pengguna prostitusi vs peolok-olok politik
Barangsiapa yang menggunakan
barang/jasa yang menurut pasal hukum masuk kategori melanggar hukum. Tidak serta
merta akan terjerat atau wajib dijerat sehingga menjadi tersangka. Tidak juga. Bahasa
hukum memang disederhanakan untuk menghindari multitafsir.
Pasal perbuatan tidak menyenangkan,
bisa diterapkan kapas saja. Berlaku bagi siapa saja tanpa pandang warna bulu
gender. Terlebih, apalagi jika menyinggung martabat penguasa. Langsung proses
di tempat. Beda pasal dengan menganggap martabat presiden hanya sebagai petugas
partai.
Kondisi kejiwaanlah yang menyebabkan
si pemberi stigma tadi, tidak bisa dipidanakan. Apalagi si penerima tidak
merasa dilecehkan. Malah bangga mendapat perhatian khusus, ujaran langsung dari
mulut pepundennya.
Ironis binti miris, daya cengkeram
hamba hukum. Kendati kejadian perkara sudah jelas tanpa batas, terang-benderang.
Ketika diusut, kian kusut. Kian disidik, kian bulu kuduk bergidik. Cari jalan aman. Sama-sama
diuntungkan.
Dalih kurang bukti, tidak ada saksi
mata. Kasus lain, bukti bisa menyusul. Tuduhan bisa dinamis. Gemulai praktik
hukum Nusantara bukan karena pasal multitafsir. Asas pilih tanding. Pilah pilih
perkara pendongkrak karier.
Pasal yang mana dimana terjadi
pembunuhan karakter. Abaikan. Karena pelaku sedang transfer pahala ke pihak
yang jadi sasaran aksi tangan dan ujaran mulutnya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar