Halaman

Kamis, 05 Juni 2014

BULAN MADU DI ATAS BANGKAI

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 11/12/2002 08:43

Sedang terjadi perpaduan antara hukum dan politik. Bukan siapa mengalahkan siapa, bukan mana yang kuat dan mana yang sekarat, bukan seperti antara ayam atau telur mana yang lebih jagoan. Di mana ayam bisa menghasilkan telur dan telur bisa dijadikan ayam. Bukan pula seperti skala prioritas hukum dulu baru politik belakangan, atau sebaliknya politik duluan baru hukum ditinggal lari. Hasil perpaduannya, bukan semacam konspirasi utawa tenggang rasa atau arisan bagi kekuasaan.

Kalau boleh disinyalir terdapat perimbangan, yaitu kalau politik tanpa hukum hanya akan menghadirkan tirani, melahirkan rezim dan memakmurkan oknum-oknum. Sedangkan kalau hukum tanpa politik terkadang dirasa mandul atau sesekali dianggap tumpul, atau pada skala rakyat dirasa hambar atau bahkan menelorkan hukum rimba. Politik bukan diartikan sebagai partai politik, selama ini sering salah kaprah, asal duga dan buruk sangka. Tak kurang yang mengatakan ada benarnya, sebaiknya dan lihat-lihat dulu.

Pergerakan kebangsaan yang memang untuk kepentingan tanah air, seperti Boedi Oetomo 1908, sebagai cikal bakalnya diplomasi. Kalau sekarang berbagai pergerakan yang mengatasnamakan rakyat modusnya dengan melangkahi hukum. Gerakan politik masa kini dengan memformat demokrasi sebagai tameng dalam menghadapi lawan politiknya. Sodoran berbagai kemungkinan di atas, yang belum tentu benar, seberapa benar keterpaduan itu berjalan dengan sendirinya. Terpadu secara otomatis dan sinergis. Tanpa intervensi. Tanpa sentuhan tangan penguasa. Tanpa maksud bak udang di balik batu. Syarat dan kondisi takaran untuk menghasilkan keterpaduan yang saling menguntungkan harus dipenuhi secara optimal.

Kesimpulan, kalau memang benar hukum dan politik sedang main mata, maka akan terjadi pergeseran peradaban. Yang seharusnya jadi pengayom, pengayem malah menjadi monster. Khazanah hukum dan cabang ilmu hukum menjadi semakin berbelit. Jika keterpaduan sudah memuncak, mencapai klimaks maka politik akan mencampakkan hukum.

Menguasai politik berarti menguasai hukum. Jarang ditemukan menguasai hukum untuk menjalankan dan mengendalikan jalannya politik. Sering terjadi menguasai politik untuk menyetir dan meninabobokan hukum. Bangsa dan rakyat kita secara politis dan hukum gampang dininabobokan oleh buaian yang dihembuskan melalui janji-janji. Mudah merasa puas atas hasil yang dicapainya, sehingga esok hari menjadi terlupakan. Dalam skala politik, banyak orang yang tak pernah merasa puas atas apa yang telah diperolehnya. Ketidakpuasan ini menjelma menjadi upaya untuk mempolitisir semua urusan berbangsa, bernegara bahkan urusan beragama pun tak luput dari cengkeramannya.

Kondisi yang dicapai bahwa mereka sendiri sudah tidak bisa mengetahui apakah langkah politiknya benar atau tidak, sudah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Tidak ada batas tegasnya. Perhelatan panggung politik dalam rangkaian pesta demokrasi kian marak, masing-masing aktor akan tampil habis-habisan. Aktor karbitan tak kurang galaknya ingin menguasai panggung. Agar tak demam panggung mereka uji coba jamu anti kalah. Secara latah mereka mengkonsumsi zat anti bodi alias anti kemapanan, sebagi salah satu ciri perpolitikan di zaman Orba. (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar