Halaman

Jumat, 27 Oktober 2017

sumpah pemuda vs serapah petua



sumpah pemuda vs serapah petua

Bedanya cukup konstitusional. Kalau yang namanya petua atau orang berumur, orangtua, usia lanjut entah sampai kapan, memang secara historis pernah muda. Atau masih merasa berjiwa muda dengan cel-cel terbarukan.

Angka Harapan Hidup disertai bonus demografi, menjadikan plus ramuan ajaib dalam bentuk pasal intimidasi melalui UU dinasti politik, menjadikan anak bangsa merasa betah duduk lama-lama.

Terkhusus bagi yang nongkrong dan nangkringnya tidak utuh satu periode atau lima tahun. Akan kebelet lanjut dengan edisi tuntas sampai tinggal ampas. Atau yang merasa mendapat kesempatan sebagai batu loncatan untuk meningkat atau lanjut ke etape berikutnya. Ini namanya politik lokal mbokdé!

Muda menabung uang, tua menambang uang. Ideal dan atraktif di negara sedang, selalu dan akan berkembang.

Budaya pintas. Ingat olahkata saya yang alenia pertama tersurat : Ini lagi, ini lagi, seolah tak ada yang lebih jelek. Mesti soal demokrasi. Lembaga survei sekampiun apapun, akan kesulitan menghasilkan angin surga bahwa definisi formal konstitusional, formulasi jabaran akademis, menurut pendapat ahlinya tentang apa itu demokrasi Nusantara serta sampai bagaimana perwujudan dan praktik demokrasi, nyatanya di sisi lain menjadi faktor penyubur anak bangsa menjadi penyuka jalan pintas.

Ingat judul “dilema efek domino revolusi mental, jalan pintas vs jalan pantas”. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 masik memakai warna idealisme.

Konon, edisi terkini, pemuda zaman reformasi ternyata gagap ideologi.

Mereka bisa eksis karena menang merek. Melanjutkan tradisi keluarga untuk mengelola industry politik keluarga. Akhirnya, kedaulatan politik dalam negeri tidak bisa berdikari. Minimal harus berbasis nama besar, jasa besar nenek moyangnya.

Politik feodalistik in memang tidak salah. Tidak melanggar HAM. Sejarah sudah membuktikan mana buah karbitan, buah peraman. Mana buah kebal hama. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar