kepercayaan rakyat
jangan disekolahkan
Jikaku
naik angkot, kupilih duduk di muka pak sopir. Maksudnya kududuk di muka di
samping pak sopir yang sedang sibuk bekerja. Menyopiri angkotnya uber rezeki.
Modal,
moral, modus sopir nyaris tipikal. Soal bersaing dengan ojek online, ditanggapi
sesuai keinginan mereka. Susah diambil kesimpulan walau memang benang merahnya
agak merah tanggung.
Bangga
karena BPKB-nya bisa disekolahkan. Di beberapa usaha jasa keuangan, sehingga
angkotnya bisa beranak.
Dikejadian
perkara yang serupa tapi tidak sewajah. Jika ada pemilik angkot yang merangkap
sopir, mampun memberi nafkah atau menghidupi keluarganya. Mengacu asas ekonomi,
jika jumlah angkot bertambah maka masukan Rp melaju. Tapi ternyata tidak. Pada jumlah
tertentu, malah si angkot merongrong. Menjadi beban sang juragan angkot.
Juragan
angkot naik daun karena ikut pemilihan umum legislatif tingkat kota. Bukan tak
terpilih. Hanya kalah suara. Dinamika kehidupan. Dukungan para sopir dan
keluarganya, tidak bisa dianggap kecil, sepele. Bahkan teman sedaerah dengan
profesi beda, sepertinya mendukung.
Singkat
kata. Bayangkan kalau ada penyelenggara negara yang mendapat mandat dari
rakyat. Memang bukan dokumen atau surat berharga. Agar lebih “berharga” jangan
sampai dicarikan dukungan dana di luar jalur resmi. Apalagi ada niat lanjut ke jalur yang sama kedua kalinya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar