Membangun
Jakarta Dengan Energi Pancasila
Betul, baik, dan benar kawan. Kalau
mau tinggal di Jakarta harus berani hidup. Modal iini saja masih dirasakan
kurang. Persaingan horizontal menjadi menu harian.
Kaum pendatang haram di Jakarta
bukan sekedar mengadu nasib, mencari peruntungan, atau ikut kerabat yang sudah
duluan sukses, tapi sudah menjadi mazhab bagaimana menumpang tua di Jakarta.
Jakarta memang menyediakan “obat awet tua”, “obat tahan hidup miskin”, “obat
tahan dan kuat malu”.
Semakin banyak aturan formal di
pasang di tempat umum, berarti semakin banyak perilaku warga yang tidak sesuai
aturan. Bukan berarti pendatang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru.
Papan pengumuman resmi pemerintah
provinsi Jakarta, justru sebagai pertanda, tetenger, bahwa di lokasi
tersebut ada penguasanya. Ada semacam raja kecil. Minimal sebagai batas
teritoral antar preman.
Di Jakarta, ada lokasi dengan nama kampung
suatu suku, menunjukkan ada penguasaan atau tempat konsul kopral daerah
bermarkas. Pada strata tertentu, lokasi ini malah sebagai ajang promosi bagi
aparat keamanan.
Jadi selain berani hidup, masih ada
modal lain yang harus dikuasai, dimiliki, digunakan dan dimanfaatkan. Medan laga,
ajang tarung vertikal membutuhkan nyali di atas rata-rata nasional. Dalam skala
nasional, demi wibawa negara, penguasa harus serba mégatéga.
Raja jalanan, setan jalanan, geng
motor, anak jalanan sebagai bukti representasi bahwa jalan pun ada penguasanya.
Jakarta sebagai ibu kota negara
Indonesia, memang sangat serba menjanjikan. Tepat dibilang miniatur Indonesia.
Miniatur, artinya, yang mini, sebagai tirani minoritas, asal berani dan
penyembah berhala Reformasi 3K (Kaya, Kuasa, kuat) bisa mengatur lalu lintas
kehidupan Jakarta. Yang mayoritas menjadi penonton. Menjadi budak di rumah
sendiri. Siap tukar ganti budaya, jati diri, citra diri agar tetap eksis.
Di era mégatéga, mégakasus, mégabencana,
mégakorupsi 2014-2019, ketika semakin marak jalan tingkat, jalan susun, jalan
layang semangkin membuktikan bahwa Jakarta seolah bukan tempatnya orang miskin.
Tengok pusat perbelanjaan modern, atau yang diatas tradisional, disesaki oleh
calon pembeli maupun turis lokal. Di bulan Ramadhan, khususnya disepuluh ahari
terakhir, terjadi alih makna yaitu umat Islam “tarawih” dan “i’tikaf” di semua
strata mall.
Klimaksnya dengan kasus reklamasi
teluk Jakarta serta kasus penistaan agama oleh gubernur aktir DKI Jakarta saat
itu.
Pendatang, mulai masyarakat papan
bawah, akar rumput, wong cilik, tidak perlu modal. Jakarta tersedia sumber daya
modal. Ketika Joko Widodo menorehkan sejarah betapa jabatan amanah Gubernur DKI
Jakarta bisa sebagai batu loncatan ke kepala negara, serta-merta mendongkrak
pamor Jakarta. Pola ‘tinggal gelanggang, colong playu’ yang dipraktikkan
Jokowi, serta-merta mendapat amnesti politik begitu argo sebagai petugas partai
berjalan. Revolusi mental menjadikan ‘turun di tengah jalan sebelum jatuh
tempo’ menjadi model sukses politik.
Jakarta secara dinamis menjadi kota
serba multi. Menjadi pabrik, pencetak manusia unggul, tempat orang adu otot
sampai adu otak. Kepentingan asing belum merasa yakin jika tidak mengirim
orangnya, blusukan di setiap gang, lorong Jakarta. Kehidupan malam disatroni,
diakrabi sambil menyebar alternatif prospektus nikmat duniawi. Generasi muda
disulap dengan cepat menjadi generasi siap jadi apa saja, siap kemana saja,
siap membawakan peran apa saja.
Jakarta kota 24 jam, kota siang
malam, kota tak pernah tidur. Gubernur siang vs gubernur malam. Siapa saja bisa
jadi tuan. Yang halal dan yang haram berjalan beiringan, tidak saling serobot.
Bahkan dalam waku yang sama, manusia Jakarta, tepatnya yang uber Rp di Jakarta,
sulit membedakan mana yang halal dengan mana yang haram. Kegiatan usaha atau duniawi
dibalut, dibingkai, dikemas secara formal, legal, sesuai pasal hukum buatan
manusia, bermartabat, beretika, apalagi dilakukan secara rutin. Aroma irama
kehidupan berbasis halal maupun berbasis haram, seolah menjadi trade mark
Jakarta.
Jangan-jangan pendatang di Jakarta,
datang dengan kondisi sehat jiwa raga, bugar lahir batin, waras jasmani rohani,
setelah berproses sekian lama, sesudah kontrak politik usai, pasca batas
usia/umur kerja dilampaui, menuntaskan banting tulang peras keringat, bubar
melakoni kepala jadi kaki – kaki jadi kepala, sehabis habis-habisan upaya
kanan-kiri mentok, balik kandang, pulang kampung, malah menyandang lali jiwo.
Minimal, Kartu Jakarta Waras, di kampung halaman tidak berlaku. Diganti dengan
Kartu Lali Jiwo. Opo tumon.
Jakarta menjadi tujuan dan masa
depan anak bangsa. Jakarta menjadi serba khusus, maka segala masalah utama
Jakarta, yaitu BMKG = Banjir, Macet, Kebakaran dan Gusur-menggusur harus
ditangani secara sinergi, serba khusus dan terpadu.
Penyebab BMKG adalah faktor manusia.
Akibat kebodohan sampai keserakahan manusia. Penyakit BMKG harus ditangai
bersama antar pelaku pembangunan : pemerintah, swasta dan masyarakat. Jakarta
harus dikelola dalam 24 jam. Keberanian, atau bahkan tangan besi yang
diperlukan. Bukan dengan pendekatan politik, pendekatan keamanan.
Tantangan nyata Jakarta, bisa datang
dari mana saja, kapan saja, di mana saja. Tantangan dominan akibat adanya
kehidupan malam hari. Kehidupan religius mendapat tantangan di depan mata. Ali
Sadikin saat jadi gubernur Jakarta, 1966-1977, salah satu kebijakannya yang
kontroversial adalah mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klab malam,
mengizinkan diselenggarakannya perjudian di kota Jakarta dengan memungut
pajaknya untuk pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak
sebagai lokalisasi pelacuran. Di bawah kepemimpinannya pula diselenggarakan
pemilihan Abang dan None Jakarta.
Warisan kebijakan ala Bang Ali, ada
yang dilestarikan, disederhanakan, disesuaikan dengan gaya hidup metropolitan.
Sejalan dengan citra “membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara
kesatuan” telah diimbangi dengan menguasai Nusantara dimulai dari ibukota
negara.
Kita bersyukur, masih ada penduduk
Jakarta yang berjiwa Pancasila, sehingga konspirasi dan skenario investor
politik dari negara paling bersahabat, tidak menjadi kenyataan.
Adalah hari Rabu tanggal 19 April
2017, pasangan bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta,
Anies-Sandi membalik keadaan dan memenangi putaran kedua dengan memperoleh
57,9% suara serta merebut kemenangan di seluruh wilayah administratif DKI
Jakarta.
Banyak hikmah di balik hasil Pemilukada DKI Jakarta,
Rabu 11 Juli 2012. Mulai dari sudah
tidak ada dogma bahwa hanya Putra Asli Daerah yang layak memimpin daerahnya
sampai fakta bahwa parpol bukan jaminan untuk mendulang suara. Rekan jejak kandidatlah
yang akan mempengaruhi dan menentukan pilihan rakyat.
Sebagai ibukota negara, Jakarta
milik bangsa Indonesia, Jakarta harus menjadi Jakarta.
Gelombang aksi manusia Pancasila
yang bela negara, cinta tanah air, bukan untuk mengetuk pintu istana, tetapi
mengetuk pintu langit.
Jika kita tak belajar dari sejarah,
maka tak ayal Garuda Pancasila akan dicabik-cabik oleh cakar naga. Semoga dengan
menempatkan presiden kelima RI masuk dalam UKP-PIP, rakyat bisa bernafas lega,
walau sementara sampai akhir periuode 2014-2019.
Rasanya, bangsa ini seperti memutar
ulang adegan atau fragmen sejarah ibukota negara yang berinteraksi dengan sejarah pergerakan kemanusiaan
dan peradaban. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar