Halaman

Selasa, 20 Januari 2015

TIGA SERANGKAI

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 21/11/2008 01:19

TIGA SERANGKAI

Di sebuah negara, tetangga dari negara tetangga kita, sedang sibuk menghadapi pesta demokrasi Pilpres abad XXI. Banyak bakal calon yang mempromosikan dirinya, liwat media massa atau berbagai cara yang aktraktif. Mulai dari cara yang paling sederhana sampai upaya dengan mengandalkan dana tak terkira. Nuansa politik terasa kental di lingkungan dan komunitas bakal capres maupun bakal cawapres. Mekanisme pencalonan liwat parpol tak menyurutkan minat segepok orang untuk tampil.

Salah semua parpol lokal berlogo nasional, punya stok 3 (telu) calon presiden sekaligus. Dimulai dari mantan bakal capres periode sebelumnya; yang merasa telah membidani parpol; dan yang terakhir yang sedang punya masa pemilih. Tiga serangkai, dalam hikayat dikenal :

Pertama, manusia dengan sebutan bekennya Samin Kais bin Komat Kamit, sosok ini memang suka mengkais-kais kesalahan orang lain, terutama yang sedang berkuasa. Termasuk mengkomatkamiti kekurangan orang lain. Prinsipnya, buruk diri primbon tetangga diobral. Dengan modal ambisi, oknum ini maju sendirian. Dulu ya dulu, malu ya malu. Jangan keok sebelum penyok. Biar babak belur yang penting tidak terbujur.

Kedua, manusia ini cerminan zaman ceritera 1001 malam, nama kondangnya Sutris nan Bachil. Suka makan kikil. Tampilan mengundang rasa kasihan para penyandang sakit jiwa. Mencicil bak buta Cakil, ngemut gula keliru kerikil. Tak heran, oknum ini sedang menebar kerikil untuk dirinya. Untungnya, model seperti ini sudah yang paling baik, karena yang lebih buruk sudah habis diborong. Modalnya banyak merasa bisa.

Ketiga, manusia dengan julukan komersial Didin Sudin bin Tengahudin. Tengahudin memang saudaranya Awaludin dan Akhirudin. Bukan dari kalangan suku dinas, walau mirip cecak-cecak di dinding, diam-diam memang diam. Datang kesempatan, siapa saja dilibas. Bekal massa, atau pengalaman di kerajaan menyebabkan dengan rasa bangga berlebih maju ke pentas Negara. Modal pernah merasakan Abidin utawa atas biaya dinas. Memang enak hidup dibiayai oleh dinas. Kalau tidak ada mereka, mungkin panggung politik akan sepi, bak kuburan di malam hari (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar