Halaman

Senin, 09 Oktober 2017

kebutuhan demokrasi vs syarat konstitusi



kebutuhan demokrasi vs syarat konstitusi

Kata atau lema ‘demokrasi’ dan istilah ‘konsitusi’ yang adalah benda asing, malah menjadikan negara dan pemerintah terpana, terpesona sekaligus merana, gundah gulana. Semakin diperdebatkan makna, hakikat, kemanfaatnnya, bukannya bak ramuan ajaib, malah sebaliknya, melemahkan sendi-sendi dan otot berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Ironis binti miris. Dua unsur serapan asing, demokrasi dan konstitusi, dianggap sebagai budaya asing. Semakin dirumuskan agar tampak gamblang, malah semakin mengambang.

Akhirnya, bagaimana cara menggunakan dengan cara yang benar dan cara yang baik, diserahkan kepada pihak yang sedang berkuasa.

Akhirnya mekanisme penggunaan daya guna demokrasi dan konstitusi menjadi satu kesatuan. Soal rumusan akademis, jabaran politisnya, menjadi senjata andalan penguasa, pemerintah yang sedang kontrak politik, maupun pihak-pihak diluar manusia politik.

Selain mengalami penghalusan bahasa, yang tetap terasa asing di hati anak bangsa. Entah faktor tak sengaja, faktor kelalaian manusiawi, atau faktor pengabaian, artinya penyerapan dan penerapan semboyan demokrasi dan konstitusi tidak melihat kondisi nyata di masyarakat, tidak dengan pendekatan dan pembauran dengan yang sudah ada. Dampaknya, atau tepatnya efek dominonya terasa sampai sekarang.

Jangan diartikan, kedua benda asing tadi hanya sebagai pemoles, pelapis akhir jalannya NKRI. Baik untuk menjaga wibawa negara maupun menunjukkan kepada negara lain akan jati diri, eksistensi diri sekaligus pesona diri, citra diri pemerintah.

Banyak yang salah kaprah dalam mengartikan dan sekaligus menggunakan ramuan demokrasi dan rumusan konstitusi.

Kalah tanding dengan maraknya dinasti politik, politik keluarga yang menimbulkan pemerintah bayangan sampai tingkat kabupaten/kota, akhirnya diredam dengan langkah antisipasi gerakan separatis berdasarkan aksi non-politik.

Kalah banding dengan gerakan senyap anak cucu ideologis komunis yang nyaris tak terdeteksi oleh aparat keamanan gabungan, yang hanya diingat-ingat setiap bulan September, akhirnya dengan lapang dada semakin membiarkan  pengaruh investor politik dari negara paling bersahabat, membuka rukan, ruko di Nusantara.

Kalah sanding dengan keprihatinan nasional generasi pemilik masa depan bangsa yang notabene adalah pecinta tanh air, maka komplotan pro-pemerintah, kawanan loyalis presiden dengan gagah membuat barikade. Pasang badan siap berjibaku mempertahankan kekuasaan.

Akhirnya, tikus-tikus revolusi mental semakin formal melahap NKRI ini dari dalam. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar