Jumat, 21/11/2008 01:19
TIGA SERANGKAI
Di sebuah negara,
tetangga dari negara tetangga kita, sedang sibuk menghadapi pesta demokrasi
Pilpres abad XXI. Banyak bakal calon yang mempromosikan dirinya, liwat media
massa atau berbagai cara yang aktraktif. Mulai dari cara yang paling sederhana
sampai upaya dengan mengandalkan dana tak terkira. Nuansa politik terasa kental
di lingkungan dan komunitas bakal capres maupun bakal cawapres. Mekanisme
pencalonan liwat parpol tak menyurutkan minat segepok orang untuk tampil.
Salah semua parpol
lokal berlogo nasional, punya stok 3 (telu) calon presiden sekaligus. Dimulai
dari mantan bakal capres periode sebelumnya; yang merasa telah membidani
parpol; dan yang terakhir yang sedang punya masa pemilih. Tiga serangkai, dalam
hikayat dikenal :
Pertama, manusia
dengan sebutan bekennya Samin Kais bin Komat Kamit, sosok ini memang suka
mengkais-kais kesalahan orang lain, terutama yang sedang berkuasa. Termasuk
mengkomatkamiti kekurangan orang lain. Prinsipnya, buruk diri primbon tetangga
diobral. Dengan modal ambisi, oknum ini maju sendirian. Dulu ya dulu, malu ya
malu. Jangan keok sebelum penyok. Biar babak belur yang penting tidak terbujur.
Kedua, manusia ini
cerminan zaman ceritera 1001 malam, nama kondangnya Sutris nan Bachil. Suka
makan kikil. Tampilan mengundang rasa kasihan para penyandang sakit jiwa.
Mencicil bak buta Cakil, ngemut gula keliru kerikil. Tak heran, oknum ini
sedang menebar kerikil untuk dirinya. Untungnya, model seperti ini sudah yang
paling baik, karena yang lebih buruk sudah habis diborong. Modalnya banyak
merasa bisa.
Ketiga, manusia
dengan julukan komersial Didin Sudin bin Tengahudin. Tengahudin memang
saudaranya Awaludin dan Akhirudin. Bukan dari kalangan suku dinas, walau mirip
cecak-cecak di dinding, diam-diam memang diam. Datang kesempatan, siapa saja dilibas.
Bekal massa, atau pengalaman di kerajaan menyebabkan dengan rasa bangga
berlebih maju ke pentas Negara. Modal pernah merasakan Abidin utawa atas biaya
dinas. Memang enak hidup dibiayai oleh dinas. Kalau tidak ada mereka, mungkin
panggung politik akan sepi, bak kuburan di malam hari (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar