Menjadi Dewasa, Tua Atau Berumur?
Proses
Kehidupan
Kehidupan manusia dilalui tingkat demi tingkat, mulai dari setetes air
mani sampai dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai
dewasa. Dari hidup menjadi mati kemudian
dibangkitkan kembali sebagaimana
terjemahan [QS Al
Insyiqaaq (84) : 19] : “sesungguhnya kamu melalui tingkat
demi tingkat (dalam kehidupan),”
Pertambahan umur manusia selalu
konsisten, konstan, dan kontinyu sesuai perjalanan waktu bumi, dan dirayakan
setiap memasuki tanggal kelahiran. Setiap kali ulang tahun maka sisa umur dan jatah
hidup semakin berkurang, semakin dekat batas akhir kontrak dengan Allah. Umat
Islam menyadari bahwa perjalanan hidupnya menjelang garis finish, berikhtiar
mengisi raport dunianya dengan berbagai amal, menandakan mendapat hidup berkah.
Kapan, di mana dan dalam kondisi apa manusia wafat
sebagai prerogratif Allah SWT. Umat Islam selain bisa
belajar arti hidup yang bermanfaat, secara paralel bisa belajar tentang makna
kematian. Tidak semua bunga dan bakal buah mulus menjadi buah, ½ - 2/3 buah
muda (bluluk) pun bisa gugur di tengah jalan. Buah kelapa tua, melalui seleksi
alam, luput dari pantauan manusia, sampai kering, mengkerut tetap bertengger
dengan tenang. Disodok dengan galah, kelapa tua tetap tak bergeming, seolah
sudah mapan dan nyaman di sisa usianya.
Kendati telah
dijelaskan dalam [QS An Nahl (16) : 70] : “Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara
kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” Ikhtiar medis, olah
raga, mengatur asupan gizi, olah otak dilakukan untuk mengurangi kepikunan,
atau meminimalisir dampak usia lanjut.
Resep
Panjang Umur
Sehat jiwa raga,
kuat jasmani rohani, bugar lahir batin tentu akan berkorelasi dengan
kemanfaatan umur. Kita jangan lupa, wasiat
nabi Muhammad SAW berupa resep panjang umur. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang senang diluaskan
rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung hubungan
silaturahim.” (HR al-Bukhari dan
Muslim)
Kita tidak terpaku pada makna silaturrahim yaitu ‘menyambung tali
persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab’, kita dapat melakukan
interaksi sosial, hubungan antar manusia (hablum minannas).
Selagi ada waktu, masih berumur, selama nyawa di kandung badan, lakukan
berbagai kemanfaatan seolah kita mati esok hari. Kemanfaatan kita bisa
dirasakan walau kita telah tiada. Lakukan langkah kebaikan tanpa menunggu kaya,
kuat dan kuasa. Pengorbanan atau sedekah yang paling tinggi nilainya adalah
pada saat kita juga membutuhkan.
Standardisasi
Umur
Perlu adanya pengkajian dan penelitian ulang tentang penentuan batas
kedewasaan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan
transdisipliner agar didapatkan batas kedewasaan yang relevan bagi semua bidang
disiplin ilmu.
Kedewasaan merupakan perpaduan yang seimbang antara jiwa, raga dan
intelektual. Ukuran kedewasaan memang sangat relatif, tergantung dari
perspektif mana kita melihatnya. Kedewasaan menurut pandangan sosiologi belum
tentu sama dengan kedewasaan menurut pandangan hukum, begitu juga kedewasaan
menurut pandangan adat belum tentu sama dengan kedewasaan menurut pandangan
agama.
Dari beberapa ukuran yang umum digunakan antara lain adalah keseimbangan
mental dan kemapanan sosial sebagai indikator kedewasaan, sedangkan hukum pada
umumnya mengukur suatu kedewasaan dengan patokan usia dan tindakan perkawinan
dan Hukum Islam menentukan kedewasaan dari tanda/ciri biologis tertentu untuk
menentukan seseorang telah memasuki pase “akil baligh”, misalnya pada laki-laki
ditandai dengan mimpi basah (ejaculation) sedangkan perempuan ditandai dengan
datangnya masa haid (menstruasi). Dalam perspektif adat jawa istilah kedewasaan
relevan dengan istilah ”kemandirian” yang artinya mampu untuk mengurus
kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab atau dikenal dengan istilah
”mencar” dan ”kuat gawe”.
Kedewasaan menurut pandangan adat memang terlepas dari patokan umur,
sehingga tidak ada keseragaman, mengenai kapan seseorang dapat mulai dikatakan
telah dewasa, ukuran kedewasaan tergantung kepada masing-masing individu,
walaupun sebenarnya tetap memiliki pertautan dengan pengertian dewasa menurut
Ilmu Psikologi dimana kedewasaan merupakan suatu pase pada kehidupan manusia
yang menggambarkan telah tercapainya keseimbangan mental dan pola pikir dalam
setiap perkataan dan perbuatan.
Seseorang yang telah mampu bekerja (kuwat gawe) untuk mencari penghidupan,
maka sesungguhnya secara pribadi dia telah mampu berfikir dan bertanggung jawab
atas kebutuhan hidupnya, walaupun proses pendewasaan dini dalam masyarakat
tidak termasuk pada kategori tersebut (D.Y. Witanto, 15 Januari 2012).
Hidup dimulai dari umur 40, memang
relevan dengan [QS Al Ahqaaf (46) : 15] : “Kami perintahkan kepada manusia
supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku
untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada
ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri."
Masyarakat
Jawa memahami sekaligus meyakini ada lima perkara yang menjadi hak prerogratif
Allah SWT. Manusia
tidak bisa memilih mau dilahirkan oleh perempuan yang mana. Sejak lahir,
manusia tidak bisa memperkirakan apakah akan berpindah tempat tinggal atau mau
kemana saja. Kalau sudah jodoh hendak ke mana. Jangan bangun kesiangan nanti
rezekinya dipatuk ayam. Orang sehat pun tiba-tiba bisa wafat atau bayi dalam
kandungan pun sudah dipanggil Yang Maha Pencipta.
Mengelola hidup
berkah dengan mengganggap waktu berjalan paralel, artinya dalam waktu yang
sama, bisa mengerjakan berbagai pekerjaan dan memperoleh hasil lebih bervariasi.
Tahap ini memikirkan bagaimana agar dalam hidup yang singkat bisa melakukan produktifitas
yang lebih besar, bisa memperoleh seoptimal mungkin.
Seberapa lama kita singgah di dunia, Allah telah
menetapkan, sesuai [QS Faathir (35) : 11] : “. . . Dan sekali-kali tidak
dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi
umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya
yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.”
Dijadikannya umur 60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah
umur yang mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada
Allah, khusyu’ dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur lebih
dari 60 tahun hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara total, karena
sudah tidak mungkin lagi akan kembali kepada keadaannya yang pertama ketika
masih kuat dan semangat (Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc, 17 November
2011).
Simpul
Dan Saran
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Barzah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat
sebelum ditanya tentang 4 perkara : Tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa
mudanya untuk apa ia gunakan, hartanya dari mana diperoleh dan kemana
dibelanjakan, dan ilmunya, apa yang diamalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Indikasi keimanan dan tanda ketakwaan umat
Islam pada kecerdasan dalam mengelola waktu dan umur.
-----------------