Halaman

Sabtu, 08 April 2017

praktik hak atas kebebasan pribadi dan wujud kedaulatan diri



praktik hak atas kebebasan pribadi dan wujud kedaulatan diri

Sebagai penduduk dan warga negara Nusantara wajib bersyukur, karena hak atas kebebasan pribadi sudah diatur lewat UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan mendapat tempat dengan tersurat sebagai Bagian Kelima, mulai pasal 20 s.d pasal 27, serta tersirat di pasal lainnya.

Bukan masalah besar kalau pasal 20 s.d pasal 27 tidak menggunakan kata ‘martabat’ maupun ‘kedaulatan’. Cukup irionis bahkan, di UU 39/1999 tidak mencantumkan kata ‘kedaulatan’, apalagi ‘kedaulatan diri’ yang menurut sangka penulis adalah sebagai induk atau minimal sisi lain dari ‘kebebasan pribadi’.

Bukan bermaksud melihat fakta lapangan atas kejadian  kehidupan berbangsa dan bernegara, tepatnya agar amannya kita mengacu atau memakai bahasa hukum. Paling afdol buka UUD NRI 1945, simak Bab X Warga Negara dan Penduduk (produk baru sesuai perubahan kedua), fokus :

Pasal 27
(1)      Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Artinya, sesuai dengan sifat negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk menghindari salah duga dari aparat penegak hukum, yang acap gatal tangan, kit abaca cepat UU 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Penulis terkesima sementara dengan jargon “kedaulatan dalam politik” sebagai Sakti Pertama dari Trisakti pemerintah Jokowi plus JK. Langsung lanjut berikutnya, lewat RPJMN 2015-2019 tersurat : melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengamankan batas dan kedaulatan negara. Ada satu alenia yang cukup menggugah selera, niat, rencana untuk tidak makar. Karena pemerintah sudah sedia jawaban sebelum ada ujaran sentiment positif,rasa kritis, rasa ingin tahu masyarakat. Dalam bentuk :


Ancaman Terhadap Wibawa Negara. Wibawa negara merosot ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada segenap warga negara, tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah, membiarkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), lemah dalam penegakan hukum, dan tidak berdaya dalam mengelola konflik sosial. Negara semakin tidak berwibawa ketika masyarakat semakin tidak percaya kepada institusi publik dan pemimpin tidak memiliki kredibilitas yang cukup untuk menjadi teladan dalam menjawab harapan publik akan perubahan ke arah yang lebih baik. Harapan untuk menegakkan wibawa negara semakin pudar ketika negara mengikat diri pada sejumlah perjanjian internasional yang mencederai karakter bangsa dan makna kedaulatan yang tidak memberi keuntungan pada kepentingan nasional.

Jadi, menurut kacamata suku bangsa Jawa, semua sudah ceta w éla-wéla, tersurat dan tersirat secara bloko suto, opo anané. Sudah nyata dan terang benderang, memang sudah dari sono-nya. Mau dikata apa lagi. Jangan cari perkara. Cari kambing hitam boleh, karena memang merupakan kewajiban dan wewenang alata atau aparat keamanan negara.

Pesan sponsor, bagaimana mau mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara, wibawa negara kalau kedaulatan diri saja tidak diketahui keberadaannya.

Kita agak terhibur jika mendengar kisah Cita Ketiga dari Nawa Cita, yang berujar tertulis :
Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.

Sabar, tunggu tanggal mainnya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar