Halaman

Senin, 07 Mei 2018

kepercayaan rakyat jangan disekolahkan


kepercayaan rakyat jangan disekolahkan

 Jikaku naik angkot, kupilih duduk di muka pak sopir. Maksudnya kududuk di muka di samping pak sopir yang sedang sibuk bekerja. Menyopiri angkotnya uber rezeki.

Modal, moral, modus sopir nyaris tipikal. Soal bersaing dengan ojek online, ditanggapi sesuai keinginan mereka. Susah diambil kesimpulan walau memang benang merahnya agak merah tanggung.

Bangga karena BPKB-nya bisa disekolahkan. Di beberapa usaha jasa keuangan, sehingga angkotnya bisa beranak.

Dikejadian perkara yang serupa tapi tidak sewajah. Jika ada pemilik angkot yang merangkap sopir, mampun memberi nafkah atau menghidupi keluarganya. Mengacu asas ekonomi, jika jumlah angkot bertambah maka masukan Rp melaju. Tapi ternyata tidak. Pada jumlah tertentu, malah si angkot merongrong. Menjadi beban sang juragan angkot.

Juragan angkot naik daun karena ikut pemilihan umum legislatif tingkat kota. Bukan tak terpilih. Hanya kalah suara. Dinamika kehidupan. Dukungan para sopir dan keluarganya, tidak bisa dianggap kecil, sepele. Bahkan teman sedaerah dengan profesi beda, sepertinya mendukung.  

Singkat kata. Bayangkan kalau ada penyelenggara negara yang mendapat mandat dari rakyat. Memang bukan dokumen atau surat berharga. Agar lebih “berharga” jangan sampai dicarikan dukungan dana di luar jalur resmi. Apalagi ada niat lanjut ke jalur yang sama kedua kalinya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar