jiwa
kerdil anak bangsa, alergi kata pribumi vs buta sejarah bangsa
di Nusantara ini, yang namanya ahli,
ahli apa saja bisa didapat sesuai pesanan. Mau dari yang ahli tapi tidak ahli
sampai yang benar-benar ahli sehingga tidak tahu ahli apa.
Salah banyaknya adalah profesi
koruptor. Malah harus ahli apa saja. Tidak harus super ahli.
Kalau yang mampu membuat pasal
intimidasi vs sepremasi separatis, itu ahli menerima pesanan sekaligus sebagai
pelaksanan lapangan yang tak diragukan tingkat keahliannya.
Mau tahu dan tanyakan kepada
ahlinya. Seperti mau survei, tanpa ahli survei, tanpa ahli menjabarkan pesan
singkat, hasilnya?
Hebatnya periode 2014-2019 semakin
dikritisi malah dianggap mau makar. Semakin disanjung, dipuja, dipuji malah
lupa daratan, lautan, udara dan kepolisian. Pokoké menang.
Terang benderang, salah makan apa
generasi yang alergi, antipati dengan kata “pribumi”. Merasa gagah kalau bisa
bilang itu masuk pasal deskriminatif.
Generasi ini bukannya lupa sejarah,
tidak tahu sejarah. Sejarah yang diterimanya, salah buku. Guru sejarah hanya
mengajarkan sejarah politik dengan segala cerita heroismenya, patriotisme sejak
zaman penjajahan. Tentunya yang melibatkan jago-jago politik lokal saat itu.
Walhasil, kita wajib prihatin atas
nasib anak bangsa yang sengaja melupakan sejarah masa lalu bangsa. Malah
semangat membuat sejarah dengan pasal cari-cari, cari masalah vs cari muka. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar