praktik hak atas kebebasan pribadi dan wujud
kedaulatan diri
Sebagai penduduk dan warga negara Nusantara wajib bersyukur, karena hak atas
kebebasan pribadi sudah diatur lewat UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan
mendapat tempat dengan tersurat sebagai Bagian Kelima, mulai pasal 20 s.d pasal
27, serta tersirat di pasal lainnya.
Bukan masalah besar kalau pasal 20 s.d pasal 27 tidak menggunakan kata ‘martabat’
maupun ‘kedaulatan’. Cukup irionis bahkan, di UU 39/1999 tidak mencantumkan
kata ‘kedaulatan’, apalagi ‘kedaulatan diri’ yang menurut sangka penulis adalah
sebagai induk atau minimal sisi lain dari ‘kebebasan pribadi’.
Bukan bermaksud melihat fakta lapangan atas kejadian kehidupan berbangsa dan bernegara, tepatnya
agar amannya kita mengacu atau memakai bahasa hukum. Paling afdol buka UUD NRI
1945, simak Bab X Warga Negara dan Penduduk (produk baru sesuai perubahan
kedua), fokus :
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Artinya, sesuai dengan
sifat negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua warga
negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara
terus-menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Untuk menghindari salah duga dari aparat penegak hukum,
yang acap gatal tangan, kit abaca cepat UU 12/2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik).
Penulis terkesima sementara
dengan jargon “kedaulatan dalam politik” sebagai Sakti Pertama dari Trisakti
pemerintah Jokowi plus JK. Langsung lanjut berikutnya, lewat RPJMN 2015-2019
tersurat : melibatkan peran aktif masyarakat dalam
mengamankan batas dan kedaulatan negara. Ada satu alenia yang cukup menggugah
selera, niat, rencana untuk tidak makar. Karena pemerintah sudah sedia jawaban
sebelum ada ujaran sentiment positif,rasa kritis, rasa ingin tahu masyarakat.
Dalam bentuk :
Ancaman Terhadap
Wibawa Negara. Wibawa negara
merosot ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada segenap warga
negara, tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah, membiarkan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), lemah dalam penegakan hukum, dan tidak
berdaya dalam mengelola konflik sosial. Negara semakin tidak berwibawa ketika
masyarakat semakin tidak percaya kepada institusi publik dan pemimpin tidak
memiliki kredibilitas yang cukup untuk menjadi teladan dalam menjawab harapan
publik akan perubahan ke arah yang lebih baik. Harapan untuk menegakkan wibawa
negara semakin pudar ketika negara mengikat diri pada sejumlah perjanjian
internasional yang mencederai karakter bangsa dan makna kedaulatan yang tidak
memberi keuntungan pada kepentingan nasional.
Jadi, menurut kacamata suku bangsa
Jawa, semua sudah ceta w éla-wéla, tersurat dan
tersirat secara bloko suto, opo anané. Sudah nyata dan terang
benderang, memang sudah dari sono-nya.
Mau dikata apa lagi. Jangan cari perkara. Cari kambing hitam boleh, karena memang
merupakan kewajiban dan wewenang alata atau aparat keamanan negara.
Pesan sponsor, bagaimana mau mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara,
wibawa negara kalau kedaulatan diri saja tidak diketahui keberadaannya.
Kita agak terhibur jika mendengar kisah Cita Ketiga dari Nawa Cita, yang
berujar tertulis :
Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata
kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Sabar, tunggu tanggal
mainnya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar