SEKILAS
RENUNGAN
Pepatah pun bertutur : “Kasih ibu
sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”. Bukannya tanpa latar belakang
yang mendasari pepatah tersebut atau makna filosofis dan filsafatinya. Sejarah secara
tak sadar membuktikan betapa daya juang seorang ibu yang bisa melebihi kaum
pria, tahan banting dan tahan menderita. Peran ibu diberbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tak kurang contohnya. Ibu sebagai orang
tua tunggal (single parent) lebih
tangguh daripada seorang bapak. Gema diskriminasi gender mengalami pasang
surut, tergantung kepedulian politisi. Jangan mengambil iman sholat dari kaum
hawa, sudah ditegaskan dalam Islam. Di dalam keluarga, demi masa depan anak, dibutuhkan
proses dengan pendekatan akal sampai iman.
Dalam kehidupan yang universal, sesuai
hadist rasul, sabda nabi Muhammad saw yaitu agar rasa hormat, rasa sayang, rasa bakti yang dicurahkan ke ibu, yang wajib anak
lakukan, sekecil 3 (tiga) kali dibanding
ke ayah. Saat pelaksanaan tidak perlu memakai urutan, ke bapak dulu atau
utamakan ibu. Bakti sebagai anak ke kedua orang tua dilakukan sampai akhir
hayat.
Kewajiban anak terhadap orang tua :
§
Taat setiap
saat kepada orang tua
§
Berbakti
kepada orang tua
§
Memberi
nafkah kedua orang tua
§
Nasihat anak
kepada orang tua
§
Panjatkan doa
untuk orang tua
§
Merawat orang
tua
ANTARA
MITOS DAN FAKTA
Apakah anda masuk kategori anak mama
atau anak papa, dalam kondisi tertentu bisa masuk stigma, bisa menjadi anak
manja atau menjelma menjadi anak tomboy.
Bagaimana nasib anak yang diasuh oramg tua tunggal, apakah beda dengan yang
diasuh oleh ayah bundanya. Aku bukan sebagai anak mama atau anak papa. “Anak
saya yang ragil”, jelas ayah saat memperkenalkan aku. Mungkin dalam usia SR, aku
sudah kelihatan bakat tinggi badan bisa melebihi ayah.
Perkembangan anak secara fisik dan
emosional dipengaruhi oleh faktor gen atau keturunan, dalam perkembangannya
ditentukan oleh proses, terutama faktor ajar yang terjadi di keluarga. Asupan,
gizi dan nutrisi bisa memacu pertumbuhan fisik, sehingga bisa melebihi ukuran
tinggi maupun berat badan orang tuanya. Perpaduan kualitas pasutri,
menghasilkan sinerjitas serta faktor-X yang menyebabkan anak lebih dinamis,
enerjik dan proaktif.
Kemajuan zaman bisa mempengaruhi pola
hubungan anak dengan orang tua. Dampaknya nampak dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika BUDI PEKERTI sudah tidak diajarkan di tingkat SD, atau orang tua dengan
berbagai kesibukan, sehingga semua aspek didik dan ajar diserahkan ke guru,
terjadi pergeseran nilai hubungan anak dengan orang tua. Anak dewasa secara
alami, tumbuh dalam lingkungan yang serba bebas, dengan dalih demokratis. Di
lain pihak, terkadang orang tua bisa menganggap anak sebagai mitra, teman, bisa
sebagai sparing partnet dalam dialog, diskusi dan debat.
KELUARGA
PANCAWARGA
Punya anak satu, anak dua sampai beranak
banyak, beban orang tua tetap sama. Banyak anak, banyak rezeki sampai ikhwal
bahwa tiap anak bawa rezekinya masing-masing menjadikan orang tua tetap
optimis. “Anak polah bapak kepradah”, menyiratkan tingkah laku anak jika
bertingkah, bapak kena akibatnya, baik atau buruk.
Program Nasional antara lain cita-cita
mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (KKBS), serta mampu menjadi contoh,
model, panutan, idola, dan sumber informasi dan inspirasi bagi teman sebayanya,
bisa kita wujudkan. Realita keluarga miskin keluarga banyak anak.
Aku dilahirkan dalam Keluarga
Pancawarga, bungsu dari tiga bersaudara. Sebenarnya empat bersaudara, yang
ragil meninggal saat lahir (tahun 1957). Sebagai keluarga ‘Sendang kapit pancuran’
artinya satu putri diapit dua putra, tentunya tak akan lepas dari adat Jawa
yaitu acara ruwatan. Ruwatan tidak pernah dilaksanakan secara khusus, hanya
sebagai acuan orang tua dalam mengelola kami. Aku lahir sebagai bayi prematur,
di musim bediding (Jawa, dingin karena hujan), jadi sekarang tahan di hawa
dingin. Betapa ibu jadi inkubator, dengan dekapannya. “Sebesar irus”, kata
bidan yang menangani kelahiran ibu.
PENDIDIKAN
ANAK
Kami dilahirkan dari dua suku yang
“berbeda” jauh. Ayah dari Padang Panjang, Sumatera Barat, sedangkan ibu dari Yogyakarta,
bertemu di HIK Yogyakarta zaman pendudukan Jepang. Pancer lanang tidak ada di
suku Minang, anak keturunan adalah anak perempuan. Walhasil, kami tidak punya
kampung halaman. Kalau ditanya suku, atau harus mengisi formulir, kami jawab/tulis
: Suku Indonesia !!! Paling tidak kami bergolongan darah Barat (Sumbar) dan
Istimewa (DIY).
Justru kawin antar suku, menyebabkan
wawasan kami mempunyai nilai lebih. Mulai urusan perut, bisa mengenal dan
merasakan masakan Padang sejak dini, yang sekarang Warung Padang sebagai ciri
perkotaan. Ibu mau tak mau harus praktek resep Padang, yang serba cabai/lombok.
Susahnya, kalau lebaran jadi jauh kunjungi kakek nenek, malah belum pernah!
Sehingga kami tidak mengenal tradisi mudik. Eyang putri di Yogya, sekota.
Persamaan atau benang merah orang tua
kami yaitu karena sama-sama dari sekolah guru (HIK Yogya) dan mahir berbahasa
Belanda. Jika ayah ibu bicara pakai bahasa Belanda berarti ada hal penting yang
didiskusikan atau sedang bertengkar.
Sejak anak sulung sudah kelihatan karakternya,
ibu diminta bapak berhenti jadi guru, pengabdian dialihkan dan difokuskan buat
keluarga. Ayah mengamblil alih urusan cari nafkah, lanjut jadi guru sampai
akhir hayat.
Salah satu beban hidup kami bertiga
adalah, bahwa punya orang tua guru jangan sampai pendidikan anak tertinggal.
Kalau bisa melebihi orang tua! Alhamdulillah, sampai sekarang kami betiga
minimal mengantongi ijazah Strata 1 (S1), dari UGM Yogyakarta.
Ayah lebih banyak memberi contoh dalam
hal pendidikan. Ayah tidak pernah tidur siang, sibuk dengan membaca, menulis
atau mengetik. Bangun selalu pagi sebelum azan subuh, sebelum kami bangun.
Kertas bekas dijadikan sarana menulis. Karena keadaan dan tuntutan ekonomi,
ayah ngobyek jadi guru di sana-sini, dilakoni dengan naik sepeda onthel. Zaman aku
SR/SD ayah punya sepeda motor Solex. Tanpa rantai, motor menempel langsung
menggerakkan ban depan.
Ibu sebagai ibu rumah tangga sibuk
dengan acara rutinitas urusan dapur, bersih-bersih rumah sampai menata uang dengan
bijak agar bisa sampai akhir bulan. Tidur paling akhir. Sebelum tidur kami
dicek ayah. Terkadang sambil mengusir nyamuk di kelambu, lampu kamar tidur
dimatikan.
Secara tak sadar, kedua orang tua kami
melaksanakan pendidian anak secara Islami. Pernik-perniknya ada yang tidak
sama, misal dalam berwudhu. Kata ayah jangan dikeringkan sebagai bukti di
akhirat, ujar ibu jangan sampai membasahi sajadah. Mengormati suadara, kerabat
orang tua ternyata ada perbedaan mendasar.
Secara substansial pendidikan anak yang
dipraktekkan orang tua kami, bisa aku formulasikan sebagai berikut :
o
Cinta orang
tua kepada anak setiap hari, tanpa diucapkan.
o
Anak sebagai
fitnah (cobaan) karena hanya sebagai amanah.
o
Mendoakan
anak dengan keberkahan, mengenalkan kekuatan doa.
o
Kebaikan
orang tua bermanfaat untuk anaknya, karena nantinya anak akan jadi orang tua.
o
Berlaku adil
di antara anak-anak, sesuai kebutuhan dan kondisi anak.
o
Nasehat
orang tua untuk anaknya, dilakukan dalam rangka pengendalian.
o
Memerintahkan
anak untuk selalu berbuat baik, untuk menjadi hamba Allah yang bermanfaat.
o
Pengajaran
anak
§
Mengajarkan
anak berdikari/mandiri, hanya bersandar kepada-Nya untuk semua urusan.
§
Mengajarkan
anak beribadat, mendirikan sholat di awal waktu, serta dilakoni dengan ikhlas.
FAKTOR
AJAR
Ayah
sering cerita kalau anak lelaki harus kerja di bidang teknik. Ayah tidak pernah
mengeluh sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia yang sepi penggemar dan tidak
bergengsi, sekaligus tidak pernah merasa bangga bahwasanya bahasa Indonesia
adalah bahasa Nasional sesuai Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928.
Andil
ayah dalam membentuk kami seolah tanpa kata, tanpa fatwa. Tidak pernah
mengatakan harus begini, harus begitu. Seolah kami diberi kebebasan untuk
memilih dan menentukan masa depan. Ayah hanya melaksanakan kewajibannya secara
total dan formal. Ibu tidak sekedar merawat, justru melengkapi apa yang kurang.
Dengan modal sebagai mantan guru, anak nomer dua dari sepuluh bersaudara, ibu
dengan tekun mendampingi kami.
Singkat
kata, keinginan ayah bisa aku penuhi. Aku menyandang gelar sarjana teknik
arsitektur UGM. Ikut membaca buku ayah (dipilih yang berbahasa Indonesia), bahkan
terkadang membantu mengetik tulisan tangan ayah, akhirnya aku bisa menulis.
Menulis dengan benar dan baik. Di sela-sela kesibukan sebagai PNS, aku punya
nilai jual sebagai penulis. CV atau Daftar
Riwayat Hidup didominasi oleh karya tulis yang telah dipublikasikan,
sebagai pemenang dalam lomba, dsb.
Dua
kali promosi dalam jabatan struktural karena punya nilai jual bisa menulis.
Persyaratan adminstrasi berdasarkan pendidikan formal jelas kalah dengan S2/S3.
Itulah hidup di birokrasi, terkadang terbelenggu atau terkungkung dengan hukum
buatan manusia.
ALIH
GENERASI
Ibu
termasuk bertangan dingin, biji cabai yang dibuang saja bisa tumbuh. Ampas teh
dijadikan pupuk tanaman dalam pot. Dari ketiga anak, agaknya hanya aku yang senang
bercocok tanam, gemar berkebun, hobi mengolah tanah.
Sampai
sekarang aku terbiasa buat jogangan (bhs Jawa, maksudnya buat lubang tanah
diisi sampah organis sampai penuh baru ditimbun) dengan metode gali lubang
tutup lubang. Tanah terbuka menjadi RTH (Ruang Terbuka Hijau) sekaligus sumur
resapan, tidak ada yang ditutup dengan beton, kecuali tempat parkir. Tanah
bertambah untuk menguruk bangun kamar baru, tanaman jadi subur, ada pohon
nangka yang buahnya dinanti tetangga.
Anak
sulung aku heran, melihat aku sebagai arsitek tidak pernah praktek. Kesannya,
atau pernah jumpa arsitek yang merancang bangun, mulai daru rumah tinggal
sampai bangunan tinggi, mendesain kompleks perkantoran, bangunan komersial,
bandar udara, dsb.
Anak
sulung aku berujar, tidak masalah kalau kerja, cari nafkah, uber rezeki Allah
dengan memanfaatkan keahlian. Tidak sekedar mengandalkan disiplin ilmu.
WARISAN
ORANG TUA
Ayah
masih kirim uang liwat wesel, teman kantor heran. Sebetulnya tidak perlu heran,
ada teman kuliah dibangunkan rumah tinggal oleh ayahnya. Padahal ybs tidak
miskin. Wesel dari ayah saat itu untuk
bayar kost sebulan masih sisa.
Orang
tua hanya bisa mewariskan nama baik dan ilmu. Kalau mau rumah bagus, mobil
bagus, beli sendiri. Ujar ayah suatu saat, ketika aku balik kandang ke Yogya.
Keinginan ayah aku anggap sebagai
wasiat. Alhamdulillah, sudah terlaksana. Aku, isteri dan tiga anak bisa huni
rumah pribadi. Tidak perlu beli mobil baru, karena isteri aku dapat mobil
dinas. Keahlian menulis sebagai warisan ayah, aku tularkan ke anak. Mau tak mau
anak aku harus rajin membaca dan menguasai bahasa asing. Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi memacu gemar membaca dan menulis. Bahkan aku bisa
membantu isteri yang sedang kuliah S3 di IPB Bogor.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------