Halaman

Minggu, 20 Desember 2015

dampak berguru hanya kepada satu guru

dampak berguru hanya kepada satu guru

Alon-alon waton kelakon, memang falsafah wong Jawa. Masih bisa diterapkan di zaman sekarang. Apalagi salah satu sifat profil negatif manusia adalah serba terburu, tergesa, ingin hasil instan tanpa peras keringat (apalagi peras otak), ingin bersegera. Apapun bentuk kehidupan adalah proses. Merekayasa proses, sah-sah saja. Beda dengan tata niaga, justru ada pihak ingin memperpanjang proses. Contoh terang-benderang adalah kasus dwelling time pelabuhan laut.

Sifat kesusu, grasa-grusu, waton nafsu oleh masyarakat Jawa justru sebagai hal yang disirik (Jawa, artinya disingkiri, ditampik). Pada derajat, skala tertentu malah menjadi pantangan.

Apa korelasi, keterkaitan, ketersambungannya dengan judul?

Sabar. Orang menimba ilmu, di pendidikan formal memang anak didik dididik oleh satu guru saja. Namun, satu mata pelajaran diasuh satu guru. Satu mata kuliah dipegang satu dosen, terkadang dibantu beberapa asisten.

Diluar pendidikan formal, misal dan khususnya orang belajardan sekaligus mendalami ilmu agama. Diharapkan tidak berguru kepada satu guru saja. Artinya, tuntas dalam tataran tertentu, bisa menuju guru berikutnya. Atau mendalami satu ilmu, ke beberapa guru. Tentunya harus faham betul sumber ilmunya. Islam mewajibkan umatnya dalam menerapkan agama, dalam koridor keilmuan, jangan hanya mengacu satu ayat Al-Qur’an maupun sunah Rasul.

“Satu guru, satu ilmu” tidak boleh saling mengganggu. Kita temui di acara berbasis “ilmu sihir” atau hal-hal tidak berdasar nalar, logika, akal manusia. Untuk mempercepat proses menuju tujuan, mencapai target, mewujudkan cita-cita, tak urung di panggung politik terdapat istilah “kutu loncat”.

Apakah si kutu loncat ini masuk kategori sifat kesusu, grasa-grusu, waton nafsu atau sebaliknya yaitu tidak mau berguru hanya kepada satu guru? [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar