Humaniora Dibaca :371 kali , 0 komentar
Meruwat Berhala Reformasi 3 K (Kuat, Kuasa, Dan Kaya)
Ditulis : Herwin Nur, 26 September 2012 | 20:12
Alih Rezim
21 Mei 1998 pendulum sejarah berubah drastis, Suharto lengser keprabon dari kursi presiden RI. Tekanan masyarakat sipil berbuah, berakhirnya rezim Orde Baru. Babakan sejarah baru, era Reformasi mulai dan meluncur dari puncaknya. Pemilu 2003 diajukan jadi 1999, dengan
dalih untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk
dunia internasional. Pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang
merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya.
Pemilu
7 Juni 1999 diikuti 48 partai dari 141 partai yang terdaftar di
Departemen Kehakiman dan HAM, bandingkan dengan Pemilu 1977, 1982,
1987, 1992 dan 1997 yang hanya diikuti 3 kontestan yang sama. Artinya,
kran demokrasi terbuka lebar, dalam waktu satu tahun lahirlah 43 parpol.
Kedewasaan politik Indonesia dibuktikan ketika periode kepresidenan Abdurrahman
Wahid dijegal di tengah jalan, mandatnya dicabut oleh MPR melalui
Sidang Istimewa. Gus Dur, 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001, digantikan
oleh wapres Megawati Soekarnoputri.
Tambah Wilayah Administrasi
Semangat mendirikan parpol diimbangi dengan ledakan penambahan daerah otonomi baru, tepatnya penambahan wilayah adminsitrasi provinsi, kabupaten/kota, dst.
Ironisnya, desain besar Kemendagri untuk mengendalikan penataan daerah,
dengan mengestimasi jumlah provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia
sampai 2025.
Lahirnya
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) sebagai akibat dominasi politik pada
tatanan dan pranata birokrasi di era Orde Baru. Berkat Reformasi, KKN
bergerak bebas dalam koridor bagi hasil serta iklim yang kondusif dengan
adanya Otonomi (Pemerintah) Daerah. KKN sudah merambah dan mewabah
sampai tingkat kelurahan / desa.
Otonomi
seharusnya mampu meningkatkan daya beli rakyat, kinerja kepala daerah,
serta memunculkan kompetisi yang sehat antardaerah. Kenyataannya (data
FITRA), 2011 : 124 daerah yang anggaran belanja pegawai >50% APBD;
2012 : menjadi 302 daerah, bahkan 16 daerah menganggarkan “ongkos
tukang” >70%. Postur anggaran tersebut menyiratkan tujuan otoda untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan
publik akan sulit dicapai.
Otonomi
melahirkan kerajaan-kerajaan kecil dengan melestarikan sistem dinasti
sekaligus gurita kekuasaan. Format nepotisme membaur dengan sentimen
putera asli daerah. UU
yang mengatur tentang sistem kekerabatan dalam pemerintahan sedang
dalam proses pelegalan untuk diatur dan diaplikasikan. UU tersebut diharapkan dapat menjalankan roda putaran politik secara adil, serta terealisasikan untuk siapa saja tanpa pandang modal 3K. Calon independen masih berpeluang tipis untuk meraih tiket.
Lagu Wajib
Diawali dengan Good Governance,
Reformasi Birokrasi sampai Wilayah Bebas Korupsi di semua
kementerian/lembaga, menjadi lagu wajib penyelenggara negara. Media
massa dalam mengkritisi kebijakan dan kinerja Pemerintah, lebih bersifat
membentuk opini, uber peringkat.
3K
menjadi gaya hidup, gengsi dan gaul para kader dan elit parpol untuk
maju menjadi RI-1 sampai Kades, minimal jadi wakil rakyat. Gerakan
politik berbasis “no free lunch”, dipastikan KKN akan tetap
subur dan eksis. Jika berhasil, akan terjadi politik balas jasa/budi
atau politik balas dendam. Kalau gagal, akan jadi kanker menggerogoti
sendi-sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Nafas Panjang
Sejak
Orba, rakyat terbiasa mengencangkan ikat pinggang. Di era Reformasi,
rakyat perlu punya nafas panjang, bernyali dan tahan banting. Bersama 4
presiden, belum ada tanda-tanda “terbitlah terang”, hari esok lebih
benderang.
Bencana bergantian menyapa, yang “disapa” masih sibuk tanpa peduli, demi 3K. (Herwin Nur/Wasathon.com)
ilustrasi gambar: kichong.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar