Halaman

Selasa, 04 April 2017

beban ganda pengidap penyakit politik



beban ganda pengidap penyakit politik

Ironis binti miris, jika ada politikus muda, politisi pendatang baru, orang politik kagetan, mendadak gagal paham. Masuk rangkaian masa depan buram dan suram, justru sedang berkecimpung, bercengkerama, berasyik-asyik lupa janji kampanye  di sumber daya ideologi yang seolah “tanpa batas”, tanpa plafond. Karena tidak sadar dan kurang sabar dengan uji kenikmatan dunia. Maunya lebih dari itu. Yang aman cuma kader jenggot, kader karbitan, kader tiban, penerima warisan kekuasaan atau partai politik sebagai perusahaan keluarga.

Hasil survei tanpa survei membuktikan, kontrak politik lima tahun, seolah sebagai hasil akhir, puncak karir dan sekaligus sebagai babak akhir. Itupun kalau tidak terkena OTT KPK atau turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo. Atau terayu, tergoda “rumput tetangga lebih merangsang”. Atau melihat jenjang yang lebih menggiurkan.

Kewajiban sebagai anggota, pengurus, kader, elit parpol lebih banyak kewajiban daripada hak. Kondisi ini sebagai sumber penyakit politik. Kontrak politik menjadi tambahan penyakit politik. Ada sederet “kewajiban” yang wajib dilaksanakan dan dilunasi.

Akhirnya, petugas partai yang argo politiknya sudah jalan, menanggung beban ganda penyakit. Yaitu suatu pola penyakit yang diderita oleh sebagian besar petugas partai, sesuai kadar status kursi, adalah penyakit infeksi menular dan menjalar. Pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular tetapi mewabah serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik, obat-obat terlarang sekaligus menggunakan pengaruh kekuasaannya.

Diagnosa yang dilakukan oleh dukun politik, hanya menyimpulkan bahwa sang pengidap penyakit politik akibat kurang asupan gizi namum overenergi berpacu di jalan pintas.

Padahal jalan luhur, jalan lurus, jalan benar, atau minimal dengan mengunakan ketiga jalan menuju pengetahuan tentang berpolitik dengan benar dan baik (nalar tradisional, nalar rasional dan nalar spiritual) jelas tersedia 24 jam di depan mata.
 Kendati seolah berada dalam posisi yang hierarkis – walau dalam kategori yang sama yaitu penyelenggara negara – namun berpijak pada subyek hukum sebagai manusia atau masyarakat politik, walhasil  secara moral memiliki hakikat norma politik yang sama. Perbedaan ditentukan oleh landasan ideologi. Bisa menganut ideologi terbuka atau sebaliknya menjadi pemraktik ideologi tertutup.

Mungkin, karena semua pihak berinteraksi dengan individu yang karakteristik dan kapasitasnya yang serupa tapi tak sewajah. Jadi, letak beda hanya pada kerangka logika teoritis.  Sekali lagi, mungkin, mengacu karakteristik segmen politik yang menjadi penerima manfaat dari aturan hukum politik. Kemungkinan terakhir, bukan pada nilai benar dan baik.

 Jangan lupa, otak politik tidak mengenal tua, lupa, dan pikun. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar