Halaman

Senin, 16 Oktober 2017

Membangun Jakarta Dengan Energi Pancasila



Membangun Jakarta Dengan Energi Pancasila

Betul, baik, dan benar kawan. Kalau mau tinggal di Jakarta harus berani hidup. Modal iini saja masih dirasakan kurang. Persaingan horizontal menjadi menu harian.

Kaum pendatang haram di Jakarta bukan sekedar mengadu nasib, mencari peruntungan, atau ikut kerabat yang sudah duluan sukses, tapi sudah menjadi mazhab bagaimana menumpang tua di Jakarta. Jakarta memang menyediakan “obat awet tua”, “obat tahan hidup miskin”, “obat tahan dan kuat malu”.

Semakin banyak aturan formal di pasang di tempat umum, berarti semakin banyak perilaku warga yang tidak sesuai aturan. Bukan berarti pendatang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru.

Papan pengumuman resmi pemerintah provinsi Jakarta, justru sebagai pertanda, tetenger, bahwa di lokasi tersebut ada penguasanya. Ada semacam raja kecil. Minimal sebagai batas teritoral antar preman.

Di Jakarta, ada lokasi dengan nama kampung suatu suku, menunjukkan ada penguasaan atau tempat konsul kopral daerah bermarkas. Pada strata tertentu, lokasi ini malah sebagai ajang promosi bagi aparat keamanan.

Jadi selain berani hidup, masih ada modal lain yang harus dikuasai, dimiliki, digunakan dan dimanfaatkan. Medan laga, ajang tarung vertikal membutuhkan nyali di atas rata-rata nasional. Dalam skala nasional, demi wibawa negara, penguasa harus serba mégatéga.

Raja jalanan, setan jalanan, geng motor, anak jalanan sebagai bukti representasi bahwa jalan pun ada penguasanya.

Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia, memang sangat serba menjanjikan. Tepat dibilang miniatur Indonesia. Miniatur, artinya, yang mini, sebagai tirani minoritas, asal berani dan penyembah berhala Reformasi 3K (Kaya, Kuasa, kuat) bisa mengatur lalu lintas kehidupan Jakarta. Yang mayoritas menjadi penonton. Menjadi budak di rumah sendiri. Siap tukar ganti budaya, jati diri, citra diri agar tetap eksis.

Di era mégatéga, mégakasus, mégabencana, mégakorupsi 2014-2019, ketika semakin marak jalan tingkat, jalan susun, jalan layang semangkin membuktikan bahwa Jakarta seolah bukan tempatnya orang miskin. Tengok pusat perbelanjaan modern, atau yang diatas tradisional, disesaki oleh calon pembeli maupun turis lokal. Di bulan Ramadhan, khususnya disepuluh ahari terakhir, terjadi alih makna yaitu umat Islam “tarawih” dan “i’tikaf” di semua strata mall.

Klimaksnya dengan kasus reklamasi teluk Jakarta serta kasus penistaan agama oleh gubernur aktir DKI Jakarta saat itu.

Pendatang, mulai masyarakat papan bawah, akar rumput, wong cilik, tidak perlu modal. Jakarta tersedia sumber daya modal. Ketika Joko Widodo menorehkan sejarah betapa jabatan amanah Gubernur DKI Jakarta bisa sebagai batu loncatan ke kepala negara, serta-merta mendongkrak pamor Jakarta. Pola ‘tinggal gelanggang, colong playu’ yang dipraktikkan Jokowi, serta-merta mendapat amnesti politik begitu argo sebagai petugas partai berjalan. Revolusi mental menjadikan ‘turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo’ menjadi model sukses politik.

Jakarta secara dinamis menjadi kota serba multi. Menjadi pabrik, pencetak manusia unggul, tempat orang adu otot sampai adu otak. Kepentingan asing belum merasa yakin jika tidak mengirim orangnya, blusukan di setiap gang, lorong Jakarta. Kehidupan malam disatroni, diakrabi sambil menyebar alternatif prospektus nikmat duniawi. Generasi muda disulap dengan cepat menjadi generasi siap jadi apa saja, siap kemana saja, siap membawakan peran apa saja.

Jakarta kota 24 jam, kota siang malam, kota tak pernah tidur. Gubernur siang vs gubernur malam. Siapa saja bisa jadi tuan. Yang halal dan yang haram berjalan beiringan, tidak saling serobot. Bahkan dalam waku yang sama, manusia Jakarta, tepatnya yang uber Rp di Jakarta, sulit membedakan mana yang halal dengan mana yang haram. Kegiatan usaha atau duniawi dibalut, dibingkai, dikemas secara formal, legal, sesuai pasal hukum buatan manusia, bermartabat, beretika, apalagi dilakukan secara rutin. Aroma irama kehidupan berbasis halal maupun berbasis haram, seolah menjadi trade mark Jakarta.

Jangan-jangan pendatang di Jakarta, datang dengan kondisi sehat jiwa raga, bugar lahir batin, waras jasmani rohani, setelah berproses sekian lama, sesudah kontrak politik usai, pasca batas usia/umur kerja dilampaui, menuntaskan banting tulang peras keringat, bubar melakoni kepala jadi kaki – kaki jadi kepala, sehabis habis-habisan upaya kanan-kiri mentok, balik kandang, pulang kampung, malah menyandang lali jiwo. Minimal, Kartu Jakarta Waras, di kampung halaman tidak berlaku. Diganti dengan Kartu Lali Jiwo. Opo tumon.

Jakarta menjadi tujuan dan masa depan anak bangsa. Jakarta menjadi serba khusus, maka segala masalah utama Jakarta, yaitu BMKG = Banjir, Macet, Kebakaran dan Gusur-menggusur harus ditangani secara sinergi, serba khusus dan terpadu.

Penyebab BMKG adalah faktor manusia. Akibat kebodohan sampai keserakahan manusia. Penyakit BMKG harus ditangai bersama antar pelaku pembangunan : pemerintah, swasta dan masyarakat. Jakarta harus dikelola dalam 24 jam. Keberanian, atau bahkan tangan besi yang diperlukan. Bukan dengan pendekatan politik, pendekatan keamanan.

Tantangan nyata Jakarta, bisa datang dari mana saja, kapan saja, di mana saja. Tantangan dominan akibat adanya kehidupan malam hari. Kehidupan religius mendapat tantangan di depan mata. Ali Sadikin saat jadi gubernur Jakarta, 1966-1977, salah satu kebijakannya yang kontroversial adalah mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klab malam, mengizinkan diselenggarakannya perjudian di kota Jakarta dengan memungut pajaknya untuk pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak sebagai lokalisasi pelacuran. Di bawah kepemimpinannya pula diselenggarakan pemilihan Abang dan None Jakarta.

Warisan kebijakan ala Bang Ali, ada yang dilestarikan, disederhanakan, disesuaikan dengan gaya hidup metropolitan.

Sejalan dengan citra “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan” telah diimbangi dengan menguasai Nusantara dimulai dari ibukota negara.

Kita bersyukur, masih ada penduduk Jakarta yang berjiwa Pancasila, sehingga konspirasi dan skenario investor politik dari negara paling bersahabat, tidak menjadi kenyataan.

Adalah hari Rabu tanggal 19 April 2017, pasangan bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta, Anies-Sandi membalik keadaan dan memenangi putaran kedua dengan memperoleh 57,9% suara serta merebut kemenangan di seluruh wilayah administratif DKI Jakarta.

Banyak  hikmah di balik hasil Pemilukada DKI Jakarta, Rabu 11 Juli 2012. Mulai dari  sudah tidak ada dogma bahwa hanya Putra Asli Daerah yang layak memimpin daerahnya sampai fakta bahwa parpol bukan jaminan untuk mendulang suara. Rekan jejak kandidatlah yang akan mempengaruhi dan menentukan pilihan rakyat.

Sebagai ibukota negara, Jakarta milik bangsa Indonesia, Jakarta harus menjadi Jakarta.

Gelombang aksi manusia Pancasila yang bela negara, cinta tanah air, bukan untuk mengetuk pintu istana, tetapi mengetuk pintu langit.

Jika kita tak belajar dari sejarah, maka tak ayal Garuda Pancasila akan dicabik-cabik oleh cakar naga. Semoga dengan menempatkan presiden kelima RI masuk dalam UKP-PIP, rakyat bisa bernafas lega, walau sementara sampai akhir periuode 2014-2019.

Rasanya, bangsa ini seperti memutar ulang adegan atau fragmen sejarah ibukota negara  yang berinteraksi dengan sejarah pergerakan kemanusiaan dan peradaban. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar