pro-pemerintah
vs loyalis presiden vs cinta tanah air
Jujur saja, judul di atas jika
dinalar dengan mata hati, akan terdapat satu ungkapan atau entah apa namanya,
yang berbeda dengan dua lainnya. Tidak sekedar berbeda, dalam arti beda klas, selisih
angka, atau beda warna. Bahkan bertolak belakang secara hakikat.
Koq bisa? Jelas bisa. Maknanya saja,
kalau mau dibedah akan terlihat betapa besar nilai bedanya. Pelakunya sama-sama
rakyat NKRI.
Saat perut isi pun, sudah terasa ada
perbedaan dari karakter palakunya. Cinta dunia yang menjadikan para pelakunya
seolah terkotak-kotak. Bahasanya gamblangnya adalah karena kepentingan politik
yang menjadi penyebab utama perilaku, tindak raga, tindak tutur maupun modus
penganut pro-pemerintah dan/atau loyalis presiden.
Tentu. Para pelaku cinta tanah air,
tak dibebani embel-embel, yel-yel, slogan, semboyan apapun. Jauh dari
kontaminasi kebijakan partai.
Riwayatmu pe-cinta tanah air, sejak
dari sononya, zaman bahula, dari lingkungan peradaban, kerukunan dan paguyuban
yang merupakan cikal bakal sila-sila Pancasila.
Alkisah, di periode 2014-2019
semakin terang benderang perbedaan antara pe-cinta tanah air dengan
pro-pemerintah dan/atau loyalis presiden.
Pe-cinta tanah air, memang merupakan
sosok yang tak layak masuk berita sensasi, publikasi pencitraan atau jadi
incaran tukang pengganda gosip nafas setan. Mungkin, kalau diwawancarai, maka
jawabannya tak sejalan dengan kebijakan media massa berbayar.
Pe-cinta tanah air, memang jauh
kutub dari kawanan pesohor yang ganti gaya sisiran rambut, apalagi warna,
membuat heboh pihak tertentu. Membuat resah lawan karir di panggung hura-hura.
Pe-cinta tanah air, tak terikat oleh
waktu, tempat dan janji-janji. Mereka lebih terikat dengan ikatan moral,
jalinan dan interaksi sosial dengan sesama dan alam lingkungan. Mereka bekerja
untuk memenuhi kehidupan yang layak, manusiawi dan tidak serakah.
Pe-cinta tanah air, yang hak
konstitusional hany berlaku selama lima menit dalam lima tahun. Yaitu ketika
mereka yang mempunyai hak pilih, wajib datang ke TPS pada hari-H pesta
demokrasi.
Pe-cinta tanah air, posisinya sebagai
obyek pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Dalam analisa di atas
kertas, pemerintah tak ragu menetapkan stigma permanent underclass, uneducated
people, maupun kategori masyarakat yang kurang beruntung.
Pe-cinta tanah air, daya juangnya
tidak ditentukan oleh siapa yang jadi presiden, partai politik milik siapa yang
sedang naik daun. Bahkan siapa kepala desa yang terpilih, tidak ambil pusing.
Dengan senjata andalan “swasembada
beras”, tataniaga bumbu dapur sampai pasal ujaran kebencian maupun pasal makar
(tak berlaku pada kasus penistaan agama), ditambah ramua ajaib revolusi mental,
seolah nasib pe-cinta tanah air, berada di tangan yang kuasa yaitu pro-pemerintah
dan/atau loyalis presiden. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar