menulis, menambah daya ingat vs mengurangi beban ingatan
Pernah kutiliskan. Judul, tema, kalimat atau alenia. Atau
malah menjadi pekerjaan yang terhutang manis. Hubungan harmonis antara ahli
bertutur dengan lihai berbahasa tulis. Menembus batas kejadian perkara.
Mendengar orang bicara, bisa menebak arah mudik nalarnya.
Lawan dialog hobi tari bibir, bikin kepala mual. Kisah tak sampai. Belum berucap
namun tangan sudah berkata, tanda bijak. Mau buka mulut, malah senyum. Lebih
mulia jadi pendengar tambah tambah dosa kedua belah pihak.
Akhirnya, walau masih dalam proses lama. Jauh dari
pengakhiran. Bahasa sederhananya, di akhir tlisan muncul ide, timbul judul
untuk kesempatan nanti-nanti. Disinilah, pasal memori diuji. Tafakur, iktikaf
di masjid doa, dzikir, shalawat. Efek samping, berdialog dengan diri sendiri. Menguji
tata kalimat yang siap saji dan sarat nikmat.
Kompromi dengan kata hati. Membka diri terhadap
perlambang alam. Kuping mendengar kata orang, terasa mengusik khazanah diri. Seperti
dituntun untuk berbahasa yang bukan hafalan. Mendaur ulang karya tulis sendiri.
Percepatan memulai atau mengakhiri tulisan. Merekaysa
alenia narasi tetangga. Sesuaikan dengan subtansi yang akan ditampilkan. Bisa ada
substansi andalan. Dilengkapi dengan bumbu kata. Atau diperkaya dengan subtansi
sejenis untuk menambah wawasan.
Jadi, menulis itu bisa dengan membeberkan substansi
secara horizontal. Mencara padanan kata, istilah agar tak membosankan. Karena
menulis butuh ilmu. Maka karya tulis wajib bak sumber ilmu atau sebagai ilmu.
Pasangan, imbangan di atas. Menulis dengan menggali suatu
substansi. Atau beberapa substansi sejenis dioplos untuk menghasilkan rumus
kalimat baru. Bukan baru. Jarang dipakai tapi masih layak pakai.
Yang jelas saja kawan. Menulis bukan untuk menghakimi,
mengadili, memvonis nasib diri. Menghadirkan dampak, efek ke masa depan yang
bukan hak milik kita. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar