Halaman

Jumat, 06 Oktober 2017

pro-pemerintah vs loyalis presiden vs cinta tanah air



pro-pemerintah vs loyalis presiden vs cinta tanah air

Jujur saja, judul di atas jika dinalar dengan mata hati, akan terdapat satu ungkapan atau entah apa namanya, yang berbeda dengan dua lainnya. Tidak sekedar berbeda, dalam arti beda klas, selisih angka, atau beda warna. Bahkan bertolak belakang secara hakikat.

Koq bisa? Jelas bisa. Maknanya saja, kalau mau dibedah akan terlihat betapa besar nilai bedanya. Pelakunya sama-sama rakyat NKRI.

Saat perut isi pun, sudah terasa ada perbedaan dari karakter palakunya. Cinta dunia yang menjadikan para pelakunya seolah terkotak-kotak. Bahasanya gamblangnya adalah karena kepentingan politik yang menjadi penyebab utama perilaku, tindak raga, tindak tutur maupun modus penganut pro-pemerintah dan/atau loyalis presiden.

Tentu. Para pelaku cinta tanah air, tak dibebani embel-embel, yel-yel, slogan, semboyan apapun. Jauh dari kontaminasi kebijakan partai.

Riwayatmu pe-cinta tanah air, sejak dari sononya, zaman bahula, dari lingkungan peradaban, kerukunan dan paguyuban yang merupakan cikal bakal sila-sila Pancasila.

Alkisah, di periode 2014-2019 semakin terang benderang perbedaan antara pe-cinta tanah air dengan pro-pemerintah dan/atau loyalis presiden.

Pe-cinta tanah air, memang merupakan sosok yang tak layak masuk berita sensasi, publikasi pencitraan atau jadi incaran tukang pengganda gosip nafas setan. Mungkin, kalau diwawancarai, maka jawabannya tak sejalan dengan kebijakan media massa berbayar.

Pe-cinta tanah air, memang jauh kutub dari kawanan pesohor yang ganti gaya sisiran rambut, apalagi warna, membuat heboh pihak tertentu. Membuat resah lawan karir di panggung hura-hura.

Pe-cinta tanah air, tak terikat oleh waktu, tempat dan janji-janji. Mereka lebih terikat dengan ikatan moral, jalinan dan interaksi sosial dengan sesama dan alam lingkungan. Mereka bekerja untuk memenuhi kehidupan yang layak, manusiawi dan tidak serakah.

Pe-cinta tanah air, yang hak konstitusional hany berlaku selama lima menit dalam lima tahun. Yaitu ketika mereka yang mempunyai hak pilih, wajib datang ke TPS pada hari-H pesta demokrasi.

Pe-cinta tanah air, posisinya sebagai obyek pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Dalam analisa di atas kertas, pemerintah tak ragu menetapkan stigma permanent underclass, uneducated people, maupun kategori masyarakat yang kurang beruntung.

Pe-cinta tanah air, daya juangnya tidak ditentukan oleh siapa yang jadi presiden, partai politik milik siapa yang sedang naik daun. Bahkan siapa kepala desa yang terpilih, tidak ambil pusing.

Dengan senjata andalan “swasembada beras”, tataniaga bumbu dapur sampai pasal ujaran kebencian maupun pasal makar (tak berlaku pada kasus penistaan agama), ditambah ramua ajaib revolusi mental, seolah nasib pe-cinta tanah air, berada di tangan yang kuasa yaitu pro-pemerintah dan/atau loyalis presiden. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar