Menyeimbangkan Sifat Manusiawi Dengan
Tingkat Keimanan
oleh : Herwin Nur
Akhir tidur malam,
satu jam sebelum azan subuh dikumandangkan dari masjid terdekat rumah, kita
tersadar dari lelap. Merasa waktu subuh masih lama, tanpa pikir panjang ambil
sikap memperpanjang mimpi. Jelang waktu azan subuh bergema, bawah sadar kita buka
mata. Merasa waktu thulu’ atau batas waktu sholat subuh masih lama, tanpa pikir
panjang pilih melanjutkan tutup mata. Atau andai berhasil bangun tidur, jika
tergesa-gesa atau terburu-buru ke masjid (yakin laku tergesa / terburu adalah
perbuatan setan), lebih aman sholat subuh di rumah.
Uraian di atas,
menunjukkan sifat manusiawi kita. Logis, masuk akal, tanpa rekayasa jiwa, batin
maupun rohani. Apa hubungan timbal
balik, korelasi, interaksi, keterkaitan dengan batas, kadar, ataupun tingkat
keimanan.
Kita
merasakan manfaat tidur di malam hari. Al-Qur’an menjelaskan waktu malam dan
tidur, antara lain kita mengacu fiman Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an [QS
Al Furqaan (25) : 47] :
“Dialah yang
menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia
menjadikan siang untuk bangun berusaha”.
Wajar jika kita
memahami tidur malam untuk istirahat. Kerja sehari memeras otak, menguras
tenaga, butuh pemulihan diri. Tidur malam adalah
waktu yang digunakan tubuh untuk memulihkan diri. Energi dipulihkan dan memori
dipadatkan, jadi kita perlu pola tidur yang bermanfaat, bukannya mengadalkan
lamanya jam tidur. Kalau perlu, mencoba untuk mendapatkan tidur yang teratur
secara rutin. Tidur malam menyempurnakan proses pencernaan
makanan yang telah masuk ke dalam tubuh. Karena pada waktu tidur, panas alami
badan meresap ke dalam tubuh sehingga membantu mempercepat proses pencernaaan. Otot dan jaringan akan memperbaiki diri, hormon mengontrol pertumbuhan,
perkembangan dan nafsu makan dilepaskan.
Soal
tidur malam, terkait sifat manusiawi, idealnya kita mengacu fiman Allah
yang diabadikan dalam Al-Qur’an [QS As
Sajdah (32) : 16]
: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka
selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka
menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan”.
Yang dimaksud ‘Lambung mereka jauh dari
tempat tidurnya’ adalah mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur
untuk mengerjakan shalat malam. Jika
uraian di atas, tepatnya mengacu berbagai ayat Al-Qur’an tentang
waktu malam dan tidur, kita sudah bisa mengelola sifat manusiawi.
Saat umat Islam
melaksanakan habluminannas, saat melakukan ikhwal manusia sebagai
makhluk sosial dengan interaksi sosial, mempraktekkan hidup bermasyarakat, seolah
terjebak dikotomi, menghadapi pilihan yang dilematis, yaitu mana yang
diutamakan, sifat manusiawi atau tingkat keimanan.
Contoh nyata di
lingkungan tempat tinggal. Kita diundang keluarga duka untuk melakukan doa
bersama bagi almarhum/almarhumah. Baik di hari pertama, kedua, ketiga atau tiap
hari sampai tujuh hari. Kita datang dengan berbagai motivasi. Kaum hawa yang
datang pun, malah lebih motivasinya. Mendadak berbusana muslimah, mirip ke
kondangan atau arisan ibu-ibu.
Tetangga atau tamu
yang diundang, lebih suka duduk menggerombol dengan yang dikenal, yang sudah
akrab. Membuat acara sendiri. sebagai ajang silaturahmi, sebagai ajang reuni.
Soal tahlilan yang dipimpin ustadz lokal, pengikutnya seolah khusus bagi kaum
sarungan, yang sudah bergelar haji, yang sudah hafal surah Yaasiin, jamaah
masjid, pengurus lingkungan, tokoh masyarakat, orang yang sudah tua.
Sifat manusiawi bisa
untuk diri sendiri, yang bersifat pribadi, privat, individual. Sifat manusiawi
bisa bersifat masal, dalam bentuk komunitas, terorganisir dan menjadi budaya
dan kearifan lokal. Daya tanggap, peduli, peka, bahkan empati dan simpati terhadap
sesama, terhadap orang lain, terhadap lingkungan, sebagai wujud sifat
manusiawi, dilandasi tingkat keimanan.
Tingkat keimanan, jika
hanya bersifat individual bagaikan sebatang lidi. Akan lebih bermakna, lebih
bermanfaat jika menjadi sapu lidi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar