Dilema DPD, Alat
Pelaksana Kedaulatan Rakyat vs Alat Penguasa Negara
Salah satu faktor
pertimbangan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu
mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan
aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum. MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara yang diperkuat dengan Wewenang dan Tugas serta Hak dan Kewajiban
Anggota. Dan seterusnya.
Seperti kehendak
sejarah, apapun bisa terjadi diperiode 2014-2019. Semua yang akan terjadi sudah
terendus sejak pesta demokrasi 2014. Katakan, semua kejadian peristiwa sebagai
dampak dan efek berantai akibat pemenang pemilu legislatif rabu 9 Juli 2014, yang
tidak siap menang dan tidak punya kader yang siap maju di pilpres rabu 9 Juli
2014. Berbagai episode politis terjadi yang secara awam pun sudah bisa diduga
sebelumnya. Efek domino dari politik transaksional sangat nyata da terukur.
Lahirlah koalisi banci, koalisi aba-abal yang tergantung angin politik 2019.
Dalam praktik sehari-hari, khususnya yang diperagakan
oleh penguasa negara, liwat tayangan media massa, betapa bahasa politik menjadi
bahasa bertuah. Menjadi lagu wajib semua anak bangsa. Tak terkecuali wong cilik
yang gampang diakali, dikadali, diliciki.
DPD yang katanya termasuk alat pelaksana kedaulatan
negara, nyatanya sudah terkontaminasi bahasa politik sampai ke tulang sumsum. Modus
operandi DPD menikmati paruh waktu 2014-2019 bisa membalikkan itikad baik, niat
mulai.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar