lingkaran
setan ketahanan politik Nasional, kebijakan partai vs tekanan publik vs
kehendak pemilih
Konon, kebijakan pemerintah
menyangkut hajat orang banyak bisa berpengaruh langsung, nyata, terukur pada
pasar global. Sebagai contoh langkah cerdas, heroik, pro-rakyat menteri
perhubungan melarang transportasi online, serta merta menaikkan saham
transportasi konvensional. Misal pada pukul
11.37 WIB jumat 18 Desember 2015, saham emiten PT. Blue Bird Tbk dan PT.
Express Trasindo Utama Tbk naik, masing-masing sejauh 8,57 persen dan 19,27
persen. (sumber : Republika.co.id Jumat,
18 Desember 2015, 12:29 WIB)
Saya percaya
bin yakin, saat membaca lebih lanjut bahwa Direktur Jenderal Perhubungan Darat
Kementerian Perhubungan Djoko Sasono dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis
(17/12) mengatakan pelarangan beroperasi tersebut tertuang dalam Surat
Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang ditandatangani oleh Menteri
Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015. Bahwasanya, wakil
rakyat tidak berhak mengotak-atik Surat Pemberitahuan Menteri karena tak
terkait dengan fungsi legislasi.
Artinya,
bukan sebagai celah, peluang, pintu masuk oknum wakil rakyat untuk bertindak
atas nama rakyat, minimal aksi pro-rakyat. Mereka lebih gemar siap-siap
menjegal sekaligus menjagal, jika gagal melakukan teknik merebut bola, kaki
lawan, tepatnya kaki eksekutif bisa jadi sasaran empuk. Sebagai contoh nyata
dan hidup, ketika oknum ketua DPR, Setya Novanto mengundurkan diri tetap merasa
tak bersalah akibat tekanan
publik, bukan pasal hukum atau etika wakil rakyat. Walhasil, parpol
Golkar merasa sebagai hak waris jabatan ketua DPR sudah siap sejak sebelum MKD
ber-“musyawarah untuk mufakat”.
Sejak argo
politiknya jalan, Jokowi-JK bukannya melaksanakan janji politik saat kampanye
yang merasa menampung aspirasi dan kehendak pemilih. Jebakan dan jeratan kebijakan partai, menjadikan langkah Jokowi
terkendala sekaligus terkendali. Miris jika menguping betapa hasil survei pihak
asing atau organisasi non profit, terhadap beberapa negara, terlihat posisi
Indonesia. Asal jangan mengacu pada hasil kepercayaan publik terhadap politisi
yang dilakukan World Economic Forum (WEF) atau Forum Ekonomi
Dunia.
Ketahanan
politik Nasional tidak bisa ditakar, diukur, ditimbang. Kartu merah yang
dikeluarkan oleh bandar politik bisa menentukan nasib pemain di gelanggang
politik. Pemain bisa ditarik setiap waktu, sebelum jatuh tempo, sesuai selera
bandar politik. Di pihak lain, kartu merah disamakan dengan kartu tilang, bisa
diselesaikan dengan negoisasi, dengan asas tahu sama tahu. Apa kata dunia! [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar