Senin, 11/11/2002 07:36
BERAT JADI WAKIL
RAKYAT, APALAGI ..
BERAT JADI WAKIL RAKYAT, APALAGI .........
Menjadi wakil rakyat
di pasca Reformasi cukup berat dan sarat aturan main, salah langkah bisa jadi
bumerang, salah kata bisa menjadi fakta, salah fatwa bisa menjadi terdakwa. Tidak
hanya pada prasyarat, tetapi juga khususnya pada waktu menerima amanah sebagai
wakil rakyat.
Selama ini diartikan
bahwa menjadi wakil rakyat adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Bahkan kalau perlu banyak pasal yang bisa menjerat setelah
pasca menjabat sebagai wakil rakyat, apalagi yang dicap sebagai pengkhianat
(oleh partai). Soal ybs pasca anggota terbentuk kepribadiannya - ditandai
dengan pemilikan atas beberapa rumah pribadi, mobil pribadi, tabungan pribadi,
harta kekayaan pribadi serta semua yang bersifat pribadi - adalah perjalanan
nasib mereka sebagai nilai tambah. Tak satu orang rakyatpun boleh iri, apalagi
syakwasangka. Siapa suruh jadi wakil rakyat.
Apa yang digariskan
dalam prasyarat menjadi wakil rakyat? Kita bisa mencontoh/menganalogis Pondok
Pesantren. Semisal, gubernur saja tidak tahu keberadaannya tetapi intelejen
asing bisa merekam sepak terjangnya. Atau yang lain, agen/intel lokal RI bisa
mengendus tempat latihan teroris yang lokasinya - tepatnya - untuk tempat bumi
perkemahan Pramuka saja jauh dari layak. Masyarakat sekitar lokasi saja tak
pernah tahu atau pernah melihat, mendengar ada latihan teroris tanpa seragam
dan dilengkapi dor-doran.
Atau menurut
Republika, Minggu 10 Nopember 2002, bahwa Amrozi si pemuda lugu tak pernah
tamat SMP mampu "merakit" dan "meledakkan" bom di Bali (12
Oktober 2002) yang jauh kebih hebat dari C-4. Jangan hiraukan analisis
Australia yang menduga tim investigasi mendapat tekanan dari AS, Israel, dan
Australia. Seberapa banyak wakil rakyat sekarang ini yang dikenal dan diketahui
keberadaannya oleh lingkungan tempat tinggalnya. Seberapa besar peran dan
kontribusi mereka, khususnya sebelum jadi wakil rakyat, yang dirasakan oleh
lingkungannya.
Menjadi aktivis
parpol memang mudah, bisa ditekungeluti (bin gung? dasar rakyat) dari papan
bawah atau karena olah vokal bisa meroket namanya. Konyolnya keberadaan partai
politik mendominasi penyaringan wakil rakyat. Parpol masih merupakan
representasi dari rakyat yang mempunyai hak pilih. Selama 5 (lima) tahun ke
depan para calon pemilih pemula bisa belajar banyak dari sepak terjangnya
politikus. Dimulai bagaimana mengendalikan massa sampai bagaimana mengendalikan
dana yang tak bertuan. Penyederhanaan syarat jadi wakil rakyat, yaitu minimal
bisa baca tulis dan berhitung (khususnya tambah dan dikalikan, tak perlu
pembagian apalagi pengurangan) semua yakin, bahkan anak TK pun bercita-cita
jadi wakil rakyat.
Bagaimana seorang
wakil rakyat bisa konsentrasi dengan nuraninya dalam membaca aspirasi rakyat
kalau ybs masih dibebani berbagai kewajiban ke parpolnya, semua kewajiban yang
tak tertulis. "Kewajiban tak tertulis" ini sejalan dengan pasal bahwa
dalam Pemilu setiap parpol menerima subsidi dari pemerintah (astaga! ternyata
pemerintah memberi makan para papol. Entah apa tepat diartikan sebagai
"memberi makan anak singa" atau "mendidik anak jadi
pengemis".), yang besarnya sama besarnya (maka berlomba-lombalah
mendirikan partai plitik) ditentukan dalam UU. Bahkan seluruh sumbangan dan
hibah, baik berupa tunai maupun natura, wajib dicatat secara khusus oleh partai
politik, lengkap dengan nama, alamat, pekerjaan, nilai nominal sumbangan /
jenis barang yang disumbang, tanggal sumbangan, tempat penerimaan, dan
aktivitas yang disumbang.
Partai politik wajib
melaporkan hasil audit keuangannya kepada masyarakat luas lewat media massa.
Jadi yang diumumkan melalui media massa bukan ucapan suka cita bahwa kadernya
telah terpilih sebagai penyelenggara negara. Secara finansial ekonomis memang
ada rumus atau hitungan untung rugi untuk menjadi wakil rakyat lewat partai
politik. Jadi kepala desa saja ada tarifnya, apa lagi jadi wakil rakyat. Berapa
modalnya dan berapa tahun bisa kembali, belum bonus dan tanda terima kasihnya.
Terlebih menjelang
Pemilu 2004 dengan biaya maksimum kampanye hanya ditargetkan sebesar Rp 121 M.
Seberapa jauh sinergi wakil rakyat bisa terpublikasikan lewat media massa.
Mungkin selama ini yang terkabarkan hanyalah berita miringnya saja, yang memang
merupakan ciri khasnya dan citra karakternya. Pemeo D4 (datang, duduk, diam dan
duit) sudah bukan eranya. D3 (dialog, diskusi dan debat) yang harus digalakkan.
Belum lagi ulah sang ketua yang cacat hukum tega-teganya masih meneruskan dan
meluruskan tanggung jawab dan wewenangnya (jadi ingat Mekar, yang hidungnya si
Bung mekar). Berjuang tanpa pamrih adalah landasan idiil para wakil rakyat.
Memang berat jadi wakil rakyat, apalagi menjadi pahlawan. 10 Nopember 2002
(hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar