Halaman

Senin, 03 Oktober 2016

menulis dan tambal sulam pikiran



menulis dan tambal sulam pikiran

Kendati menulis di Blog Pribadi, bukan suka duka. Tetapi cenderung ke laku memanipulasi daya olah kata bahasa tulis dibanding praktik bahasa ucap, bahasa cakap, bahasa lisan. Banyak seninya. Radar hati terasa peka. Cuma mendengar celoteh antar anak didik bisa jadi sumber inspirasi. Dengar orang banyak cakap – belum masuk kategori omdo (omong doang) – perut bisa mual. Materi, substansi, bahan cakap biasa, umum, atau lumrah, namun dibawakan dengan gaya yang enak di telinga, telinga tidak gatal.

Menulis satu kalimat terkadang butuh perjuangan. Betapa ada orang ahli bertutur, berucap ataupun bercuap berkalimat-kalimat. Dilengkapi dengan bahasa tubuh. Mungkin sudah bawaan dari sono-nya.

Bahasa tidak sekedar menunjukkan bangsa, tetapi pada derajat tertentu bisa mengindikasi isi perut. Orang cerdas, ber-IQ di atas rata-rata tidak otomatis bisa bertutur kata sesuai komposisi otaknya. Tukang kampanye, tukang jual obat, tukang promosi sebagai bukti bahwa bahasa ucap bisa dilatih. Beda dengan ahli debat, kebanyakan memakai resep Jawa : “waton suloyo”. Pembawa acara dituntut buka mulut, menterjemahkan situasi ke situasi yang lebih atraktif, dinamis.

Ahli jual beli perkara di pengadilan, tidak sempat berpikir menyusun kalimat yang baik dan benar. Yang penting si lawan bicara, pendengar manggut-manggut. Argo hukum, semakin banyak bicara kemungkinan akan menang perkara. Pihak yang salah atau pihak yang benar sangat ditentukan oleh pertarungan antar pemahir bicara. Fakta bisa dibolak-balik agar tampak lebih aktual, sebagai bukti yang terekayasa.

Guru sampai mahaguru dituntut bisa bahkan ahli bicara sekaligus pakar bahasa tulis, menulis – walau belum budaya. Daya rekam, daya simpan otak atas berbagai kejadian peristiwa yang kita alami, memang didesain Allah sedemikian rupa. Otak otomatis merespon, mendukung bahkan medorong si empunya lidah untuk bersilat lidah. Kalau sudah begini, kata ahlinya, hati atau qolbu dibiarkan menganggur.

Menulis dengan sepenuh hati. Walau pernah menulis – jauh dari status ahli menulis – selalu bingung bagaimana membuat kalimat pembuka. Karena kalimat pertama bisa menentukan “nasib’ kalimat berikutnya. Kalimat yang seolah sederhana, enak dibaca, acap melaui proses yang tidak sederhana. Bongkar pasang kata untuk menyusun sebuah kalimat, memang harus dilakukan. Termasuk hasil olah kata sendiri menjadi acuan untuk tulisan berikutnya.

 Alenia pertama bisa disusun setelah mengalami pergulatan batin. Judul tulisan bisa menjadi faktor penentu kandungannya. Judul muncul setelah tulisan mengalir. Secara ilmiah ada kata kunci. Memang harus ada yang menjadi etalase, agar jual tulisan menarik minat. Ragam tulisan sangat dinamis, walau kalah langka dengan ragam tutur. Kita secara tak sengaja menemukan kata/kalimat yang menjadi trade mark, menjadi karakter, menjadi identitas si penulis. Sekilas melihat atau baca cepat, sudah bisa ditebak siapa penulisnya. Maunya begitu, tetapi apa daya, tangan enggan diajak kompromi. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar