éfék mukiyo révolusi méntal, pagi disanjung vs soré ditelikung
Bukan karena pikun, linglung atau faktor “U”. Namanya anak bangsa
Indonesia, malah bangga dengan kelakukan, akhlak atau budi pekerti yang tidak
ada duanya di antara negara ASEAN. Sebut saja perilaku manusia atau orang
politik.
Tidak ada pengaruhnya, ketika ada oknum ketum sebuah parpol menyatakan
pensiun. Dikiranya, kalau gembar-gembor lewat media, maka banyak pihak yang
akan nggondèli. Diduganya banyak pihak
akan menyayangkan kepensiunannya. Disangkanya kawan politik akan berkeberatan
atas ide cemerlangnya. Menurut anggapannya akan ada komunitas yang merasa
dirugikan. Terkaannya akan muncul gelombang protes. Asumsi politisnya merasa
memberi peluang, jalan, kesempatan kepada banyak kawan politik, khususnya lawan
politik, untuk melenggang, melaju, menyalipnya.
Di era Orde Baru, ada isu kalau Sultan HB IX meninggal dunia. Ada pihak
yang ingin tahu seberapa dampak berita itu. Yang secara politis ingin menakar
kadar loyalis suatu tokoh. Bisa sebagai batu sandungan atau saingan berat. Kendati
Sultan HB IX dikenal bersih dari ambisi politik serta tidak ingin menonjolkan
dirinya.
Menghadapi sisa paruh waktu periode 2014-2019, maneuver politik, modus
operandi politik, gerilta politik, operasi senyap politik semakin tak tentu
ujung pangkalnya. Bukannya meningkatkan kinerja, uber pretasi atau memenuhi
kewajiban dengan total, tetapi terangsang oleh daya pikat aroma irama semerbak pesta
demokrasi 2019.
Opisisi, koalisi yang akan terbentuk jelas sebagai hasil kemufakatan
politik yang sangat dinamis. Artinya, dalam hitungan tarikan nafas bisa berubah
secara drastis, tanpa pemberitahuan di awal atau terlebih dahulu. Pelanggan,
pembeli adalah raja.
Ironis binti miris, jika memang ternyata ada pihak yang sudah
menimang-nimang tetapi belum meminang. Bahkan calon yang akan dipinang pun tak
punya. Politik bukan sekedar sebagai panglima, politik adalah segala-galanya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar