Halaman

Rabu, 04 Juni 2014

Negara Ada Di Mana?

Serba Peduli
Saat bencana alam menyapa silih berganti alam dan penduduk Indonesia; ketika kedelai sebagai bahan baku lauk rakyat lenyap dari pasar; waktu anak Indonesia jadi korban kekerasan seksual, di tempat dan oleh pelaku yang terhormat; kejadian buruh berunjuk raga tuntut UMR.  Banyak pihak, apakah wakil rakyat, pemerhati masalah sosial, pihak yang peduli, sepakat berujar : “Negara ada di mana?”. Tepatnya, menyalahkan pemerintah yang tidak tanggap, tidak bereaksi cepat ketika ada masalah melanda rakyat.

Dari sisi lain, rakyat merasa segala urusan hidup menjadi tangung jawab pemerintah. Got/selokan depan rumah mampet terjadi genangan, menjadi sarang nyamuk, tempat buang sampah, bisanya menyalahkan pemerintah. Garam dapur habis, menggerutu, nasibnya tidak ada yang memperhatikan.

Ironisnya, pakar, ahli pikir, akademisi melalui media masa, khususnya penyiaran televisi, dalam acara, atraksi, maupun adegan serta  dialog, diskusi maupun debat dengan bangga membuka wacana “tanggung jawab negara”. Agar tampak lebih nyata, korban dijadikan bintang tamu.

Media masa meliput langsung di TKP, pembaca acara dengan cerdas memberi bumbu penyedap agar siaran bergengsi dan layak tayang. Ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah yang seolah hanya jadi penonton.

Rakyat Cerdas
“Ketahanan pangan; ini ada yang keliru memahaminya, seolah-olah produksi pangan kita terus menurun. Tidak, tidak, kecuali kedelai. Kedelai memang susut dari tahun ke tahun. Masalahnya, petani kita tidak banyak yang mau menanam kedelai manakala harganya tidak baik. Tetapi, untuk padi, jagung, gula, dan daging, terus naik.” (sumber : Sambutan Presiden Peresmian Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2014, Hotel Bidakara, Jakarta, 30 April 2014).

Memang bukan konsumsi publik bahwa Negara dengan modal UU 24/2007 tentang “Penanggulangan Bencana” mempunyai perangkat dalam mengurusi bencana, seperti Kementerian Sosial (Kemensos) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang bekerja menanggulangi bencana. Mekanisme kerjanya sesuai otonomi daerah, bupati/walikota dapat memilih dan memilah pekerjaan yang menjadi tanggung jawab daerah. Jika ada kekurangan maka akan dibantu Pemerintah. Berkaitan bencana di daerah, logistik menjadi tanggung jawab provinsi dan kabupaten/kota karena ada anggaran daerah. Melalui BNPBD, penanganan bencana dilakukan. Di dalamnya sudah disediakan anggaran. Betapa TNI/Polri mudah digerakkan ke lokasi bencana, sebelum wakil rakyat / kepala daerah blusukan ke lokasi yang sama.

Produk Hukum
Wajar jika rakyat yang buta hukum, jika terkena masalah hukum, bingung mau mengadu kemana, akhirnya lebih bersikap diam. Ironis, wakil rakyat, organisasi kemasyarakatan atau pihak tertentu yang memperjuangkan nasib rakyat, melihat pemerintah sebagai pihak lawan.

Menyangkut hajat hidup orang banyak, kita wajib jangan buta hukum. Misal, buruh/pekerja, hak anak, sudah diatur dalam UU maupun produk hukum turunannya. Menetapkan awal puasa Ramadhan, awal bulan bulan Syawal menjadi berbagai versi. Rakyat bingung mengikuti versi siapa. Menyimak Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang “PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA”, khususnya Pasal 2, ayat 1 dan 2 jelas tersurat :

(1)  Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.

(2)    Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.


Secara yuridis formal, jelas bahwa menyangkut agama, menjadi otoritas atau kewenangan Pemerintah. Dalam pelaksanaan kewenangan dapat didelegasikan ke institusi tertentu. Semoga ormas Islam menyadari bahwa Indonesia adalah negara hukum [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar