Halaman

Rabu, 25 Juni 2014

Memaknai Hakikat Sebagai Hamba Allah Dengan Olah Akal

Terima Jadi
Mengacu firman Allah [QS Luqman (31) : 20] : Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”  

Bukan berati manusia tinggal melakukan 5D (datang tanpa kawan, duduk yang manis, diam tangan dilipat, dengar serius santai, dialog basa-basi) dengan seksama alias tanpa usaha, sepi upaya maupun jauh dari ikhtiar, tinggal melanjutkan estafet kemudahan yang telah Allah berikan.

 Atau, walau umat manusia sedunia sebagai salah satu makhluk bumi tidak berdoa, kompak mengabaikan perintah-Nya, merasa sukses diraih berkat kerja kerasnya, Allah dengan sifatnya Yang Maha Pemurah dan Yang Maha Penyayang, tetap menggelontorkan rezeki-Nya kepada siapa saja, tidak pandang bulu, ikhwal ini tersurat pada [QS Ar Rahmaan  (55) : 29] : “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”

Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezeki, mengatur pertukaran malam dengan siang, terus menerus mengurus makhluk-Nya (Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya), menurunkan air (hujan) dari langit.

Nikmat dari Allah, lahir dan batin, untuk kepentingan manusia berskala dunia, untuk semua individu umat di mana pun berada. Ulah manusia memetik dan memeras hasil langit, mengelupas permukaan bumi maupun mengeruk dan mengeduk isi perut bumi, yang karena hanya mengandalkan ilmu pengetahuan, mengkultuskan akal (logika, otak, pikiran, rasio), malah menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan. Sifat membantah sebagian manusia terhadap keesaan Allah, bukan spontanitas, justru sebagai proses sejarah.

Manusia Unggul
Unggul dalam kriteria, batasan, tolok ukur dan tatanan Islam, yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Modal dasar, modal awal umat Islam berupa kemuliaan. Kemuliaan secara horizontal dari berbagai risalah disimpulkan  bahwa kemuliaan manusia itu karena amalnya bukan ditentukan keturunannya, karena imannya bukan dipengaruhi daya juangnya, karena rohnya bukan dipastikan kekayaan materinya, karena akalnya bukan didukung kekuatan batinnya.

Akumulasi kemuliaan mengemuka atau mengerucut menjadikan ybs menjadi manusia paling mulia, menempati posisi sebagai manusia unggul. Ikhwal ini tersurat pada bagian akhir [QS Al Hujuraat  (49) : 13] : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Cerdas Religi
Sebagai hamba Allah, bukan sekedar tanpa nama, justru untuk memotivasi diri sendiri. Memanfaatkan momentum dekat dengan Allah tanpa jarak. Islam sebagai agama wahyu, bukan berarti menomorduakan akal atau kecerdasan intelektual. Agama sebagai sumber kecerdasan, yang meliputi berbagai komponen dan akan berkembang, misal kecerdasan mental.

Penampakan ‘orang yang paling taqwa’ tidak hanya saat urusan dengan Allah, juga nampak saat berinteraksi dengan sesama umat dan lingkungan. Mulia dan taqwa bukan menjadi milik sendiri, walau sebagai hak milik. Lebih afdol bergulir dan mempengaruhi lingkungan secara sistematis, menerus dan santun.


Islam peduli, peka, tanggap dan memuliakan daya akal, tetapi tidak menyerahkan segala urusan kepada akal.  Islam memposisikan ruang lingkup akal sesuai dengan kadarnya. Daya jangkau dan daya jelajah akal terbatas, tidak akan mungkin bisa menembus hakikat mengapa yang punya otak (manusia) berada di bumi. Islam memerintahkan akal agar tunduk, patuh dan taat  serta melaksanakan perintah syar’i (terkait perintah dan larangan Allah) walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah itu [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar