Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

akankah Jokowi “mati angin” vs Setya Novanto “mati kutu”

akankah Jokowi “mati angin” vs Setya Novanto “mati kutu”

Indonesia pernah mengalami dan merasakan politik adu domba, atau bahasa ilmiahnya devide et impera, merupakan modus operandi penjajah Belanda yang dipakai di Nusantara. Politik pecah belah made in Belanda, tanpa turun tangan, tanpa berkeringat, tapi hasilnya diluar dugaan.

Bisa diibaratkan, mukul pinjam tangan, nendang pinjam kaki. Belanda menciptakan konflik vertikal, misal antara rakyat dengan ningrat, antara maling dengan piyayi/priyayi, antara bolo dupak dengan bangsawan, antara kulit sawo matang dengan darah biru. Rencana B, yaitu adu domba berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Belanda sebagai aktor intelektual terjadinya berbagai kasus konflik.

Ironisnya, bangsa Indonesia malah terkontaminasi atau secara sadar malah menyerap ilmu “adu domba” dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan akal, nalar dan logika politik dalam negeri. Atau tepatnya, pasca Reformasi malah tumbuh subur konflik antar penyelenggara negera. Warisan penjajah bahwa keserakahan menjadi akar masalah perpecahan. Korupsi menjadi biang pemecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Singkat kata, konflik berbasis “papa minta saham” malah menjadikan presiden Jokowi pada posisi “mati angin”. Apalagi bandar politik bisa-bisa bisa meniupkan badai Revolusi Mental yang tega melahap anak kandung sendiri. Bahkan memukul gendang dan genderang perang pemberi semangat sekaligus komando.

Di kubu, kutub, pihak lain, oknum ketua DPR, Setya Novanto, dengan tampilan ala capres AS dari Partai Republik, Donald Trump, merasa seolah berada di atas angin. Angin surga dari Freeport dianggap angka keamanannya cukup tinggi. Kursi ketua DPR susah digoyah, sulit digoyang apalagi dijungkirkan. Istilah “mati kutu” tadk ada di kamus Partai Golongan Karya, demi tujuan menghalalkan segala pasal. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar