Halaman

Jumat, 18 Januari 2019

pengguna prostitusi vs peolok-olok politik


pengguna prostitusi vs peolok-olok politik

Barangsiapa yang menggunakan barang/jasa yang menurut pasal hukum masuk kategori melanggar hukum. Tidak serta merta akan terjerat atau wajib dijerat sehingga menjadi tersangka. Tidak juga. Bahasa hukum memang disederhanakan untuk menghindari multitafsir.

Pasal perbuatan tidak menyenangkan, bisa diterapkan kapas saja. Berlaku bagi siapa saja tanpa pandang warna bulu gender. Terlebih, apalagi jika menyinggung martabat penguasa. Langsung proses di tempat. Beda pasal dengan menganggap martabat presiden hanya sebagai petugas partai.

Kondisi kejiwaanlah yang menyebabkan si pemberi stigma tadi, tidak bisa dipidanakan. Apalagi si penerima tidak merasa dilecehkan. Malah bangga mendapat perhatian khusus, ujaran langsung dari mulut pepundennya.

Ironis binti miris, daya cengkeram hamba hukum. Kendati kejadian perkara sudah jelas tanpa batas, terang-benderang. Ketika diusut, kian kusut. Kian disidik,  kian bulu kuduk bergidik. Cari jalan aman. Sama-sama diuntungkan.

Dalih kurang bukti, tidak ada saksi mata. Kasus lain, bukti bisa menyusul. Tuduhan bisa dinamis. Gemulai praktik hukum Nusantara bukan karena pasal multitafsir. Asas pilih tanding. Pilah pilih perkara pendongkrak karier.

Pasal yang mana dimana terjadi pembunuhan karakter. Abaikan. Karena pelaku sedang transfer pahala ke pihak yang jadi sasaran aksi tangan dan ujaran mulutnya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar