Halaman

Sabtu, 29 Juli 2017

rakyat memuliakan mulutnya untuk berdoa, bukan untuk menghujat dan/atau menjilat



rakyat memuliakan mulutnya untuk berdoa, bukan untuk menghujat dan/atau menjilat

Buih-buih, riak gelombang pergolakan politik Nusantara, seolah menutupi alam nyata kehidupan berbangsa dan benegara. Dapat dikatakan, akibat aneka menus ideologi tua dunia atau sampai terkini, masih eksis di NKRI.

Penguasa lebih mengedepankan cuap dan ucap mulut daripada kinerja. Semakin lantang bicara, semakin lebar buka mulut, semakin merasa telah berbuat banyak buat negara.

Merasa kalau argo pengabdian ditentukan oleh banyaknya suara, frekuensi suara, dengung dan gema suara yang didendangkan, dilolongkan.


Klimaksnya, ketika terjadi kasus penistaan agama yang melibatkan penguasa. Diyakini skenario berlapis ini tak akan menguap begitu saja. Karena target besarnya di pesta demokrasi 2019.

Pemerintah liwat aparat keamanan negara, mempunyai jurus mematikan, senjata pamungkas, aji dan jimat rahasia. Rakyat tingal pilih. Ditunjuk pakai tangan kiri yang artinya akan masuk hotel gratis alias penjara. Atau ditunjuk pakai tangan kanan yang bermakna boleh pilih tempat peristirahatan terakhir, di mana saja.

Stigma atau pencitraan manusia Indonesia sebagai teroris, pemakar, uneducated people, permanent underclass, warga negara klas kambing atau sebutan lainnya, tidak perlu direspon, bereaksi atau melakukan berbalas pantun. Jelas, karena menganggap orang lain lebih buruk dari diri kita adalah suatu keburukan sendiri.

Jangan coba-coba otak-atik kebijakan pemerintah Jokowi plus minus JK, menghadapi pesta demokrasi 2019. Biarkan pemerintah urus pemerintahannya. Kalau rakyat sampai sumbang suara – apalagi suara sumbang – bisa dikenai pasal berlapis berbasis makar, teror harga, fitnah dunia, mencemarkan sekaligus merugikan nama baik negara.

Konon ada Pasal lama, KUHP, berujar tertulis : Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatann permufakatan atua perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bisa saja di periode 2014-2019, ada yang merasa tersinggung jika dimaksud sebagai pihak yang bisa berhubungan dengan negara asing. Karena tidak mungkin seorang rakyat mampu, bisa, dapat berhubungan dengan negara asing. Begitu juga sebaliknya, seorang rakyat yang sedang duduk melamun, tahu-tahu didatangi orang asing. Kecuali turis asing yang kesasar di daerahnya.

Rakyat tidak tahu persis, pihak mana saja di dalam negeri yang sering ke luar negeri, khususnya ke negara tertentu atau satu negara saja. Sesuai dengan kepentingan dan urusannya, yang tidak terkait dengan kepentingan rakyat.

Munculnya ratusan partai politik hanya merupakan puncak gunung es. Masalah yang terpendam harus kita waspadai, siap-siap meledak dan menghancurkan bangsa ini. Eksesnya sudah kita rasakan dengan tertelannya peradaban bangsa oleh sebaran dan edaran bebas Narkoba dan ragam pornografi sebagai alat pemukul penguasa.

Rakyat saat melakoni kehidupannya tidak pikir panjang dengan apakah langkahnya konstitusional atau tidak. Mereka kebanyakan buta politik tetapi tanpa pamrih bekerja karena merasa negara ini yang memberi makan. Modalnya sederhana, kalau roda semakin obah maka rezeki akan semakin tambah.

Aneka konflik di akar rumput, bahkan di depan hidung pemerintah yang bermarkas di ibukota negara, selalu melibatkan penguasa dan/atau pengusaha di satu pihak yang benar dan baik melawan rakyat yang dianggap tidak pro-Pancasila. Rakyat yang ingin mencemarkan wibawa negara. Rakyat yang ingin menghalangi laju pembangunan nasional maupun pembangunan daerah.

Rakyat masih mempunyai kekuatan doa dan kebajikan tanpa pamrih. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar