Halaman

Jumat, 11 Januari 2019

Tata, Titi, Titis dan Tatas


Tata, Titi, Titis dan Tatas

Piwulang Jawa: tata, titi, titis dan tatas. Mungkin terasa asing tak asing di kuping anak wong Jawa. Kendati sebagai mata ajar di bangku pendidikan dasar. Atau malah sebagai acuan guru saat bertutur di depan klas. Diluncurkan ketika peserta didik terindikasi.

Masih banyak lagi piwulang Jawa yang menggunakan kata yang mirip urutan hurufnya. Atau beda penggunaan huruf hidup. Contoh kalau tidak salah: tatag, tutug. Beda di huruf awal. Misal: demen, remen. Bedah paribasan, tunggu saatnya. Diplesetkan menjadi becik ketampik, ala ketampa.

Kalau contoh judul “asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné”.

Kembali ke judul.  Rangkaiannya bermakna,  bahwasanya ikhtiar manusia wajib  merencanakan, menata kehidupan.  Dilakoni tahap demi tahap, laju titi waktu. Tidak terburu, teliti hasil untuk mantapkan  langkah. Sesuai rencana, tepat waktu. Dilakoni sampai tuntas. Berulang 24 jam atau satuan waktu.

Jer Basuki Mawa Béya mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan diperlukan pengorbanan. Pengorbanan atau béya di sini dalam arti luas, yang meliputi pengorbanan biaya tak terduga dan pengorbanan lain tak tercatat, baik materiil maupun non materiil.

‘Pengorbanan biaya’ yang mendasari marak, merebak dan suburnya biaya politik. Muncul politik transaksional, ideologi Rp, jual beli kursi, koalisi, politik balas jasa/balas budi sekaligus politik balas dendam. Termasuk mengadop faham ‘no free lunch’. Dinasti politik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, menjelma menjadi pemerintah bayangan.

Pemerintah malam hari menjadi pemerintah defacto. Penentu roda pemerintahan siang hari. Kehidupan malam yang bebas aturan. Transaksi apapun bisa terjadi. Tidak hanya binatang malam yang beroperasi. Kehidupan bangsa 24 jam tuntas sebelum tunas.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar