sumpah
pemuda vs serapah petua
Bedanya cukup konstitusional. Kalau yang
namanya petua atau orang berumur, orangtua, usia lanjut entah sampai kapan,
memang secara historis pernah muda. Atau masih merasa berjiwa muda dengan
cel-cel terbarukan.
Angka Harapan Hidup disertai bonus
demografi, menjadikan plus ramuan ajaib dalam bentuk pasal intimidasi melalui
UU dinasti politik, menjadikan anak bangsa merasa betah duduk lama-lama.
Terkhusus bagi yang nongkrong dan
nangkringnya tidak utuh satu periode atau lima tahun. Akan kebelet lanjut
dengan edisi tuntas sampai tinggal ampas. Atau yang merasa mendapat kesempatan
sebagai batu loncatan untuk meningkat atau lanjut ke etape berikutnya. Ini
namanya politik lokal mbokdé!
Muda menabung uang, tua menambang
uang. Ideal dan atraktif di negara sedang, selalu dan akan berkembang.
Budaya pintas. Ingat olahkata saya
yang alenia pertama tersurat : Ini lagi, ini lagi, seolah tak ada yang lebih
jelek. Mesti soal demokrasi. Lembaga survei sekampiun apapun, akan kesulitan
menghasilkan angin surga bahwa definisi formal konstitusional, formulasi
jabaran akademis, menurut pendapat ahlinya tentang apa itu demokrasi Nusantara
serta sampai bagaimana perwujudan dan praktik demokrasi, nyatanya di sisi lain
menjadi faktor penyubur anak bangsa menjadi penyuka jalan pintas.
Ingat judul “dilema efek domino
revolusi mental, jalan pintas vs jalan pantas”. Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 masik memakai warna idealisme.
Konon, edisi terkini, pemuda zaman
reformasi ternyata gagap ideologi.
Mereka bisa eksis karena menang
merek. Melanjutkan tradisi keluarga untuk mengelola industry politik keluarga. Akhirnya,
kedaulatan politik dalam negeri tidak bisa berdikari. Minimal harus berbasis
nama besar, jasa besar nenek moyangnya.
Politik feodalistik in memang tidak
salah. Tidak melanggar HAM. Sejarah sudah membuktikan mana buah karbitan, buah
peraman. Mana buah kebal hama. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar