akankah Jokowi “mati angin” vs Setya Novanto “mati kutu”
Indonesia
pernah mengalami dan merasakan politik adu domba, atau bahasa ilmiahnya devide
et impera, merupakan modus operandi penjajah Belanda yang dipakai di
Nusantara. Politik pecah belah made in Belanda, tanpa turun tangan, tanpa
berkeringat, tapi hasilnya diluar dugaan.
Bisa
diibaratkan, mukul pinjam tangan, nendang pinjam kaki. Belanda menciptakan
konflik vertikal, misal antara rakyat dengan ningrat, antara maling dengan
piyayi/priyayi, antara bolo dupak dengan bangsawan, antara kulit sawo matang
dengan darah biru. Rencana B, yaitu adu domba berbasis SARA (suku, agama, ras
dan antar golongan). Belanda sebagai aktor intelektual terjadinya berbagai
kasus konflik.
Ironisnya,
bangsa Indonesia malah terkontaminasi atau secara sadar malah menyerap ilmu
“adu domba” dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan akal, nalar dan logika
politik dalam negeri. Atau tepatnya, pasca Reformasi malah tumbuh subur konflik
antar penyelenggara negera. Warisan penjajah bahwa keserakahan menjadi akar
masalah perpecahan. Korupsi menjadi biang pemecah persatuan dan kesatuan
bangsa.
Singkat
kata, konflik berbasis “papa minta saham” malah menjadikan presiden Jokowi pada
posisi “mati angin”. Apalagi bandar politik bisa-bisa bisa meniupkan badai
Revolusi Mental yang tega melahap anak kandung sendiri. Bahkan memukul gendang
dan genderang perang pemberi semangat sekaligus komando.
Di
kubu, kutub, pihak lain, oknum ketua DPR, Setya Novanto, dengan tampilan ala
capres AS dari Partai Republik, Donald Trump, merasa seolah berada di atas
angin. Angin surga dari Freeport dianggap angka keamanannya cukup tinggi. Kursi
ketua DPR susah digoyah, sulit digoyang apalagi dijungkirkan. Istilah “mati
kutu” tadk ada di kamus Partai Golongan Karya, demi tujuan menghalalkan segala
pasal. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar