Plan B Pasca
Pikada DKI Jakarta Lebih Dahsyat Daripada Dendam Politik
Pendiri Maariff Institute Ahmad Syafii Maarif
berpendapat bahwa politisi Indonesia sebaiknya "naik kelas" atau berubah pandangan menjadi negarawan.
"Jangan cuma hanya jadi politisi, tetapi harus bisa naik kelas
menjadi negarawan agar tidak hanya mementingkan suatu golongan,"
kata Ahmad Syafii Maarif di Jakarta, Selasa malam 24/2/2015 (sumber : REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA).
Pendapat Buya Maarif, tentunya berdasarkan
fakta historis, tidak sekedar asumsi politis, tidak perlu melalui survei
pesanan, jajak pendapat, sampling ke pasar tradisional apalagi memakai jasa
penyelidikan dan penyidikan khusus. Aroma irama syahwat politik paruh akhir 2014-2019,
semakin liar. Nyaris membabi buta. Tidak sekedar memernuhi keinginan pasar dan
tantangan zaman.
Boneka hidup politik menguasai
panggung politik Nusantara. Terdapat duet pelaku utama yang meraja lela. Seolah
tanpa tanding. Bahkan leluasa berani menatap dan menantang langit biru.
Biaya politik tidak sekedar
mengandalkan Rp murni, tetapi malah sudah didominasi valuta asing, mata uang
asing dan tentunya skenario konspirasi asing. Disediakan penampungan atau
tujuan akhir hunian pemain asing untuk dikembangbiakkan di suatu gugusan pulau
baru, pulau buatan. Sebut saja reklamasi atau menyewakan pula kecil kepada
pihak asing.
Jadi, jangankan "naik kelas",
mempertahankan status diakui saja sudah mati-matian, sudah tak ada ampas yang
tersisa. Proyek percontohan dimana yang
mana akibat daripada tekanan hidup di bawah bayang-bayang politik lawan poltik – terlebih lawan politik adalah bekas
pembantunya saat sebagai presiden kelima –
selama penantian dua kali pesta
demokrasi, menjadikan naluri politik, insting politik tumbuh ke bawah. Bukan
tumbuh ke samping apalagi tumbuh ke atas. Daya tanggap, kepekaan, dan
kepedulian politik hanya sebatas urusan perut ke bawah, yaitu syahwat politik.
Sepuluh tahun memendam berbagai
jenis ambisi sekaligus menimbun berbagai ragam antipati. Dipastikan, yang
dipikirkan bukan negara ke depan, tetapi lebih bagaimana selama lima tahun ini
menjadikan negara sebagai hak milik, hak guna dan hak pakai. Nasibnya tersebut diubahm digubah
secara sendu menjadi wejangan politik, petuah politik kepada pasangan calon
petahana. Penjawat DKI-1 dan DKI-2 saat jelang putaran babak penentu pilkada
DKI Jakarta, Rabu 19 April 2017. Karena asas kepatuhan dan ketaatan maka
terjadilah apa yang sudah terjadi.
Nusantara dibawah ancaman cengkeraman cakar Naga Merah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar