Halaman

Sabtu, 12 Desember 2015

menakar kadar pakar dusta (jurus berkelit dan kamuflase/mimikri) “negarawan” pe-Revolusi Mental

 
menakar kadar pakar dusta (jurus berkelit dan kamuflase/mimikri) “negarawan” pe-Revolusi Mental

Bisa dikatakan tidak ada ilmu formal, ilmu resmi, ilmu perguruan tinggi jika dipelajari dan lulus maka ybs menjadi politikus. Kalau jurusan ilmu politik ada di beberapa perguruan tinggi. Apalagi tidak ada sekolah kepresidenan, jika berhasil lulus dapat gelar/titel “presiden”.

Apakah sejauh ini partai politik bisa dan mampu mencetak kader partai, loyalis, penggembira, politisi, politikus atau sebutan lainnya yang perjalanan politiknya sampai menembus tataran dan tatanan yang bertajuk, berlabel “negarawan”.

Apakah kemampuan partai politik mengulirkan kadernya sampai puncak karir hanya sebagai wakil rakyat, kepala daerah atau bahkan menggapai jenjang kepala negara. Kemudian hilang diperedaran atau bisa-bisa bisa berurusan dengan KPK.

Apakah kader partai politik yang berhasil menduduki jabatan partai, elit partai mulai peladen/pelayan sampai ketua umum, karena bermodalkan prestasi dan loyalitas total, sebagai pemodal/pemasok dana, punya nilai komersial serta yang tak dapat dipungkiri karena faktor keturunan utawa silsilah.

Orang lupa, bahwa negarawan adalah pejuang politik yang tak kenal waktu. Negarawan bukan jabatan partai maupun jabatan publik. Berjuang secara menerus tak tergantung, tak terpengaruh periode pemerintahan. Tidak risau, takut, gentar berseberangan dengan pemerintah yang sedang bercokol. Juga tidak akan pernah menampakkan diri dengan gagahnya jika partainya sedang naik daun. Bukan berarti negarawan atau negarawati perlu obat kuat, obat perangsang penguat daya endus politik. Bukan berarti negarawan atau negarawati berani malu, tahan malu tampil disetiap kesempatan. Terlebih bermodal orasi menghiba-hiba atau jual tampang pengharu-rasa.

Maaf, tulisannya agak melenceng. Kembali ke judul.

Memang dalam praktik, kawanan parpolis dinilai kiprah, kontribusi, kinerjanya jika mampu menyuarakan isi hati rakyat. Jika mampu mewakili hati nurani rakyat. Memakai ilmu pokrol bambu. Bermodal ahli silat lidah, pakar baku mulut, lihai memutarbalikkan fakta, piawai mencampuradukkan antara yang haq dengan yang batil.

Betapa “negarawan” lebih licin daripada belut, sekaligus lebih mampu menyesuaikan diri dengan warna sekitar, beradaptasi, melakukan penyamaran (kamuflase ataupun mimikri) dengan lingkungan melebihi binatang bunglon. Tidak ada kaitannya dengan jinak-jinak merpati. Tak ada korelasi dengan “buaya tidur disangka mati”.

Episode tanpa jilid “papa minta pulsa” malah membuktikan bahwa “negarawan” sebagai penyelenggara negara sedang pamer jurus berkelit dan ilmu penyamaran / penyesuian warna dengan lingkungan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar