memahami gejala, gejolak dan geliat
politik Nusantara 2016
Bangsa Indonesia boleh
bangga bin/binti besar kepala. Bayangkan, tanpa diduga, dari hasil survei
lembaga dunia tentang daya juang kawanan parpolis, terdapat potensi nyata. Bahkan
hanya ada di Indonesia. Keahlian tersebut bahkan terwakili secara jender,
emansipasi ataupun berbasis tak tahu malu.
Betapa diberitakan,
ada anak bangsa ahli jual tangis tanpa sebab. Ahli meneteskan, memeras, mengurai
menguras air mata buaya politik. Setiap tampil disorot awak media massa, pandai
memanfaatkan situasi, pidato tanpa skenario. Dengan suara mengharu-rasa. Dengan
nada memelas merasa selalu dizalimi oleh penguasa. Cita-citanya masuk akal ybs
saja. Yaitu ingin jadi presiden, koq rakyat yang milihnya kalah dengan tetangga
sebelah. Bayangkan, rekam jejak sebagai anak presiden, di periode 1999-2004 menjadi
wapres dan presiden, kurang apa. Memang betul-betul aneh wong cilik Indonesia. Mboke
ingin urip enak ora direwangi. Bahkan dengan jujur ybs berujar kalau
bapaknya bilang dia anak yang pandai. Namanya orang tua, tidak akan
mengolok-olok anak sendiri. Dengan gaya kekanak-kanakan, kekenes-kenesan biar
dikira orator ulung, mewarisi darah juang bapak moyangnya. Ironisnya, kader
partainya sendiri acap tidak menyimak pidatonya. Padahal ada jargon mengimbangi
semangat banteng ketaton, yatiu :
sing arep milih, malah isih molah-malih
sing wis malih, malah ora milih-milih
Di pihak lain, ada
sesosok manusia, lain, beda jenis kelamin dengan yang diberitakan pertama. Walau
tidak masuk kategori tampang buaya. Namun jika bergaya di mimbar, di depan
barisan mike, tampak gagah. Bahasa tubuh, gerak tangan menandakan seolah
sedang pidato. Sang juru rekam bingung, seperti ada suara anak kucing mengeong.-Jangan-jangan
salah sound system. Selidik punya selidik, ternyata yang punya media
massa, yang sedang pidato suara yang keluar memang bergaya menghiba-hiba. Biar
dikira hanya dia yang memperhatikan dan memprihatikan derita rakyat. Biar
dianggap hanya dia yang peka, peduli, tanggap dan siaga atas nasib bangsa. Biar
diduga sebagai calon bapak bangsa yang siap mengayomi dan mengayemi Nusantara. Sayang, rakyat Indonesia tidak bisa dikibuli, dikadali hidup-hidup. Kendati sekjen partainya, mengundurkan diri karena dipanggil KPK, ybs tetap
tenang. Malah beruntung.
Walhasil, di sisa
periode megatega, Jokowi-JK, khususnya Jokowi hanya mengandalkan bebasan Jawa “surga
merucut, neraka kebacut”.
Rakyat tahu betul bahwa pesta demokrasi lima
tahunan adalah hajat nasional. Cuma tidak diberitakan, siapa sutradara
intelektual, sponsor pengatur lakon, penyandang dana penentu pemain, pemasok
modal pembeli suara, agar pemilu dan pilpres bisa jalan dengan asas ‘luber’ dan
sesuai skenario.
Apapun yang akan terjadi, masih dalam kendali
atau sesuai skenario besar. Rakyat hanya jadi penoton, melihat oknum penyelenggara negara
arisan dan bancakan kursi. Opo tumon.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar