Serba Peduli
Saat bencana alam menyapa silih berganti
alam dan penduduk Indonesia; ketika kedelai sebagai bahan baku lauk rakyat
lenyap dari pasar; waktu anak Indonesia jadi korban kekerasan seksual, di
tempat dan oleh pelaku yang terhormat; kejadian buruh berunjuk raga tuntut UMR.
Banyak pihak, apakah wakil rakyat,
pemerhati masalah sosial, pihak yang peduli, sepakat berujar : “Negara ada di
mana?”. Tepatnya, menyalahkan pemerintah yang tidak tanggap, tidak bereaksi
cepat ketika ada masalah melanda rakyat.
Dari sisi lain, rakyat merasa segala
urusan hidup menjadi tangung jawab pemerintah. Got/selokan depan rumah mampet
terjadi genangan, menjadi sarang nyamuk, tempat buang sampah, bisanya
menyalahkan pemerintah. Garam dapur habis, menggerutu, nasibnya tidak ada yang
memperhatikan.
Ironisnya, pakar, ahli pikir, akademisi
melalui media masa, khususnya penyiaran televisi, dalam acara, atraksi, maupun
adegan serta dialog, diskusi maupun
debat dengan bangga membuka wacana “tanggung jawab negara”. Agar tampak lebih
nyata, korban dijadikan bintang tamu.
Media masa meliput langsung di TKP, pembaca
acara dengan cerdas memberi bumbu penyedap agar siaran bergengsi dan layak
tayang. Ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah yang seolah hanya jadi penonton.
Rakyat Cerdas
“Ketahanan pangan; ini ada yang keliru memahaminya,
seolah-olah produksi pangan kita terus menurun. Tidak, tidak, kecuali kedelai.
Kedelai memang susut dari tahun ke tahun. Masalahnya, petani kita tidak
banyak yang mau menanam kedelai manakala harganya tidak baik. Tetapi,
untuk padi, jagung, gula, dan daging, terus naik.” (sumber : Sambutan Presiden Peresmian
Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2014, Hotel Bidakara,
Jakarta, 30 April 2014).
Memang bukan konsumsi publik bahwa Negara dengan modal
UU 24/2007 tentang “Penanggulangan Bencana” mempunyai perangkat dalam mengurusi
bencana, seperti Kementerian Sosial (Kemensos) dan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang bekerja menanggulangi bencana.
Mekanisme kerjanya sesuai otonomi daerah, bupati/walikota dapat memilih dan
memilah pekerjaan yang menjadi tanggung jawab daerah. Jika ada kekurangan maka
akan dibantu Pemerintah. Berkaitan bencana di daerah, logistik menjadi tanggung
jawab provinsi dan kabupaten/kota karena ada anggaran daerah. Melalui BNPBD,
penanganan bencana dilakukan. Di dalamnya sudah disediakan anggaran. Betapa
TNI/Polri mudah digerakkan ke lokasi bencana, sebelum wakil rakyat / kepala
daerah blusukan ke lokasi yang sama.
Produk Hukum
Wajar jika rakyat yang buta
hukum, jika terkena masalah hukum, bingung mau mengadu kemana, akhirnya lebih
bersikap diam. Ironis, wakil rakyat, organisasi kemasyarakatan atau pihak
tertentu yang memperjuangkan nasib rakyat, melihat pemerintah sebagai pihak
lawan.
Menyangkut hajat hidup orang
banyak, kita wajib jangan buta hukum. Misal, buruh/pekerja, hak anak, sudah
diatur dalam UU maupun produk hukum turunannya. Menetapkan awal puasa Ramadhan,
awal bulan bulan Syawal menjadi berbagai versi. Rakyat bingung mengikuti versi
siapa. Menyimak Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang “PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA
PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA”, khususnya Pasal 2, ayat 1 dan 2 jelas tersurat :
(1) Urusan pemerintahan terdiri atas
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta
agama.
Secara yuridis formal, jelas bahwa
menyangkut agama, menjadi otoritas atau kewenangan Pemerintah. Dalam
pelaksanaan kewenangan dapat didelegasikan ke institusi tertentu. Semoga ormas
Islam menyadari bahwa Indonesia adalah negara hukum [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar