beban ganda pengidap
penyakit politik
Ironis binti miris, jika ada politikus muda, politisi
pendatang baru, orang politik kagetan, mendadak gagal paham. Masuk rangkaian masa
depan buram dan suram, justru sedang berkecimpung, bercengkerama,
berasyik-asyik lupa janji kampanye di
sumber daya ideologi yang seolah “tanpa batas”, tanpa plafond. Karena tidak sadar
dan kurang sabar dengan uji kenikmatan dunia. Maunya lebih dari itu. Yang aman cuma
kader jenggot, kader karbitan, kader tiban, penerima warisan kekuasaan atau
partai politik sebagai perusahaan keluarga.
Hasil survei tanpa survei membuktikan, kontrak politik
lima tahun, seolah sebagai hasil akhir, puncak karir dan sekaligus sebagai babak
akhir. Itupun kalau tidak terkena OTT KPK atau turun di tengah jalan sebelum
jatuh tempo. Atau terayu, tergoda “rumput tetangga lebih merangsang”. Atau melihat jenjang
yang lebih menggiurkan.
Kewajiban sebagai anggota, pengurus, kader, elit parpol
lebih banyak kewajiban daripada hak. Kondisi ini sebagai sumber penyakit
politik. Kontrak politik menjadi tambahan penyakit politik. Ada sederet “kewajiban”
yang wajib dilaksanakan dan dilunasi.
Akhirnya, petugas partai yang argo politiknya sudah
jalan, menanggung beban ganda penyakit. Yaitu suatu pola penyakit yang diderita
oleh sebagian besar petugas partai, sesuai kadar status kursi, adalah penyakit
infeksi menular dan menjalar. Pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan
penyakit tidak menular tetapi mewabah serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik,
obat-obat terlarang sekaligus menggunakan pengaruh kekuasaannya.
Diagnosa yang
dilakukan oleh dukun politik, hanya menyimpulkan bahwa sang pengidap penyakit
politik akibat kurang asupan gizi namum overenergi berpacu di jalan pintas.
Padahal jalan
luhur, jalan lurus, jalan benar, atau minimal dengan mengunakan ketiga jalan
menuju pengetahuan tentang berpolitik dengan benar dan baik (nalar
tradisional, nalar rasional dan nalar spiritual) jelas tersedia 24
jam di depan mata.
Kendati seolah berada dalam posisi yang
hierarkis – walau dalam kategori yang sama yaitu penyelenggara negara – namun
berpijak pada subyek hukum sebagai manusia atau masyarakat politik, walhasil secara moral memiliki hakikat norma politik yang sama. Perbedaan ditentukan oleh landasan ideologi. Bisa
menganut ideologi terbuka atau sebaliknya menjadi pemraktik ideologi tertutup.
Mungkin, karena semua
pihak berinteraksi dengan individu yang karakteristik dan kapasitasnya yang
serupa tapi tak sewajah. Jadi, letak beda hanya pada kerangka logika teoritis. Sekali lagi, mungkin, mengacu karakteristik
segmen politik yang menjadi penerima manfaat dari aturan hukum politik. Kemungkinan
terakhir, bukan pada nilai benar dan baik.
Jangan lupa, otak
politik tidak mengenal tua, lupa, dan pikun. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar