Halaman

Kamis, 31 Januari 2019

menulis, menambah daya ingat vs mengurangi beban ingatan


menulis, menambah daya ingat vs mengurangi beban ingatan

Pernah kutiliskan. Judul, tema, kalimat atau alenia. Atau malah menjadi pekerjaan yang terhutang manis. Hubungan harmonis antara ahli bertutur dengan lihai berbahasa tulis. Menembus batas kejadian perkara.

Mendengar orang bicara, bisa menebak arah mudik nalarnya. Lawan dialog hobi tari bibir, bikin kepala mual. Kisah tak sampai. Belum berucap namun tangan sudah berkata, tanda bijak. Mau buka mulut, malah senyum. Lebih mulia jadi pendengar tambah tambah dosa kedua belah pihak.

Akhirnya, walau masih dalam proses lama. Jauh dari pengakhiran. Bahasa sederhananya, di akhir tlisan muncul ide, timbul judul untuk kesempatan nanti-nanti. Disinilah, pasal memori diuji. Tafakur, iktikaf di masjid doa, dzikir, shalawat. Efek samping, berdialog dengan diri sendiri. Menguji tata kalimat yang siap saji dan sarat nikmat.
  
Kompromi dengan kata hati. Membka diri terhadap perlambang alam. Kuping mendengar kata orang, terasa mengusik khazanah diri. Seperti dituntun untuk berbahasa yang bukan hafalan. Mendaur ulang karya tulis sendiri.

Percepatan memulai atau mengakhiri tulisan. Merekaysa alenia narasi tetangga. Sesuaikan dengan subtansi yang akan ditampilkan. Bisa ada substansi andalan. Dilengkapi dengan bumbu kata. Atau diperkaya dengan subtansi sejenis untuk menambah wawasan.

Jadi, menulis itu bisa dengan membeberkan substansi secara horizontal. Mencara padanan kata, istilah agar tak membosankan. Karena menulis butuh ilmu. Maka karya tulis wajib bak sumber ilmu atau sebagai ilmu.

Pasangan, imbangan di atas. Menulis dengan menggali suatu substansi. Atau beberapa substansi sejenis dioplos untuk menghasilkan rumus kalimat baru. Bukan baru. Jarang dipakai tapi masih layak pakai.

Yang jelas saja kawan. Menulis bukan untuk menghakimi, mengadili, memvonis nasib diri. Menghadirkan dampak, efek ke masa depan yang bukan hak milik kita. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar