Halaman

Selasa, 03 Desember 2013

Umat Islam, Jangan Tunggu Banyak Baru Bertindak

Humaniora     Dibaca :88 kali , 0 komentar

Umat Islam, Jangan Tunggu Banyak Baru Bertindak

Ditulis : Herwin Nur, 11 November 2013 | 16:08
Hijrah Jumlah
Salah satu hikmah di balik perintah Allah kepada Rasulullah untuk berhijrah, adalah jumlah pehijrah, walau secara kuantitas memang bisa dihitung, namun dari aspek kualitas (kadar keislaman) susah ditakar, sulit diukur, rumit ditimbang, mustahil dinilai.  
Niat, itikad dan semangat kaum Mujahirin, masih dibutuhkan dalam bentuk lain di era Reformasi ini, khususnya dalam menjalankan ajaran Islam secara total, lebih khusus lagi karena jiwa keislaman dibungkus dengan atribut duniawi.
Pasca hijrah, khususnya ketika Allah telah menetapkan status agama Islam, mengacu pada sebagian [QS Al Maa'idah (5) : 3] : “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Perjuangan umat Islam memasuki etape dengan kategori “mempertahankan dan menambah jumlah”.
Tantangan umat Islam di dunia, adanya beberapa hadits yang menjelaskan bahwa umat Islam nantinya akan terbagi menjadi sekian banyak golongan atau aliran. Aliran Islam yang dimaksud adalah aliran dalam masalah akidah/tauhid.

Berhala Reformasi
Atribut dan bungkus duniawi menyebabkan umat Islam terpaksa mengikuti pepatah “di kandang kambing mengembik, di kandang harimau mengaum”. Dengan dalih tuntutan pekerjaan, mengikuti aturan main di tempat pekerjaan, umat Islam tidak bebas bergerak untuk menegakkan syariat Islam. Ada yang bersikap moderat, dengan memakai asas “mengikuti arus, asal jangan terbawa arus”.

Ironisnya, wadah umat Islam, partai politik maupun organisasi massa, seolah baru bisa berbuat banyak untuk tanah air jika telah mempunyai kekuasaan dan kekuatan formal. Contoh nyata : Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin (DS), mengisyaratkan siap menjadi calon Presiden RI 2014 asalkan mendapat persetujuan dari organisasi

Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi Islam modern yang berdiri di Yogyakarta pada 18 November 1912. DS sebagai ketua umum ormas terbesar kedua di Tanah Air ini akan berakhir 2015 dan sudah dua masa jabatan, tentunya selama ini mempunyai agenda politik.

"Muhammadiyah tahu diri dan tidak terlibat dalam politik kekuasaan, karena hanya berpolitik moral. Kalau ada partai politik mau melamar kader Muhammadiyah sebagai pemimpin, Insya Allah punya banyak," kata DS seperti ditulis Antara.

Artinya, DS sudah bisa membedakan batas antara apa itu ‘politik kekuasaan’ dan apa itu ‘politik moral’.  Pengalaman DS di birokrasi, mantan Ketua Litbang Golkar, menjadikan DS tahu diri untuk tidak melampaui batas.

Rendah Diri
Sudah suratan takdir, bangsa Indonesia hidup di tanah yang subur, tidak menanam bisa tumbuh. Biji buah dibuang di sembarang tempat, akan bertunas. Kemalasan pertama, sebagai negara agraris, generasi muda enggan meneruskan tradisi petani.

Menunut ilmu umum pun, lebih terpengaruh dengan budaya instan. Kemalasan berikutnya, generasi muda tidak tahan banting. Maunya dengan ilmu formal pas-pasan, mau kerja dengan hasil di atas rata-rata.

Generasi muda Islam, merasa urusan Islam menjadi urusan yang mempunyai ilmu agama. Islam menjadi urusan wajib kyai, ustadz, ulama, haji, pesantren. Bahkan dengan ringan mengatakan agama urusan dan tanggung jawab Pemerintah.

Walhasil, umat Islam merasa rendah diri atau minder menyebut diri sebagai muslim, minder tampil dengan identitas dan jati diri Islam,  serta tidak yakin bakal diterima di tengah pergaulan modern. Demi tegaknya syiar Islam,  mereka mencari alternatif lain yang diyakini cepat mendatangkan dukungan luas masyarakat. Sambil melupakan pentingnya dukungan Allah (Herwin Nur/Wasathon.com)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar