Halaman

Selasa, 31 Desember 2013

Hujan, Antara Rahmat dan Teguran Allah

 Humaniora     Dibaca :358 kali , 0 komentar

Hujan, Antara Rahmat dan Teguran Allah

 Ditulis : Herwin Nur 26 November 2012 | 15:33

Persepsi Akal
Hujan dijabarkan oleh manusia secara ilmiah dalam bentuk siklus hidrologi. Air laut ditetapkan menjadi pemain utama dalam siklus hidrologi, matahari dan angin sebagai katalisator. Jabarannya sangat bervariasi dan dinamis, berdasarkan fakta yang pernah dan sedang terjadi.

Siklus hidrologi menjawab pertanyaan apakah ketersediaan, volume, kuantitas dan jumlah air di dunia mengalami pengurangan, penyusutan atau relatif tetap. Siklus hidrologi tidak seperti tebakan, dahulu mana air laut (luas laut 71% dari luas permukaan bumi) atau air hujan.

Terjemahan [QS Al Forqaan (25) : 48] : Dia-lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih”, serta terjemahan [QS Ath Thaariq (86) : 11] : Demi langit yang mengandung hujan, secara jelas menjawab tebakan tersebut.

Ilmu pengetahuan masih meyakini, mulai dari air permukaan tanah dan laut menguap, membentuk uap air, berkondensasi menjadi awan mendung, turun kembali ke bumi dalam bentuk gerimis hingga hujan lebat. Hujan yang jatuh ke daratan,  sebagian kembali mengalir ke laut melalui sungai dan anak sungai untuk mengulangi proses daur ulang.

Manusia dihadapkan dua pilihan yang kontradiktif. Pertama, bahwa Allah akan melimpahkan rahmat-Nya dari langit dengan menurunkan hujan dan menimbulkan rahmat-Nya dari bumi dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang buahnya melimpah ruah. Kedua, azab Allah datang dari atas manusia seperti hujan batu, petir dan lain-lain; atau datang dari bawah kaki manusia seperti gempa bumi, banjir dan sebagainya.

Akibat Tangan Manusia
Sekitar 70% wilayah Indonesia, akhir November 2012, sudah memasuki musim hujan dengan intensitas masih normal. Banjir di sejumlah daerah lebih disebabkan macetnya saluran drainase, bukan intensitas hujan yang meninggi. Tersirat pemeliharaan drainase yang belum membudaya.

Terjemahan [QS Asy  Syuura (42) : 30] : Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. Jadi, akibat ulah tangan manusia bisa “mengundang” azab Allah.

Berita tentang di berbagai wilayah pada saat musim hujan menjadi langganan banjir, sedangkan pada saat musim kemarau daerah yang sama mengalami kekeringan yang berdampak.(Herwin Nur/Wasathon.com)

Senin, 30 Desember 2013

Tunaikan Ibadah, Jangan Tambal Sulam

Humaniora     Dibaca :209 kali , 0 komentar

Tunaikan Ibadah, Jangan Tambal Sulam

Ditulis : Herwin Nur, 10 April 2013 | 19:38
Makna Ibadah
Tidak salah, kalau ada yang mengartikan ibadah sebagai realisasi pelaksanaan perintah Allah yang ada dalam rukun Islam. Dilaksanakan sesuai pedoman,  adab, bersifat ritual, membutuhkan waktu, yang kasat mata, dan banyak temannya. Ibadah yang dilakukan dipilah dan dipilih yang wajib saja, yang sunnah jika sempat, atau dianggap sebagai ”pengganti”,  penambal ibadah wajib yang ketinggalan kereta. Melaksanakan ibadah sunnah terkadang rancu dengan adat, terutama yang jamak dilakukan masyarakat.

Ibadah wajib diutamakan pada  ibadah sholat 5 waktu, yang membutuhkan keahlian dalam manajemen waktu, serta fasilitas khusus untuk berjamaah. Ibadah puasa Ramadhan, saat setan dibelenggu, yang puasa untuk urusan perut dan nafsu yang haknya juga ikut dibelenggu. Ibadah haji, walau diwajibkan bagi yang mampu sekali seumur hidup, membutuhkan modal yang terukur maupun yang tak terukur. Menjadi tamu Allah, nyawa bisa jadi taruhan.

Allah menciptakan dan menjadikan manusia bukanlah dengan percuma, tidaklah dengan sia-sia. Ikhwal ini sesuai dan mengacu terjemahan [QS Al Mu’minuun (23) : 115] : “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” serta terjemahan [QS Al Qiyaamah (75) : 36] : “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” 

Posisi Ibadah
Ibadah mempunyai makna sebagai ‘yang mengabdi’ atau ‘cara mengabdi’. Posisi ibadah dalam kehidupan manusia, merupakan perintah Allah yang tersurat dalam Al-Qur’an, simak terjemahannya [QS Adz Dzaariyaat (51) : 56] : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Hidup manusia ibarat mainan yoyo, dilemparkan ke segala arah untuk kembali. Kita tidak tahu seberapa panjang talinya, perjalanan dilempar dan baliknya akan mulus, atau ada masalah di jalan. Seberapa keseriusan, daya juang dan pengorbanan dalam menunaikan ibadah, kita ingat wasiat Rasulullah saw dalam haditsnya : “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu (ibadah) seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. (HR Imam Al Baihaqi)

Ironisnya, justru orang yang berakal atau berpendidikan formal secara sadar memilih fitnah dunia dengan cinta dunia. Mereka memahami bahwa harta, tahta, dan wanita bisa menjadi fitnah dunia, tetapi sekaligus berupaya meraihnya. Bukan sekedar sudah suratan sejarah manusia, simak terjemahan [QS Ali ‘Imran (3) : 14] : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.

Rasulullah saw telah memberikan peringatan kepada umatnya dalam berbagai kesempatan, beliau bersabda dalam haditsnya: Dari Abu Said Al-Khudri ra dari Nabi saw bersabda: ”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita”. (HR Muslim)

Secara Istiqamah
Tunaikan ibadah secara konsisten dan kontinyu, penuhi yang wajib dan perbanyak yang sunnah, karena ada nikmat besar dari Allah,  Rasulullah saw bersabda: Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar”. [HR. Bukhari] [Herwin Nur/wasathon.com]

Menjadi Dewasa, Tua Atau Berumur?



Menjadi Dewasa, Tua Atau Berumur?

Proses Kehidupan
Kehidupan manusia dilalui  tingkat demi tingkat, mulai dari setetes air mani sampai dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai dewasa.  Dari hidup menjadi mati kemudian dibangkitkan kembali sebagaimana terjemahan [QS Al Insyiqaaq (84) : 19] : sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),”

Pertambahan umur manusia selalu konsisten, konstan, dan kontinyu sesuai perjalanan waktu bumi, dan dirayakan setiap memasuki tanggal kelahiran. Setiap kali ulang tahun maka sisa umur dan jatah hidup semakin berkurang, semakin dekat batas akhir kontrak dengan Allah. Umat Islam menyadari bahwa perjalanan hidupnya menjelang garis finish, berikhtiar mengisi raport dunianya dengan berbagai amal, menandakan mendapat hidup berkah.

Kapan, di mana dan dalam kondisi apa manusia wafat sebagai prerogratif Allah SWT. Umat Islam selain bisa belajar arti hidup yang bermanfaat, secara paralel bisa belajar tentang makna kematian. Tidak semua bunga dan bakal buah mulus menjadi buah, ½ - 2/3 buah muda (bluluk) pun bisa gugur di tengah jalan. Buah kelapa tua, melalui seleksi alam, luput dari pantauan manusia, sampai kering, mengkerut tetap bertengger dengan tenang. Disodok dengan galah, kelapa tua tetap tak bergeming, seolah sudah mapan dan nyaman di sisa usianya. 

Kendati telah dijelaskan dalam [QS An Nahl (16) : 70] : Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” Ikhtiar medis, olah raga, mengatur asupan gizi, olah otak dilakukan untuk mengurangi kepikunan, atau meminimalisir dampak usia lanjut.

Resep Panjang Umur
Sehat jiwa raga, kuat jasmani rohani, bugar lahir batin tentu akan berkorelasi dengan kemanfaatan umur.  Kita jangan lupa, wasiat nabi Muhammad SAW berupa resep panjang umur. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang senang diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahim.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Kita tidak terpaku pada makna silaturrahim yaitu ‘menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab’, kita dapat melakukan interaksi sosial, hubungan antar manusia (hablum minannas).

Selagi ada waktu, masih berumur, selama nyawa di kandung badan, lakukan berbagai kemanfaatan seolah kita mati esok hari. Kemanfaatan kita bisa dirasakan walau kita telah tiada. Lakukan langkah kebaikan tanpa menunggu kaya, kuat dan kuasa. Pengorbanan atau sedekah yang paling tinggi nilainya adalah pada saat kita juga membutuhkan.

Standardisasi Umur
Perlu adanya pengkajian dan penelitian ulang tentang penentuan batas kedewasaan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner agar didapatkan batas kedewasaan yang relevan bagi semua bidang disiplin ilmu.

Kedewasaan merupakan perpaduan yang seimbang antara jiwa, raga dan intelektual. Ukuran kedewasaan memang sangat relatif, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Kedewasaan menurut pandangan sosiologi belum tentu sama dengan kedewasaan menurut pandangan hukum, begitu juga kedewasaan menurut pandangan adat belum tentu sama dengan kedewasaan menurut pandangan agama.

Dari beberapa ukuran yang umum digunakan antara lain adalah keseimbangan mental dan kemapanan sosial sebagai indikator kedewasaan, sedangkan hukum pada umumnya mengukur suatu kedewasaan dengan patokan usia dan tindakan perkawinan dan Hukum Islam menentukan kedewasaan dari tanda/ciri biologis tertentu untuk menentukan seseorang telah memasuki pase “akil baligh”, misalnya pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah (ejaculation) sedangkan perempuan ditandai dengan datangnya masa haid (menstruasi). Dalam perspektif adat jawa istilah kedewasaan relevan dengan istilah ”kemandirian” yang artinya mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab atau dikenal dengan istilah ”mencar” dan ”kuat gawe”.  

Kedewasaan menurut pandangan adat memang terlepas dari patokan umur, sehingga tidak ada keseragaman, mengenai kapan seseorang dapat mulai dikatakan telah dewasa, ukuran kedewasaan tergantung kepada masing-masing individu, walaupun sebenarnya tetap memiliki pertautan dengan pengertian dewasa menurut Ilmu Psikologi dimana kedewasaan merupakan suatu pase pada kehidupan manusia yang menggambarkan telah tercapainya keseimbangan mental dan pola pikir dalam setiap perkataan dan perbuatan.

Seseorang yang telah mampu bekerja (kuwat gawe) untuk mencari penghidupan, maka sesungguhnya secara pribadi dia telah mampu berfikir dan bertanggung jawab atas kebutuhan hidupnya, walaupun proses pendewasaan dini dalam masyarakat tidak termasuk pada kategori tersebut (D.Y. Witanto, 15 Januari 2012).

Hidup dimulai dari umur 40, memang relevan dengan [QS Al Ahqaaf (46) : 15] : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."

Masyarakat Jawa memahami sekaligus meyakini ada lima perkara yang menjadi hak prerogratif Allah SWT. Manusia tidak bisa memilih mau dilahirkan oleh perempuan yang mana. Sejak lahir, manusia tidak bisa memperkirakan apakah akan berpindah tempat tinggal atau mau kemana saja. Kalau sudah jodoh hendak ke mana. Jangan bangun kesiangan nanti rezekinya dipatuk ayam. Orang sehat pun tiba-tiba bisa wafat atau bayi dalam kandungan pun sudah dipanggil Yang Maha Pencipta.

Mengelola hidup berkah dengan mengganggap waktu berjalan paralel, artinya dalam waktu yang sama, bisa mengerjakan berbagai pekerjaan dan memperoleh hasil lebih bervariasi. Tahap ini memikirkan bagaimana agar dalam hidup yang singkat bisa melakukan produktifitas yang lebih besar, bisa memperoleh seoptimal mungkin.

Seberapa lama kita singgah di dunia, Allah telah menetapkan, sesuai [QS Faathir (35) : 11] : . . . Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.

Dijadikannya umur 60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah umur yang mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada Allah, khusyu’ dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur lebih dari 60 tahun hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali kepada keadaannya yang pertama ketika masih kuat dan semangat (Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc, 17 November 2011).

Simpul Dan Saran
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Barzah, bahwa Rasulullah SAW  bersabda: “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat sebelum ditanya tentang 4 perkara : Tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia gunakan, hartanya dari mana diperoleh dan kemana dibelanjakan, dan ilmunya, apa yang diamalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Indikasi keimanan dan tanda ketakwaan umat Islam pada kecerdasan dalam mengelola waktu dan umur.

-----------------









Kamis, 26 Desember 2013

Pasca Ramadhan, Sempurnakan Dengan Puasa Dan Amalan Syawal

 Humaniora     Dibaca :188 kali , 0 komentar

Pasca Ramadhan, Sempurnakan Dengan Puasa Dan Amalan Syawal

 Ditulis : Herwin Nur 11 Agustus 2013 | 09:53


Ritual Religi
Fase 10 hari ketiga atau terakhir puasa Ramadhan, godaan dunia dengan dalih urusan Hablum Minannasatau tepatnya tradisi budaya maupun ritual religi mudik, bisa mengalahkan makna pahala Itsfunminannar (pembebasan dari Api Neraka) serta malam iktikaf.  Salah satu keutamaan malam dari 10 hari terakhir adalah terdapatnya malam Lailatul Qodar, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.  

Rayuan makan besar di buka puasa terakhir, di Hari Raya Idhul Fitri 1 Syawal, pakai baju baru hadiri sholat Ied, menyebabkan kita sibuk, lupa dan lalai dengan 10 hari terakhir tersebut. Mengutamakan berburu baju baru serta menanak ketupat daripada menegakkan sholat dan taubat. Pemudik dengan ringan tangan memanfaatkan tabungan rupiah, yang diuber selama 11 bulan, untuk berbagai kebutuhan.

Umat Islam berikhtiar mempertahankan dan meningkatkan derajat takwa sebulan penuh dalam Ramadhan, mungkin ada yang tabungan pahala dan derajat takwanya bertambah, mungkin pula malah meninggalkan hutang. Allah Maha Penyayang dengan memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk melengkapi tabungan pahala puasa dan memantapkan posisi takwa di Syawal.

Masa Transisi
Nabi Muhammad SAW bersabda : "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim).

Jika "syawal" berarti peningkatan, maka sungguh tak layak jika kita malah mengalami penurunan signifikan selepas Ramadhan . 1 Syawal sebagai hari wisuda,  Idul Fitri atau kembali ke fitrah (awal kejadian) akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah, diikuti dengan termaafkannya dosa dan kesalahan kita kepada sesama manusia, dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.

Bulan Syawal sebagai masa transisi, sebagai eveluasi diri, apakah kita sudah cukup modal serta siapkah kita mengarungi dan menarungi kehidupan dunia 11 bulan ke depan. Tak kurang yang merasa telah lepas dari beban berat pernik-pernik syarat sahnya puasa Ramadhan. Tak kurang pula yang kembali ke posisi awal dengan melanjutkan tradisi hariannya.

Pasca Ramadhan, diharapkan orang-orang beriman meraih derajat takwa, menjadi muttaqin. Di mata Allah, kemuliaan seseorang tergantung dan ditentukan oleh ketakwaannya, tersurat pada sebagian terjemahan (QS Al Hujuraat [49] : 13) : “. . . Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. . . .”

Banyak kemungkinan terjadi di awal Syawal. Di pergaulan hidup, kita yang sudah bersih jiwa, rohani, hati dan batin, mau tak mau akan menghadapi dan memasuki hitamnya dunia. Di tempat kerja, kita canggung dan bisa perang batin karena yakin dengan rutinitas kerja akan terjebak pada tindakan dan kesalahan yang sama.  

Laku Istiqamah
Sejalan dengan makna Syawal,  ikhtiar peningkatan adalah berangkat dari sikap istiqamah (teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang saleh). Menetapi agama Allah, berjalan lurus di atas ajaran-Nya, maupun berada pada jalan yang benar, sesuai ayat perintah (QS Al Huud [11] : 112) : “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Aktualisasi sikap istiqamah dalam amal adalah dengan mengerjakan ibadah secara kontinyu, terus-menerus. “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit.” (HR Bukhari dan Muslim)[Herwin Nur/wasathon.com]

Memikirkan Kembali Prinsip Hidup

 Humaniora     Dibaca :114 kali , 0 komentar

Memikirkan Kembali Prinsip Hidup

 Ditulis : Herwin Nur 07 September 2013 | 06:34

Titik Temu
Tempe dan tahu, merupakan teman makan nasi khas rakyat, bisa memicu dan memacu goncangan sosial. Golongan masyarakat menengah dalam waktu yang bersamaan butuh transportasi udara, harga tiket pesawat ikut melambung dan membubung. Harga kursi lima tahunan yang diperebutkan ribuan petaruh, menjadi bola liar dan tak terukur. 

Ketika kedelai masuk ranah politik, ketika tiket menjadi menu konsumtif, ketika kursi wakil rakyat/kepala daerah bernilai ekonomis, ceritanya jadi lain. Mahzab ilmu pengetahuan negara maju pun tidak akan mampu merumuskannya. Bukan sekedar salah kaprah.

Campur baur, tumpang tindih, atau saling lempar tanggung jawab menjadi menu dan sajian harian kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Untuk mencapai sukses dunia, anak bangsa memanipulasi watak dan tidak memerankan dirinya sendiri.

Kemelut kehidupan menjadi semakin kalut, siapa pun bisa menjadi apa dan siapa saja. Apa pun bisa terjadi atau tak terjadi. Sudah tidak tersedia cermin untuk dibelah, malah bangga dengan berbagai keburukan. Berani beda, berani malu menjadi usang, dibutuhkan berani dosa untuk tetap eksis dan berkibar di panggung politik.

Tak Akan Lari
Hukum di era Reformasi, selain seolah jalan di tempat, tebang pilih, hanya heboh di awal kasus, setelah itu meredup. Media massa, dengan berbagai acara tayangan di TVswasta mengambil alih lembaga peradilan dan pengadilan. Acara bukan untuk membongkar mafia kasus, melacak dalang intelektual, menyingkap skenario terselubung, mengungkap fakta lapangan tetapi malah mengacak-acak emosi dan opini pemirsa.

Mata indra manusia acap terkecoh, apalagi mata hati. Melihat tingkah laku manusia dan mesin politik, tidak perlu pakai kacamata moral. Kesalahan bukan pada mata kita, pada apa yang kita lihat menyerupai adegan yang tidak layak ditonton apalagi ditiru.

Persepsi tentang persoalan dan kenyataan hidup, kita menatap fatamorgana seolah nyata, atau sebaliknya. Bahasa manusia dalam menyikapi hidup tersurat pada [QS An Naml (27) : 88] : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Benang merah antara rakyat di satu kutub dengan wakil rakyat/kepala daerah di kutub lainnya adalah urusan perut. Kontradiksi pada : rakyat bergulat modal dengkul untuk isi perut sehari, kutub lainnya berjibaku demi kesenangan hidup dan kemewahan dunia.

Penyelenggara negara beda tugas dan fungsi dengan pemimpin umat. Internal penyelenggara negara, pada trias politica bukannya saling mengingatkan, malah saling menjegal. Koalisi parpol 2009-2014 sebagai bukti antara eksekutif dan legislatif tidak memperjuangkan nasib rakyat. Kuadran  abu-abu, samar bahkan syubhat menjadi ajang perebutan, penyebab konflik horizontal antar lapisan masyarakat.

Ajang Laga
Ironisnya, banyak pimpinan umat lebih getol atau gemar jika terjadi gonjang-ganjing politik. 2014 merupakan puncak petaruhan antar berbagai kepentingan. 2013 membuktikan kecerdasan rakyat atau bentuk lain kepedulian, kepekaan dan daya tanggap pada sosok calon kepala daerah. Merebaknya pemilih dalam pilkada yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai refleksi dari sistem demokrasi yang tidak mulai dari bawah dan mengakar ke bawah.

Umat Islam yang mayoritas populasinya, keislamannya tergantung pada atribut, predikat dan profesinya. Mereka terjebak kewajiban taat aturan lokal daripada melaksanakan syariat Islam secara total. Tanpa ragu dengan wajah tanpa dosa melanggar janji formal dan sumpah religinya. [Herwin Nur/wasathon.com]