Halaman

Senin, 03 April 2017

diet politik untuk memahami dan kembali ke jiwa Pancasila



diet politik untuk memahami dan kembali ke jiwa Pancasila


Pertama. Kebijakan ganjil-genap yang diterapkan di lalu lintas Jakarta masih menghasilkan jumlah pelanggar yang terukur secara kuantitas. Belum ada hasil survei dari lembaga survei berbayar atau menerima pesanan tentang kemanfaatan dan dampak ganjil-genap.

Kedua. PLN mengadakan pemadaman listrik secara bergilir. Kita tidak tahu apakah terjadi penghematan daya listrik atau malah merugi. Mana mungkin PLN mau merugi. Tidak mau tahu saat listrik padam atau mati, ada pihak yang dirugikan. Kalau untung, apalagi menggiurkan, tentu diam, bungkam seribu janji.

Ketiga. Wakil rakyat begitu peka dan cepat tanggap jika namanya disebut dalam kasus dugaan korupsi, semacam mégakorupsi KTP elektronik. Merasa nama baiknya tercemar terang-terangan, sebagai pihak yang dirugikan, dizalimi, mengalami pembunuhan karakter oleh pihak lawan. Tetapi tidak bisa merasa apakah tindakannya merugikan kepercayaan rakyat, merugikan negara.

Jadi, majelis pembaca yang saling menghormati, apa korelasi ketiga kasus di atas dengan judul.

Ternyata, udara bebas di sekitar kita, tepatnya di wilayah udara NKRI, sudah tercemar, terkontaminasi, terkena polusi hukum politik dan bahasa politik. Bukan salah huku politik danbahasa politik. Kesalahan utama pada si pengguna atau pemanfaat.

Seberapa jauh, dalam, luas, lama, kuat kadar polusi politik. Memang fluktuatif, mengalami pasang surut. Namun, sesurut-surutnya tetap membahayakan anak bangsa. Tetapi pukul rata sudah di atas ambang daya tahan, daya dukung, daya tampung nalar, logika, akal politik penghuni Nusantara. Eloknya, pihak pelaku, pemain, pegiat, penggila, pekerja partai malah merasa nyaman dengan kondisi tersebut.

Kelompok yang disebut belakangan, malah tidak merasa apakah sedang hidup di angan-angan, fantasi politik, mengantang asap politik atau hidup di dunia nyata.

Papan pantau BMKG yang dipasang di tempat strategis, terbaca penistaan agama, penodaan agama serta pendustaan agama menjadi racun udara politik Nusantara.

Pasal apapun tidak bisa untuk memperkarakan sang oknum. Karena gaya hidup, gengsi, gaul sudah menjadikan politik sebagai aliran agama baru. Kebijakan oknum ketua umum, terlebih yang menyandang hak prerogatif, adalah hukum. Mirip sabdo pandito ratu. Omongan raja/ratu adalah hukum yang wajib ditaati, tanpa boleh berpikir, oleh penganutnya.

Katanya, Pancasila adalah ideologi negara. Benar. Namun dalam praktiknya tergatungan niat dan selera penguasa. Sang penguasa tunggal Orde Baru menjadikan wujud baru yaitu Pancasila Sakti. Sejak reformasi yang bergulir mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, dengan gemilang berhasil melengserkeprabonkan presiden kedua RI, Jenderal Besar Suharto. Anak bangsa tidak tahu persis nasib keberadaan dan jati diri Pancasila.

Pancasila turun derajat, dari dasar negara menjadi bagian dari 4 Pilar Berbangsa dan Bernegara, yaitu Pancasila, UUD NRI tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

UUD NRI tahun 1945 mengalami penyesuaian diri. Kepentingan skenario politik jangka panjang maupun sesaat dan sesat diakomodir dalam pasal perubahan. Secara konstitusional, sejarah masa depan bangsa dan negara bisa direkayasa sejak dini.

Bentuk utama ragam diet politik adalah dengan tidak mendengar berita carut-marut politik, gonjang-ganjing politik yang diolah bebas oleh media masa. Baik sebagai ulasan utama maupun langsung dengar pendapat dengan bandar politik, dalang politik, sutradara merangkap pemain utama sampai cecunguknya, begundalnya atau relawannya.

Jangan lupa, memang jangan abaikan justru banyak pihak bisa hidup dengan menjala di air keruh. Kalau perlu sekalian ikut memperkeruh suasana. Apalagi dengan difasilitasi jabatan, bisa berdalih demi keamanan negara. Jangan sampai bandar narkoba, sindikat narkoba dunia menganggap dan menetapkan Indonesia sebagai negara wisata narkoba.

Politik kultural Nusantara kalah pamor dengan politik pemakan segala. Terlebih, lebih-lebih sudah banyak pihak siap-siap beranai mati, berjibaku, pasang badan, pasang kuda-kuda mengamankan jalan menuju [emilihan umum presiden dan wakil presiden di tahun 2019. Penistaan demokrasi, penodaan demokrasi dengan cara mudah yaitu memberi stigma makar kepada pihak yang ingin menggeliat penat, jenuh dengan suhu politik yang kian menyesakkan dada. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar