menakar kadar pakar dusta (jurus berkelit dan kamuflase/mimikri)
“negarawan” pe-Revolusi Mental
Bisa dikatakan tidak ada ilmu
formal, ilmu resmi, ilmu perguruan tinggi jika dipelajari dan lulus maka ybs
menjadi politikus. Kalau jurusan ilmu politik ada di beberapa perguruan tinggi.
Apalagi tidak ada sekolah kepresidenan, jika berhasil lulus dapat gelar/titel
“presiden”.
Apakah sejauh ini partai politik bisa dan mampu mencetak kader partai, loyalis, penggembira,
politisi, politikus atau sebutan lainnya yang perjalanan politiknya sampai menembus
tataran dan tatanan yang bertajuk, berlabel “negarawan”.
Apakah kemampuan partai politik mengulirkan kadernya sampai puncak karir hanya
sebagai wakil rakyat, kepala daerah atau bahkan menggapai jenjang kepala
negara. Kemudian hilang diperedaran atau bisa-bisa bisa berurusan dengan KPK.
Apakah kader partai politik yang berhasil menduduki jabatan partai, elit partai
mulai peladen/pelayan sampai ketua umum, karena bermodalkan prestasi dan
loyalitas total, sebagai pemodal/pemasok dana, punya nilai komersial serta yang
tak dapat dipungkiri karena faktor keturunan utawa silsilah.
Orang lupa, bahwa negarawan
adalah pejuang politik yang tak kenal waktu. Negarawan bukan jabatan partai
maupun jabatan publik. Berjuang secara menerus tak tergantung, tak terpengaruh
periode pemerintahan. Tidak risau, takut, gentar berseberangan dengan
pemerintah yang sedang bercokol. Juga tidak akan pernah menampakkan diri dengan
gagahnya jika partainya sedang naik daun. Bukan berarti negarawan atau
negarawati perlu obat kuat, obat perangsang penguat daya endus politik. Bukan
berarti negarawan atau negarawati berani malu, tahan malu tampil disetiap
kesempatan. Terlebih bermodal orasi menghiba-hiba atau jual tampang pengharu-rasa.
Maaf, tulisannya agak melenceng.
Kembali ke judul.
Memang dalam praktik, kawanan
parpolis dinilai kiprah, kontribusi, kinerjanya jika mampu menyuarakan isi hati
rakyat. Jika mampu mewakili hati nurani rakyat. Memakai ilmu pokrol bambu. Bermodal
ahli silat lidah, pakar baku mulut, lihai memutarbalikkan fakta, piawai
mencampuradukkan antara yang haq dengan yang batil.
Betapa “negarawan” lebih licin
daripada belut, sekaligus lebih mampu menyesuaikan diri dengan warna sekitar,
beradaptasi, melakukan penyamaran (kamuflase ataupun mimikri) dengan lingkungan
melebihi binatang bunglon. Tidak ada kaitannya dengan jinak-jinak merpati. Tak
ada korelasi dengan “buaya tidur disangka mati”.
Episode tanpa jilid “papa minta
pulsa” malah membuktikan bahwa “negarawan” sebagai penyelenggara negara sedang
pamer jurus berkelit dan ilmu penyamaran / penyesuian warna dengan lingkungan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar