Rabu, 11/12/2002
08:43
Sedang terjadi
perpaduan antara hukum dan politik. Bukan siapa mengalahkan siapa, bukan mana
yang kuat dan mana yang sekarat, bukan seperti antara ayam atau telur mana yang
lebih jagoan. Di mana ayam bisa menghasilkan telur dan telur bisa dijadikan
ayam. Bukan pula seperti skala prioritas hukum dulu baru politik belakangan,
atau sebaliknya politik duluan baru hukum ditinggal lari. Hasil perpaduannya,
bukan semacam konspirasi utawa tenggang rasa atau arisan bagi kekuasaan.
Kalau boleh
disinyalir terdapat perimbangan, yaitu kalau politik tanpa hukum hanya akan
menghadirkan tirani, melahirkan rezim dan memakmurkan oknum-oknum. Sedangkan
kalau hukum tanpa politik terkadang dirasa mandul atau sesekali dianggap
tumpul, atau pada skala rakyat dirasa hambar atau bahkan menelorkan hukum
rimba. Politik bukan diartikan sebagai partai politik, selama ini sering salah
kaprah, asal duga dan buruk sangka. Tak kurang yang mengatakan ada benarnya,
sebaiknya dan lihat-lihat dulu.
Pergerakan kebangsaan
yang memang untuk kepentingan tanah air, seperti Boedi Oetomo 1908, sebagai
cikal bakalnya diplomasi. Kalau sekarang berbagai pergerakan yang
mengatasnamakan rakyat modusnya dengan melangkahi hukum. Gerakan politik masa
kini dengan memformat demokrasi sebagai tameng dalam menghadapi lawan
politiknya. Sodoran berbagai kemungkinan di atas, yang belum tentu benar,
seberapa benar keterpaduan itu berjalan dengan sendirinya. Terpadu secara
otomatis dan sinergis. Tanpa intervensi. Tanpa sentuhan tangan penguasa. Tanpa
maksud bak udang di balik batu. Syarat dan kondisi takaran untuk menghasilkan
keterpaduan yang saling menguntungkan harus dipenuhi secara optimal.
Kesimpulan, kalau
memang benar hukum dan politik sedang main mata, maka akan terjadi pergeseran
peradaban. Yang seharusnya jadi pengayom, pengayem malah menjadi monster.
Khazanah hukum dan cabang ilmu hukum menjadi semakin berbelit. Jika keterpaduan
sudah memuncak, mencapai klimaks maka politik akan mencampakkan hukum.
Menguasai politik
berarti menguasai hukum. Jarang ditemukan menguasai hukum untuk menjalankan dan
mengendalikan jalannya politik. Sering terjadi menguasai politik untuk menyetir
dan meninabobokan hukum. Bangsa dan rakyat kita secara politis dan hukum
gampang dininabobokan oleh buaian yang dihembuskan melalui janji-janji. Mudah
merasa puas atas hasil yang dicapainya, sehingga esok hari menjadi terlupakan.
Dalam skala politik, banyak orang yang tak pernah merasa puas atas apa yang
telah diperolehnya. Ketidakpuasan ini menjelma menjadi upaya untuk mempolitisir
semua urusan berbangsa, bernegara bahkan urusan beragama pun tak luput dari
cengkeramannya.
Kondisi yang dicapai
bahwa mereka sendiri sudah tidak bisa mengetahui apakah langkah politiknya
benar atau tidak, sudah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
tidak benar. Tidak ada batas tegasnya. Perhelatan panggung politik dalam
rangkaian pesta demokrasi kian marak, masing-masing aktor akan tampil
habis-habisan. Aktor karbitan tak kurang galaknya ingin menguasai panggung.
Agar tak demam panggung mereka uji coba jamu anti kalah. Secara latah mereka
mengkonsumsi zat anti bodi alias anti kemapanan, sebagi salah satu ciri
perpolitikan di zaman Orba. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar