intel Melayu vs koruptor
Nusantara
Entah karena pilon
berlagak spion atau mau gagah-gahan, untuk menakuti calon korban - tetapi bukan lawan politik – memperkenalkan
diri kalau dirinya adalah intel. Laku ini dikenal dengan sebutan ‘intel Melayu’.
Tak ada interelasi dan memang kebalikan dari mana ada maling yang mau mengaku. Kendati
sudah babak belur karena tertangkap basah, atau minimal kepergok mempunyai niat
makar.
Koruptor yang sudah
mempunyai hukum tetap atas keputusan pengadilan, tetap tak mau bilang kalau
dirinya adalah koruptor sejati. Hebohnya lagi, dengan dukungan pelaku industri media
massa, sang koruptor tanpa malu “menyanyi” menyebut kawan kolektif dan kelogial yang sama-sama
main uang negara/daerah.
Jadi, jelas kalau
koruptor tak mau jadi korban sistem. Tak mau dikorbankan untuk melindungi sitem
atau orang. Akibat berada di tempat yang dianggapnya aman pada waktu yang patut
dan layak, malah sehingga jadi korban OTT KPK.
Sistem hukum yang
berlaku di Nusantara, karena hukum yang berkuasa adalah hukum politik dan
bahasa politik, maka terpidana korupsi mendapat perlakuan dan hak istimewa. Bukan
karena pada umumnya koruptor adalah orang politik. De facto dan de jure, malah
dimuliakan di “tempat penginapan gratis”-nya. Napi bandar narkoba, tersangka
teroris, jelas kalah pamor. Tak salah kalau penjara bisa disulap jadi hotel
berbintang atau lokalisasi penggadaan uang tanpa perlu bantuan dukun manapun.
Jangankan di “tempat
pembuang sementara” koruptor, selama proses penyelidkan, penyidikan maupun
semua tahap di depan meja hijau, sudah tampak “kewibawaan uang” sang terasumsi
korupsi. Aparat penegak hukum, otomatis menjalankan fungsi meja hijau sekaligus
memanfaatkan fungsi “bawah meja”. Sejarah
sudah membuktikan, kasus kian besar, bak mégakorupsi, maka upaya perlindungan
calon tersangka begitu semakin kuat. Tapi masih belum apa-apanya dibanding kasus
penistaan agama.
Yang terakhir disebut,
malah membuktikan dominasi hukum politik dan bahasa politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar