Indonesia
negara swasembada hukum
Di Indonesia, hanya tanam padi yang
ramai-ramai di sawah. Sekarang, para punggawa pemerintah dimulai sang presiden,
ramai-ramai mengatakan swasembada beras utawa mencukupi kebutuhan diri atau
bangsa akan beras tanpa mengandalkan impor. Kata Nawacita dan Trisakti,
diperkuat dengan ramuan ajaib revolusi mental.
Akhirnya, sang presiden sebagai
petugas partai pdip, hanya geleng-geleng kepala. Dengan logat Jawa-Solo berujar
datar “édan tenan, malah do ora sembada, nguciwani”. Sambil termèhèk-mèhèk,
Jokowi ngudal piwulang dengan mencuplik paribasan Jawa :
Pertama. Durung pecus keselak besus = Durung sembada
nanging kepingin sing ora-ora.
Kedua. Kegedhèn empyak kurang cagak = Kegedhèn
kakerepan nanging kurang sembada.
Ketiga. Kumenthus ora pecus. = Seneng umuk nanging ora
sembada.
Mbokdé gur mantuk-mantuk, tambah ora dong. Karo mikir déwé, “wah
aku dipuji”.
Lain cerita, lain lakon, lain
pelaku. Dikisahkan, gerakan senyap koruptor, hanya ramai-ramai saat OTT-KPK
atau kasusnya dibongkar. Setelah itu kembali senyap, lenyap. Seolah tak ada
apa-apa. Seolah tak ada kejadian gaduh negara. Soal negara dirugikan itu kan
bahasa ekonomi. Beda dengan bahasa politik dan kamus politik.
Pelaku korupsi atau koruptor bukan
perbuatan kriminal. Siapa pelaku atau pihak terduga akan menentukan pasal
hukumnya. Bahkan sampai keputusan hukum yang bersifat tetap, sudah ada
pasalnya.
Ternyata NKRI sudah sangat
swasembada hukum. Itu saja kawan.
Gantian, sang presiden cuma bisa mantuk-mantuk. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar