Halaman

Senin, 24 April 2017

Plan B Pasca Pikada DKI Jakarta Lebih Dahsyat Daripada Dendam Politik



Plan B Pasca Pikada DKI Jakarta Lebih Dahsyat Daripada Dendam Politik

Pendiri Maariff Institute Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa politisi Indonesia sebaiknya "naik kelas" atau berubah pandangan menjadi  negarawan. "Jangan cuma hanya jadi politisi, tetapi harus bisa naik kelas menjadi  negarawan agar tidak hanya mementingkan suatu golongan," kata Ahmad Syafii Maarif di Jakarta, Selasa malam 24/2/2015 (sumber : REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA).

Pendapat Buya Maarif, tentunya berdasarkan fakta historis, tidak sekedar asumsi politis, tidak perlu melalui survei pesanan, jajak pendapat, sampling ke pasar tradisional apalagi memakai jasa penyelidikan dan penyidikan khusus. Aroma irama syahwat politik paruh akhir 2014-2019, semakin liar. Nyaris membabi buta. Tidak sekedar memernuhi keinginan pasar dan tantangan zaman.

Boneka hidup politik menguasai panggung politik Nusantara. Terdapat duet pelaku utama yang meraja lela. Seolah tanpa tanding. Bahkan leluasa berani menatap dan menantang langit biru.

Biaya politik tidak sekedar mengandalkan Rp murni, tetapi malah sudah didominasi valuta asing, mata uang asing dan tentunya skenario konspirasi asing. Disediakan penampungan atau tujuan akhir hunian pemain asing untuk dikembangbiakkan di suatu gugusan pulau baru, pulau buatan. Sebut saja reklamasi atau menyewakan pula kecil kepada pihak asing.

Jadi, jangankan "naik kelas", mempertahankan status diakui saja sudah mati-matian, sudah tak ada ampas yang tersisa.  Proyek percontohan dimana yang mana akibat daripada tekanan hidup di bawah bayang-bayang politik lawan poltik terlebih lawan politik adalah bekas pembantunya saat sebagai presiden kelima  selama penantian dua kali pesta demokrasi, menjadikan naluri politik, insting politik tumbuh ke bawah. Bukan tumbuh ke samping apalagi tumbuh ke atas. Daya tanggap, kepekaan, dan kepedulian politik hanya sebatas urusan perut ke bawah, yaitu syahwat politik. 
Sepuluh tahun memendam berbagai jenis ambisi sekaligus menimbun berbagai ragam antipati. Dipastikan, yang dipikirkan bukan negara ke depan, tetapi lebih bagaimana selama lima tahun ini menjadikan negara sebagai hak milik, hak guna dan hak pakai. Nasibnya tersebut diubahm digubah secara sendu menjadi wejangan politik, petuah politik kepada pasangan calon petahana. Penjawat DKI-1 dan DKI-2 saat jelang putaran babak penentu pilkada DKI Jakarta, Rabu 19 April 2017. Karena asas kepatuhan dan ketaatan maka terjadilah apa yang sudah terjadi.
Nusantara dibawah ancaman cengkeraman cakar Naga Merah. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar