Tata, Titi,
Titis dan Tatas
Piwulang Jawa: tata, titi, titis dan tatas. Mungkin terasa asing
tak asing di kuping anak wong Jawa. Kendati sebagai mata ajar di bangku
pendidikan dasar. Atau malah sebagai acuan guru saat bertutur di depan klas.
Diluncurkan ketika peserta didik terindikasi.
Masih banyak lagi piwulang Jawa yang
menggunakan kata yang mirip urutan hurufnya. Atau beda penggunaan huruf hidup. Contoh
kalau tidak salah: tatag, tutug. Beda di huruf awal.
Misal: demen, remen. Bedah paribasan, tunggu saatnya. Diplesetkan
menjadi becik ketampik, ala ketampa.
Kalau contoh judul “asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné”.
Kembali ke judul. Rangkaiannya
bermakna, bahwasanya ikhtiar manusia wajib
merencanakan, menata kehidupan. Dilakoni tahap demi tahap, laju titi waktu.
Tidak terburu, teliti hasil untuk mantapkan langkah. Sesuai rencana, tepat waktu. Dilakoni
sampai tuntas. Berulang 24 jam atau satuan waktu.
Jer Basuki Mawa Béya mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu
kebahagiaan diperlukan pengorbanan. Pengorbanan atau béya di sini dalam arti
luas, yang meliputi pengorbanan biaya tak terduga dan pengorbanan lain tak
tercatat, baik materiil maupun non materiil.
‘Pengorbanan biaya’ yang mendasari marak, merebak dan suburnya biaya
politik. Muncul politik transaksional, ideologi Rp, jual beli kursi, koalisi,
politik balas jasa/balas budi sekaligus politik balas dendam. Termasuk mengadop
faham ‘no free lunch’. Dinasti politik tingkat kabupaten/kota maupun
provinsi, menjelma menjadi pemerintah bayangan.
Pemerintah malam hari menjadi pemerintah defacto. Penentu roda
pemerintahan siang hari. Kehidupan malam yang bebas aturan. Transaksi apapun
bisa terjadi. Tidak hanya binatang malam yang beroperasi. Kehidupan bangsa 24
jam tuntas sebelum tunas.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar