Halaman

Rabu, 30 Desember 2015

memahami gejala, gejolak dan geliat politik Nusantara 2016

memahami gejala, gejolak dan geliat politik Nusantara 2016

Bangsa Indonesia boleh bangga bin/binti besar kepala. Bayangkan, tanpa diduga, dari hasil survei lembaga dunia tentang daya juang kawanan parpolis, terdapat potensi nyata. Bahkan hanya ada di Indonesia. Keahlian tersebut bahkan terwakili secara jender, emansipasi ataupun berbasis tak tahu malu.

Betapa diberitakan, ada anak bangsa ahli jual tangis tanpa sebab. Ahli meneteskan, memeras, mengurai menguras air mata buaya politik. Setiap tampil disorot awak media massa, pandai memanfaatkan situasi, pidato tanpa skenario. Dengan suara mengharu-rasa. Dengan nada memelas merasa selalu dizalimi oleh penguasa. Cita-citanya masuk akal ybs saja. Yaitu ingin jadi presiden, koq rakyat yang milihnya kalah dengan tetangga sebelah. Bayangkan, rekam jejak sebagai anak presiden, di periode 1999-2004 menjadi wapres dan presiden, kurang apa. Memang betul-betul aneh wong cilik Indonesia. Mboke ingin urip enak ora direwangi. Bahkan dengan jujur ybs berujar kalau bapaknya bilang dia anak yang pandai. Namanya orang tua, tidak akan mengolok-olok anak sendiri. Dengan gaya kekanak-kanakan, kekenes-kenesan biar dikira orator ulung, mewarisi darah juang bapak moyangnya. Ironisnya, kader partainya sendiri acap tidak menyimak pidatonya. Padahal ada jargon mengimbangi semangat banteng ketaton, yatiu :

sing arep milih, malah isih molah-malih
sing wis malih, malah ora milih-milih

Di pihak lain, ada sesosok manusia, lain, beda jenis kelamin dengan yang diberitakan pertama. Walau tidak masuk kategori tampang buaya. Namun jika bergaya di mimbar, di depan barisan mike, tampak gagah. Bahasa tubuh, gerak tangan menandakan seolah sedang pidato. Sang juru rekam bingung, seperti ada suara anak kucing mengeong.-Jangan-jangan salah sound system. Selidik punya selidik, ternyata yang punya media massa, yang sedang pidato suara yang keluar memang bergaya menghiba-hiba. Biar dikira hanya dia yang memperhatikan dan memprihatikan derita rakyat. Biar dianggap hanya dia yang peka, peduli, tanggap dan siaga atas nasib bangsa. Biar diduga sebagai calon bapak bangsa yang siap mengayomi dan mengayemi Nusantara. Sayang, rakyat Indonesia tidak bisa dikibuli, dikadali hidup-hidup. Kendati sekjen partainya, mengundurkan diri karena dipanggil KPK, ybs tetap tenang. Malah beruntung.

Walhasil, di sisa periode megatega, Jokowi-JK, khususnya Jokowi hanya mengandalkan bebasan Jawa surga merucut, neraka kebacut”.

Rakyat tahu betul bahwa pesta demokrasi lima tahunan adalah hajat nasional. Cuma tidak diberitakan, siapa sutradara intelektual, sponsor pengatur lakon, penyandang dana penentu pemain, pemasok modal pembeli suara, agar pemilu dan pilpres bisa jalan dengan asas ‘luber’ dan sesuai skenario.

Apapun yang akan terjadi, masih dalam kendali atau sesuai skenario besar. Rakyat hanya jadi penoton, melihat oknum penyelenggara negara arisan dan bancakan kursi. Opo tumon.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar