kebutuhan
demokrasi vs syarat konstitusi
Kata atau lema ‘demokrasi’ dan
istilah ‘konsitusi’ yang adalah benda asing, malah menjadikan negara dan
pemerintah terpana, terpesona sekaligus merana, gundah gulana. Semakin diperdebatkan
makna, hakikat, kemanfaatnnya, bukannya bak ramuan ajaib, malah sebaliknya,
melemahkan sendi-sendi dan otot berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Ironis binti miris. Dua unsur
serapan asing, demokrasi dan konstitusi, dianggap sebagai budaya asing. Semakin
dirumuskan agar tampak gamblang, malah semakin mengambang.
Akhirnya, bagaimana cara menggunakan
dengan cara yang benar dan cara yang baik, diserahkan kepada pihak yang sedang
berkuasa.
Akhirnya mekanisme penggunaan daya
guna demokrasi dan konstitusi menjadi satu kesatuan. Soal rumusan akademis,
jabaran politisnya, menjadi senjata andalan penguasa, pemerintah yang sedang
kontrak politik, maupun pihak-pihak diluar manusia politik.
Selain mengalami penghalusan bahasa,
yang tetap terasa asing di hati anak bangsa. Entah faktor tak sengaja, faktor
kelalaian manusiawi, atau faktor pengabaian, artinya penyerapan dan penerapan
semboyan demokrasi dan konstitusi tidak melihat kondisi nyata di masyarakat,
tidak dengan pendekatan dan pembauran dengan yang sudah ada. Dampaknya, atau
tepatnya efek dominonya terasa sampai sekarang.
Jangan diartikan, kedua benda asing
tadi hanya sebagai pemoles, pelapis akhir jalannya NKRI. Baik untuk menjaga
wibawa negara maupun menunjukkan kepada negara lain akan jati diri, eksistensi
diri sekaligus pesona diri, citra diri pemerintah.
Banyak yang salah kaprah dalam
mengartikan dan sekaligus menggunakan ramuan demokrasi dan rumusan konstitusi.
Kalah tanding dengan maraknya
dinasti politik, politik keluarga yang menimbulkan pemerintah bayangan sampai
tingkat kabupaten/kota, akhirnya diredam dengan langkah antisipasi gerakan
separatis berdasarkan aksi non-politik.
Kalah banding dengan gerakan senyap
anak cucu ideologis komunis yang nyaris tak terdeteksi oleh aparat keamanan
gabungan, yang hanya diingat-ingat setiap bulan September, akhirnya dengan
lapang dada semakin membiarkan pengaruh
investor politik dari negara paling bersahabat, membuka rukan, ruko di
Nusantara.
Kalah sanding dengan keprihatinan
nasional generasi pemilik masa depan bangsa yang notabene adalah pecinta tanh
air, maka komplotan pro-pemerintah, kawanan loyalis presiden dengan gagah
membuat barikade. Pasang badan siap berjibaku mempertahankan kekuasaan.
Akhirnya, tikus-tikus revolusi
mental semakin formal melahap NKRI ini dari dalam. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar