efek
domino revolusi mental, gerakan senyap ideologi komunis vs aksi nyata separatis
konstitusional
Karakter peradaban suatu bangsa, sangat
ditentukan oleh proses perjuangan semua unsur rakyat, segala elemen masyarakat,
segenap komponen penduduk. Perjuangan dalam segala aspek kehidupan.
Perjuangan bangsa Indonesia, yang
akan menentukan garis kehidupannya, adalah melepaskan diri dari penjajahan
bangsa asing di negeri sendiri. Kita hanya mengenang 3,5 abad, Nusantara
dikuasai oleh bangsa dan pemerintah Belanda. Seumur jagung, tenaga rakyat
diperas habis-habisan oleh balatentara Jepang. Belum pasukan Sekutu yang membuka
cabang. Itupun masih belum berakhir, secara de jure mapun de facto.
Keberhasilan bangsa Indonesia dengan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak otomatis menjadikan sendi-sendi
kehidupan bertanah air, merdeka juga. Bukan sekedar butuh waktu. Tetapi sangat
ditentukan oleh hubungan, interaksi kesamaan, kebersamaan, perstauan dan
kesatuan.
Modal dasar untuk merdeka, memang
jauh masa sudah dipunyai oleh bangsa Indonesia. Sejarah sudah mencatatnya. Tentu
dengan berbagai versi atau sesuai selera pihak tertentu.
Penulisan sejarah Indonesia tak
lepas dari pengaruh sejarah bangsa-bangsa yang lain. Ada fakta reliji yang
sengaja disamarkan atau bahkan dikuburkan. Bangsa yang mendewakan akal, kemampuan
otak, mengutamakan logika, dalam proses kehidupan sudah ada yang merasa terbentur
pada dinding kokoh.
Fakta sejarah yang sengaja
disamarkan, malah membuka mata mereka. Penemuan ilmiah, atau minimal pemikiran
ilmiah terbentur pada kondisi tidak bisa menemukan jawabannya. Kendati dari
berbagai pakar, ahli beda bangsa, yang tak sengaja melakukan hal yang sama,
akan memasuki tahap yang sama. Yaitu kebuntuan untuk mencari jawaban atas
teka-teki kehidupan.
Mereka sulit untuk merumuskan
kehidupan dunia. Dibanding alam semesta, yang salah satunya berupa Bulan sudah
berhasil diinjak kaki manusia. belum benda angkasa lainnya yang berhasil
didarati. Minimal diambil gambarnya atau data/info ilmiahnya.
Kalau bangsa yang jauh tahun merdeka
dari Indonesia, atau yang seumur, atau bahkan yang lebiuh muda, tampak melaju
meninggalkan kemajuan peradaban NKRI, jangan saling mencari kambing hitam.
Ironis binti miris, justru yang
sedang naik dau di periode 2014-2019, dengan asas mégatéga.
Saya pernah mengolahkata “demi wibawa negara,
penguasa harus serba mégatéga”.
Kita jangan terjebak pada titik
retak pemerintah vs daya rekat bangsa. Jangan sampai gonjang-ganjing pilkada
DKI Jakarta 2017, hanya menjadi hiasan sejarah demokrasi. Lenyap oleh kebijakan
penguasa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar