Halaman

Minggu, 23 April 2017

arogansi biaya politik vs kemenangan semu



arogansi biaya politik vs kemenangan semu

Jika uang sudah mulai bicara untuk urusan berbangsa dan bernegara, otomatis akal, logika dan ilmu manusia langsung tereduksi. Bahkan berbanding lurus. Memang segalanya bukan karena uang, tetapi karena uang segalanya bisa terjadi.

KUHP utawa Kasih Uang Habis Perkara, ternyata memang ramuan sangat ampuh, mujarab, mustajab, cespleng, jitu. Manfaat nyata sebagai katalistor atau suatu energi untuk mempercepat, menyingkatkan, mempendekkan mata rantai proses atau laci-laci birokrasi.

Sejarah peradaban suatu bangsa menyuratkan dan menyiratkan kalau uang dianggap bisa, mampu “membeli” apapun, mampu “membayar” siapapun maka identik terjadi pembentukan peradaban semu. Detail atau rincinya bisa berupa kemenangan semu, kebahagiaan semu atau tampil sebagai polesan.

Pesta demokrasi, bahkan yang dipraktikkan di negara supermaju, adidaya, tak akan lepas dari biaya politik. Kampanye politik sampai pendekatan ke yang punya hak pilih, pendekatan door to door, pendekatan hati ke hati tak akan lepas dari atau bagian mata rantai biaya politik. Ini baru satu aspek untuk menggoalkan orang sebagai pimpinan daerah, apalagi nasional. Di Indonesia adalah pilkada dan pilkara (pemilihan kepala negara). Cerita lain namun ,engacu hal yang sama yaitu biaya politik pada pemilihan umum legislatif yang serentak mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Biaya politik mulai untuk membeli tiket agar bisa ikut pemilu loketnya khusus hanya ada di partai politik sampai upaya membeli suara pemilih.

Berpolitik sama saja sebagai berdagang. Tidak mau rugi sebagai pasal utama yang wajib dilanggengkan, dimuliakan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar