Halaman

Senin, 16 Oktober 2017

Jakarta Kota SARA BEGO



Jakarta Kota SARA BEGO

Argo politik gubernur + wakil gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 t.m.t tanggal pelantikan, 16 Oktober 2017, mulai berdetak, berdetik, berdentang. Banyak pihak menanti pelaksanaan janji kampanye.

Karena status DKI tidak serta merta bebas bergerak. Biasanya kalau lintas provinsi, antar dua provinsi atau lebih, maka pemerintah mempunyai wewenang untuk bertindak. Atau persoalan provinsi yang berdampak nasional, semisal gunung meletus, pemerintah wajib tindak turun tangan. Ini konstutusinya.

Diharapkan penyelesaikan sengketa antar dua provinsi, dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Bukan mufakat untuk tidak mufakat. Kerja sama antar provinsi bertetangga, berbatasan.

Sudah tradisi agaknya, jika setiap gubernur DKI Jakarta mempunyai slogan, semboyan atau sebutan lainnya tentang pembangunan. Baik gubernur dari kalangan militer maupun dari kalangan sipil (tapi partai). Dengan komponen janji kampanye sepertinya akan diuji coba di 100 hari pertama.

Jakarta tidak hanya menjadi milik bangsa dan rakyat Indonesia, agaknya sudah menjadi bagian utama kepentingan asing. Jangan heran, tirani minoritas dari manusia ekonomi, pemodal, investor politik dari negara paling bersahabat tetap ambil pusing. Bukan karena biaya politik terbuang percuma. Skenario tertunda dan belum tentu nanti bisa lanjut. Kendati pewaris dan pelaku gerakan senyap atheis masih eksis.

Bagaimana orang terpana dengan sepak terjang gubernur “sang penista agama”, mulai menaganggap remeh HAM sampai seolah bersih dari main duwit APBD atau terima upeti dari rekanan. Rakyat tak lupa, dan tak mau tahu, kalau ada pemodal yang menggaji sesuai pesanan. Barter politik klas dunia.

Kapan mau mengulas sebutan, predikat yang cocok buat DKI Jakarta di periode 2017-2022.

Usulan ini memang tidak mujarab. Maklum penulis tidak berKTP-e DKI Jakarta.

Tidak perlu hasil survei tanpa survei, tidak perlu kajian akademis, tidak perlu jajag pendapat ke pasar tradisional atau lomba susun jargon. Cukup mengacu fakta di era reformasi. Diperkuat dengan fakta gonjang-ganjing politik versi periode 2014-2019 sebagai latar belakang keimpilan usulan.

Akhirnya, penulis sepakat dalam hati untuk mengusulkan Jakarta adalah kota Saling Rasa dan Bebas Goyang utawa SARA BEGO. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar