Halaman

Senin, 30 Juni 2014

KETIKA GURU KENCING BERDIRI

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 22/10/2002 09:43

KETIKA GURU KENCING BERDIRI

Wagu tur kuru, sebuah atribut atau predikat yang ditimpakan kepada sosok guru. Gambaran tersebut mewakili karakteristik fisik guru tempo doeloe maupun sekarang. Sebagai penyandang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ternyata peran guru bisa mewarnai sejarah.

Contoh yang mendalam dengan tinta emas yaitu karena tak ada sentuhan tangan guru maka presiden RI ke 2, Soeharto, bisa memperpanjang beban sebagai mandataris MPR. Karena tak ada yang berpengalaman sebagai presiden, maka selama 6 kali berturut-turut atau 6 kali pemilu tetap terpilih sebagai presiden. Karena Soeharto dalam hal “makan bangku sekolah” hanya sebatas Sekolah Rakyat maka kursi kepresidenan dimakan sampai anak cucu. Soeharto pun menyadari tak ada komponen tri winasis dalam keluarganya. Sebagai Jenderal Besar dan pengendali pengusaha nasional maupun pembina kendaraan politik terbesar, kekurangan akan unsur Wasis sangat menghantui nuraninya. Sehingga ketika akan berbesan dengan Begawan Ekonomi girangnya memuncak. Kata TRI WINASIS tersirat dalam kemasan "tiga makna", yaitu: "Wirya, Arta, tri Winasis", sebagaimana tersurat dalam "Serat Wedhatama" KGPAA Mangkunegara IV. Soeharto menyadari betul bahwa sebagai sosok kepemimpinan yang bisa menyatukan tiga pilar bangsa, yang menjadi kekuatannya, yaitu: "ABRI, Usahawan dan Cendekiawan".

Singkat kata, Soeharto ingin mengulang sejarah suksesnya dengan menjadikan si Winasis atau Wasis tadi yang dalam lakon babak terakhirnya (lengser keprabon) berperan sebagai Pangkostrad. Pondasi dari didikan dan ajaran guru yang dirasa kurang, tak heran bahwa otak kanan dan otak kiri Soeharto berkembang apa adanya. Otak belakangnya justru berkembang sangat cepat dan dominan. Apa yang tidak dipikirkan orang, beliau sudah melakukannya secara sukses. Apa yang tidak terlintas di benak orang, beliau sudah menyelesaikannya dengan jitu. Apa yang belum pernah ada dalam teori manapun, beliau sudah mempraktekkannya siang malam. Apa yang belum pernah dikatakan orang, beliau sudah melaksanakannya dengan rapi. Bahkan apa yang diharamkan agama, semua sudah beliau pedomani, hayati dan amalkan secara halal.

Pasca Soeharto, para penyelenggara negara sebagian besar merupakan paduan antara ARTA dan WINASIS. Masalah mendasar yaitu mereka yang merasa Winasis tetapi belum Arta akan mati-matian mencari Arta. KKN versi reformasi, kalau dulu ada di pusat atau yang dekat dengan poros kekuasaan negara, sekarang KKN telah di-otonomi daerah-kan.

Sekarang mereka memang sedang memraktekkan ajaran kawruh jiwa, kawruh begja Ki Ageng Soerjomentaraman yaitu : sabutuhe, saperlune, sacukupe, sakepenake, samesthine, dan sabenere - sebuah deretan kata yang sulit dicarikan padanannya dengan pas dalam bahasa Indonesia, tetapi boleh diterjemahbebaskan. Contoh seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, setinggi-tingginya dan seadanya (semua yang ada kalau tidak ada harus diadakan secara mengada-ada).

Perimbangan Arta dan Winasis inilah yang menyebabkan OTAK SEBELAH LUAR yang berkembang dan sering dipakai. Bukankah si pembisik terpakai dan pertimbangan agung diabaikan yang menjadi ciri reformasi. Tepatnya, OTAK TETANGGAlah yang sering dipakai bangsa ini dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika negera tetangga bisa lepas dari belitan krisis multi dimensi, maka kita tak akan menjiplak mentah-mentah.

Kita hanya akan tergerak dan bangkit dari keterpurukan di bidang ekonomi jika didikte otak tetangga yang bernama IMF, atau hanya akan peduli pada keamanan dan pertahanan bila didikte otak tetangga yang bergelar negara adidaya. Kinerja Badan Intai/Intip Nasional memasuki strata “buruk muka, cermin tetangga dibelah”. Selama kita masih mengandalkan dan didominasi oleh otak tetangga maka tak akan ada obat mujarab yang bisa menuntaskan penyakit yang justru sedang kita nikmati bersama dan dikembangbiakkan.

Bukan salah guru, ketika jika anak didiknya bisa kencing dimana-mana. Kita ubah kredo sesuai judul opini menjadi “Guru kencing berdiri di atas kursi, murid kencing berlari sambil menari”. (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar