rakyat memuliakan
mulutnya untuk berdoa, bukan untuk menghujat dan/atau menjilat
Buih-buih,
riak gelombang pergolakan politik Nusantara, seolah menutupi alam nyata
kehidupan berbangsa dan benegara. Dapat dikatakan, akibat aneka menus ideologi
tua dunia atau sampai terkini, masih eksis di NKRI.
Penguasa
lebih mengedepankan cuap dan ucap mulut daripada kinerja. Semakin lantang
bicara, semakin lebar buka mulut, semakin merasa telah berbuat banyak buat
negara.
Merasa
kalau argo pengabdian ditentukan oleh banyaknya suara, frekuensi suara, dengung
dan gema suara yang didendangkan, dilolongkan.
Klimaksnya,
ketika terjadi kasus penistaan agama yang melibatkan penguasa. Diyakini skenario
berlapis ini tak akan menguap begitu saja. Karena target besarnya di pesta
demokrasi 2019.
Pemerintah
liwat aparat keamanan negara, mempunyai jurus mematikan, senjata pamungkas, aji
dan jimat rahasia. Rakyat tingal pilih. Ditunjuk pakai tangan kiri yang artinya
akan masuk hotel gratis alias penjara. Atau ditunjuk pakai tangan kanan yang
bermakna boleh pilih tempat peristirahatan terakhir, di mana saja.
Stigma
atau pencitraan manusia Indonesia sebagai teroris, pemakar, uneducated people, permanent underclass, warga negara klas kambing atau sebutan
lainnya, tidak perlu direspon, bereaksi atau melakukan berbalas pantun. Jelas,
karena menganggap orang lain lebih buruk dari diri kita adalah suatu keburukan
sendiri.
Jangan
coba-coba otak-atik kebijakan pemerintah Jokowi plus minus JK, menghadapi pesta
demokrasi 2019. Biarkan pemerintah urus pemerintahannya. Kalau rakyat sampai
sumbang suara – apalagi suara sumbang – bisa dikenai pasal berlapis berbasis
makar, teror harga, fitnah dunia, mencemarkan sekaligus merugikan nama baik
negara.
Konon
ada Pasal lama, KUHP, berujar tertulis : Barang siapa mengadakan hubungan
dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan
permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan
bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatann
permufakatan atua perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
Bisa
saja di periode 2014-2019, ada yang merasa tersinggung jika dimaksud sebagai
pihak yang bisa berhubungan dengan negara asing. Karena tidak mungkin seorang
rakyat mampu, bisa, dapat berhubungan dengan negara asing. Begitu juga
sebaliknya, seorang rakyat yang sedang duduk melamun, tahu-tahu didatangi orang
asing. Kecuali turis asing yang kesasar di daerahnya.
Rakyat
tidak tahu persis, pihak mana saja di dalam negeri yang sering ke luar negeri,
khususnya ke negara tertentu atau satu negara saja. Sesuai dengan kepentingan
dan urusannya, yang tidak terkait dengan kepentingan rakyat.
Munculnya
ratusan partai politik hanya merupakan puncak gunung es. Masalah yang terpendam
harus kita waspadai, siap-siap meledak dan menghancurkan bangsa ini. Eksesnya
sudah kita rasakan dengan tertelannya peradaban bangsa oleh sebaran dan edaran
bebas Narkoba dan ragam pornografi sebagai alat pemukul penguasa.
Rakyat
saat melakoni kehidupannya tidak pikir panjang dengan apakah langkahnya
konstitusional atau tidak. Mereka kebanyakan buta politik tetapi tanpa pamrih
bekerja karena merasa negara ini yang memberi makan. Modalnya sederhana, kalau
roda semakin obah maka rezeki akan semakin tambah.
Aneka
konflik di akar rumput, bahkan di depan hidung pemerintah yang bermarkas di
ibukota negara, selalu melibatkan penguasa dan/atau pengusaha di satu pihak
yang benar dan baik melawan rakyat yang dianggap tidak pro-Pancasila. Rakyat
yang ingin mencemarkan wibawa negara. Rakyat yang ingin menghalangi laju
pembangunan nasional maupun pembangunan daerah.
Rakyat
masih mempunyai kekuatan doa dan kebajikan tanpa pamrih. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar