dampak berguru hanya kepada satu guru
Alon-alon waton kelakon,
memang falsafah wong Jawa. Masih bisa diterapkan di zaman sekarang. Apalagi
salah satu sifat profil negatif manusia adalah serba terburu, tergesa, ingin
hasil instan tanpa peras keringat (apalagi peras otak), ingin bersegera. Apapun
bentuk kehidupan adalah proses. Merekayasa proses, sah-sah saja. Beda dengan
tata niaga, justru ada pihak ingin memperpanjang proses. Contoh terang-benderang
adalah kasus dwelling time pelabuhan laut.
Sifat kesusu,
grasa-grusu, waton nafsu oleh masyarakat Jawa justru sebagai hal yang disirik
(Jawa, artinya disingkiri, ditampik). Pada derajat, skala tertentu malah
menjadi pantangan.
Apa korelasi, keterkaitan,
ketersambungannya dengan judul?
Sabar. Orang menimba ilmu,
di pendidikan formal memang anak didik dididik oleh satu guru saja. Namun, satu
mata pelajaran diasuh satu guru. Satu mata kuliah dipegang satu dosen,
terkadang dibantu beberapa asisten.
Diluar pendidikan formal,
misal dan khususnya orang belajardan sekaligus mendalami ilmu agama. Diharapkan
tidak berguru kepada satu guru saja. Artinya, tuntas dalam tataran tertentu,
bisa menuju guru berikutnya. Atau mendalami satu ilmu, ke beberapa guru.
Tentunya harus faham betul sumber ilmunya. Islam mewajibkan umatnya dalam
menerapkan agama, dalam koridor keilmuan, jangan hanya mengacu satu ayat Al-Qur’an
maupun sunah Rasul.
“Satu guru, satu ilmu” tidak
boleh saling mengganggu. Kita temui di acara berbasis “ilmu sihir” atau hal-hal
tidak berdasar nalar, logika, akal manusia. Untuk mempercepat proses menuju
tujuan, mencapai target, mewujudkan cita-cita, tak urung di panggung politik
terdapat istilah “kutu loncat”.
Apakah si kutu loncat ini
masuk kategori sifat kesusu, grasa-grusu, waton nafsu atau sebaliknya
yaitu tidak mau berguru hanya kepada satu guru? [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar