Terima Jadi
Mengacu firman Allah [QS
Luqman (31) : 20] : “Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah
tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
Bukan
berati manusia tinggal melakukan 5D (datang tanpa kawan, duduk yang manis, diam
tangan dilipat, dengar serius santai, dialog basa-basi) dengan seksama alias
tanpa usaha, sepi upaya maupun jauh dari ikhtiar, tinggal melanjutkan estafet
kemudahan yang telah Allah berikan.
Atau, walau umat manusia sedunia sebagai salah
satu makhluk bumi tidak berdoa, kompak mengabaikan perintah-Nya, merasa sukses
diraih berkat kerja kerasnya, Allah dengan sifatnya Yang Maha Pemurah dan Yang
Maha Penyayang, tetap menggelontorkan rezeki-Nya kepada siapa saja, tidak
pandang bulu, ikhwal ini tersurat pada [QS Ar Rahmaan (55) : 29] : “Semua
yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan.”
Allah
senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara,
memberi rezeki, mengatur pertukaran malam dengan siang, terus menerus mengurus
makhluk-Nya (Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya), menurunkan air
(hujan) dari langit.
Nikmat dari Allah, lahir dan batin, untuk
kepentingan manusia berskala dunia, untuk semua individu umat di mana pun
berada. Ulah manusia memetik dan memeras hasil langit, mengelupas permukaan
bumi maupun mengeruk dan mengeduk isi perut bumi, yang karena hanya
mengandalkan ilmu pengetahuan, mengkultuskan akal (logika, otak, pikiran, rasio),
malah menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan. Sifat membantah sebagian
manusia terhadap keesaan Allah, bukan spontanitas, justru sebagai proses
sejarah.
Manusia Unggul
Unggul dalam kriteria, batasan, tolok
ukur dan tatanan Islam, yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Modal dasar, modal awal umat Islam berupa kemuliaan. Kemuliaan secara
horizontal dari berbagai risalah disimpulkan bahwa
kemuliaan manusia itu karena amalnya bukan ditentukan keturunannya,
karena imannya bukan dipengaruhi daya juangnya, karena rohnya bukan dipastikan
kekayaan materinya, karena akalnya bukan didukung kekuatan batinnya.
Akumulasi kemuliaan mengemuka atau
mengerucut menjadikan ybs menjadi manusia paling mulia, menempati posisi
sebagai manusia unggul. Ikhwal ini tersurat pada bagian akhir [QS Al Hujuraat (49) : 13] : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Cerdas Religi
Sebagai hamba Allah, bukan sekedar tanpa
nama, justru untuk memotivasi diri sendiri. Memanfaatkan momentum dekat dengan
Allah tanpa jarak. Islam sebagai agama wahyu, bukan berarti menomorduakan akal
atau kecerdasan intelektual. Agama sebagai sumber kecerdasan, yang meliputi
berbagai komponen dan akan berkembang, misal kecerdasan mental.
Penampakan ‘orang yang paling taqwa’ tidak hanya saat urusan dengan Allah,
juga nampak saat berinteraksi dengan sesama umat dan lingkungan. Mulia dan
taqwa bukan menjadi milik sendiri, walau sebagai hak milik. Lebih afdol
bergulir dan mempengaruhi lingkungan secara sistematis, menerus dan santun.
Islam peduli, peka, tanggap dan memuliakan
daya akal, tetapi tidak menyerahkan segala urusan kepada akal. Islam memposisikan ruang lingkup akal sesuai
dengan kadarnya. Daya jangkau dan daya jelajah akal terbatas, tidak akan
mungkin bisa menembus hakikat mengapa yang punya otak (manusia) berada di bumi.
Islam memerintahkan akal agar tunduk, patuh dan taat serta melaksanakan perintah syar’i (terkait
perintah dan larangan Allah) walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari
perintah itu [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar