 13 Juni 2015, kahazanah hal 12).

Momentum bersejarah, sebagai penanda bagaimana berpolitiknya parpol Islam, yaitu ketika MPR memilih dan sekaligus memberhentikan presiden keempat RI yaitu K.H. Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur. Gonjang-ganjing inilah sebagai cikal bakal debut politik : apa yang kau cari parpol Islam, mau apa parpol Islam, mau kemana parpol Islam.

Menegakkan kedaulatan umat dengan merujuk konsep maslaha. Dari berbagai rujukan dapat disimpulkan :

Maslahah berasal dari akar kata sha-lu-ha yang secara harfiah berarti baik, manfaat, dan penting. Maslahah adalah kepentingan pribadi (perorangan), keluarga, dan masyarakat, karena maslahah adalah terpeliharanya kebutuhan primer manusia, baik agama, jiwa, harta benda, keturunan, serta akal atau kehormatan. Oleh karena itu, maslahah merupakan cita-cita setiap orang atau kelompok, khususnya kaum muslimin.  Kata al-maslahah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan kata al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan.

Teori al-Maslahah telah dikemukakan oleh para pemikir hukum Islam, seperti asy-Syatibi dan al-Ghazâli.  Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam arti  terminologis-syari, adalah ungkapan yang pada intinya guna meraih kemanfaatan atau menolak kesulitan serta memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Sedangkan al-Khawarizmi mendefinisikan maslahah dengan ”memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana atau kerusakan yang merugikan makhluk.”

Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai al-mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah.

Dari pengertian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa maslahah adalah sarana untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang bersendi pada prinsip menarik manfaat dan menolak mafsadat (kerusakan).

Dilihat dari kandungannya, maslahah dibagi dua, yakni: maslahat umum (al-maslahat al-’am), yakni maslahat untuk kepentingan orang banyak, dan maslahat khusus (al-maslhat al-khash), yakni maslahat untuk kepentingan pribadi.

Menjaga persatuan bangsa termasuk menjaga pemikiran yang mengacu kepada disintegrasi bangsa.

Titik lemah, celah potensi retak yang sekaligus daya tahan, ketahanan NKRI seolah sudah diprediksi oleh sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ada korelasi historis antara semangat dan jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mendasari rumusan Pancasila, khususnya sila ‘Persatuan Indonesia’. Dukungan setiap penduduk, warga negara, masyarakat akan mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional,  dalam kemajemukan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika.

Konflik segitiga antara penguasa, pengusaha dan rakyat di daerah seolah menjadi tradisi. Jangankan terjadi di daerah yang jauh jarak dari ibukota NKRI, yang di depan mata saja seperti menu harian. Kasus penistaan agama oleh gubernur Jakarta di sisa periode 2012-2017 sebagai bukti biang kerok konflik malah dipelihara oleh negara.

Tak kalah serunya yaitu praktik kepemimpinan nasional yang merakyat – istilah klasiknya adalah dari, oleh, untuk rakyat - akan semakin mewujudkan hakikat persatuan Indonesia. Itulah cita-cita para pendiri bangsa dan khususnya kita yang hidup pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Kontradiksi persatuan bangsa, persatuan Indonesia, seolah apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa berkeringat, punya andil banyak saat membentuk pemerintahan lima tahunan tetapi merasa masih tidak mendapat imbalan jerih-payah yang sepandan, apakah akan menggunting dalam lipatan. Atau malah main sendiri. Atau sama-sama menggerogoti tiang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Perseteruan antar penyelenggara negara mempertaruhkan masa depan generasi pewaris masa depan.

Kita lupa, pemahaman nilai-nilai persatuan untuk mewujudkan Indonesia ke depan yang lebih adil, damai dan sejahtera, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hadiah dari para penjajah, melainkan diraih, direbut dengan perjuangan, pengorbanan jiwa dan raga.

Pihak yang berhasil menang dalam pilpres, bagaikan merebut kekuasaan dari tangan penjajah. Mereka tak rela kalau lawan politik kebagian kursi kekuasaan yang sama, terlebih malah duduk di kursi ketua. Pemenang merasa mempunyai wewenang menentukan komposisi piminan DPR. Jabatan ketua DPR otomatis jatah dan haknya.

Terlihat pada saat parpol Islam mengusung jagonya sendiri saat pilkada terlebih pilpres atau mendukung jago atau kandidat bukan dari partainya. Parpol Islam silau oleh prestasi duniawi pejawat, petahana yang ikut pilkada. Atau terpengaruh rekam jejak paslon yang seolah sudah sukses dengan karir dunia. Ini barometer sederhana tetapi secara empiris sebagai bukti bahwa parpol Islam hanya menggunakan akal lahir untuk meyakinkan diri dalam merangkul paslon yang sedang berlaga.

Kembali ke judul, artinya umat Islam selain harus merapatkan barisan, memperokoh persatuan dan kesatuan, juga wajib memperkuat keilmuan maupun keislaman diri. Antar umat Islam agar tetap saling mengingatkan. Kita simak firman Allah pada kitab Al Qur'an (QS Al Dzariyat [51] : 55) : "Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman".

Memberi peringatan merupakan bentuk lain dari nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (lihat surat Al ‘Ashr). [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar