cintailah perdamaian
vs damailah percintaan
Jika tidak ada
Perubahan Keempat UUD 1945, maka kata “perdamaian” hanya kita temui sekali saja
di PEMBUKAAN (Preambule). Berkat perubahan kita temukan di :
Pasal 11
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Ironisnya, dengan
marak dan merebaknya kasus “papa minta saham” memposisikan Presiden dengan DPR
dalam keadaan “perang”, minimal sudah mulai menjauh dari makna “damai”.
Jangan diartikan kubu
eksekutif sedang berseteru dengan kubu legislatif. Walau semua sama-sama
dipilih langsung oleh rakyat dalam pesta demokrasi 2014. Akumulasi perseteruan
ini berdampak pada rakyatlah yang akan jadi korban.
Banyak pihak yang
akan “cuci piring”
tidak mau kena getahnya kasus Freeport.
Disinilah
nasionalisme bangsa dan negara sedang diuji habis-habisan. Bahkan bisa dikata, penuntasan
kasus ini sebagai faktor penentu nasib periode 2014-2019. Jika Setya Novanto
rontok berarti legitimasi wakil rakyat otomatis sudah tidak ada harganya,
langsung menjadi barang bekas, apkiran dan nasib wakil rakyat menjadi kapiran.
Inilah mungkin yang
disebut dengan Revolusi Mental. Perubahan cepat akibat orang dalam yang berbuat.
Orang dalam justru sebagai otak, sutradara dan sekaligus sebagai pelaku utama
atau aktor intelektual. Dari hulu hingga ke hilir perjalanan bangsa, negara dan
masyarakat selama lima tahun berada di tangan kawanan parpolis yang dengan
bangga menjerumuskan secara legal, konstitusional dan sah menurut hukum
politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar