arogansi biaya politik
vs kemenangan semu
Jika uang sudah mulai bicara untuk urusan berbangsa dan bernegara, otomatis
akal, logika dan ilmu manusia langsung tereduksi. Bahkan berbanding lurus. Memang
segalanya bukan karena uang, tetapi karena uang segalanya bisa terjadi.
KUHP utawa Kasih Uang Habis Perkara, ternyata memang ramuan sangat ampuh, mujarab,
mustajab, cespleng, jitu. Manfaat nyata sebagai katalistor atau suatu energi untuk
mempercepat, menyingkatkan, mempendekkan mata rantai proses atau laci-laci birokrasi.
Sejarah peradaban suatu bangsa menyuratkan dan menyiratkan kalau uang
dianggap bisa, mampu “membeli” apapun, mampu “membayar” siapapun maka identik
terjadi pembentukan peradaban semu. Detail atau rincinya bisa berupa kemenangan
semu, kebahagiaan semu atau tampil sebagai polesan.
Pesta demokrasi, bahkan yang dipraktikkan di negara supermaju, adidaya, tak
akan lepas dari biaya politik. Kampanye politik sampai pendekatan ke yang punya
hak pilih, pendekatan door to door,
pendekatan hati ke hati tak akan lepas dari atau bagian mata rantai biaya
politik. Ini baru satu aspek untuk menggoalkan orang sebagai pimpinan daerah,
apalagi nasional. Di Indonesia adalah pilkada dan pilkara (pemilihan kepala
negara). Cerita lain namun ,engacu hal yang sama yaitu biaya politik pada
pemilihan umum legislatif yang serentak mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi
dan nasional. Biaya politik mulai untuk membeli tiket agar bisa ikut pemilu – loketnya khusus hanya ada di partai
politik – sampai upaya membeli suara
pemilih.
Berpolitik sama saja sebagai berdagang. Tidak mau rugi sebagai pasal utama
yang wajib dilanggengkan, dimuliakan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar