Halaman

Selasa, 08 Desember 2015

cintailah perdamaian vs damailah percintaan

cintailah perdamaian vs damailah percintaan

Jika tidak ada Perubahan Keempat UUD 1945, maka kata “perdamaian” hanya kita temui sekali saja di PEMBUKAAN (Preambule). Berkat perubahan kita temukan di :

Pasal 11
(1)   Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

Ironisnya, dengan marak dan merebaknya kasus “papa minta saham” memposisikan Presiden dengan DPR dalam keadaan “perang”, minimal sudah mulai menjauh dari makna “damai”.

Jangan diartikan kubu eksekutif sedang berseteru dengan kubu legislatif. Walau semua sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dalam pesta demokrasi 2014. Akumulasi perseteruan ini berdampak pada rakyatlah yang akan jadi korban.

Banyak pihak yang akan “cuci piring” tidak mau kena getahnya kasus Freeport.

Disinilah nasionalisme bangsa dan negara sedang diuji habis-habisan. Bahkan bisa dikata, penuntasan kasus ini sebagai faktor penentu nasib periode 2014-2019. Jika Setya Novanto rontok berarti legitimasi wakil rakyat otomatis sudah tidak ada harganya, langsung menjadi barang bekas, apkiran dan nasib wakil rakyat menjadi kapiran.

Inilah mungkin yang disebut dengan Revolusi Mental. Perubahan cepat akibat orang dalam yang berbuat. Orang dalam justru sebagai otak, sutradara dan sekaligus sebagai pelaku utama atau aktor intelektual. Dari hulu hingga ke hilir perjalanan bangsa, negara dan masyarakat selama lima tahun berada di tangan kawanan parpolis yang dengan bangga menjerumuskan secara legal, konstitusional dan sah menurut hukum politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar