Halaman

Senin, 16 Juni 2014

BERAT JADI WAKIL RAKYAT, APALAGI .........


Beranda » Berita » Opini
Senin, 11/11/2002 07:36
BERAT JADI WAKIL RAKYAT, APALAGI ..
BERAT JADI WAKIL RAKYAT, APALAGI .........
Menjadi wakil rakyat di pasca Reformasi cukup berat dan sarat aturan main, salah langkah bisa jadi bumerang, salah kata bisa menjadi fakta, salah fatwa bisa menjadi terdakwa. Tidak hanya pada prasyarat, tetapi juga khususnya pada waktu menerima amanah sebagai wakil rakyat.

Selama ini diartikan bahwa menjadi wakil rakyat adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bahkan kalau perlu banyak pasal yang bisa menjerat setelah pasca menjabat sebagai wakil rakyat, apalagi yang dicap sebagai pengkhianat (oleh partai). Soal ybs pasca anggota terbentuk kepribadiannya - ditandai dengan pemilikan atas beberapa rumah pribadi, mobil pribadi, tabungan pribadi, harta kekayaan pribadi serta semua yang bersifat pribadi - adalah perjalanan nasib mereka sebagai nilai tambah. Tak satu orang rakyatpun boleh iri, apalagi syakwasangka. Siapa suruh jadi wakil rakyat.

Apa yang digariskan dalam prasyarat menjadi wakil rakyat? Kita bisa mencontoh/menganalogis Pondok Pesantren. Semisal, gubernur saja tidak tahu keberadaannya tetapi intelejen asing bisa merekam sepak terjangnya. Atau yang lain, agen/intel lokal RI bisa mengendus tempat latihan teroris yang lokasinya - tepatnya - untuk tempat bumi perkemahan Pramuka saja jauh dari layak. Masyarakat sekitar lokasi saja tak pernah tahu atau pernah melihat, mendengar ada latihan teroris tanpa seragam dan dilengkapi dor-doran.

Atau menurut Republika, Minggu 10 Nopember 2002, bahwa Amrozi si pemuda lugu tak pernah tamat SMP mampu "merakit" dan "meledakkan" bom di Bali (12 Oktober 2002) yang jauh kebih hebat dari C-4. Jangan hiraukan analisis Australia yang menduga tim investigasi mendapat tekanan dari AS, Israel, dan Australia. Seberapa banyak wakil rakyat sekarang ini yang dikenal dan diketahui keberadaannya oleh lingkungan tempat tinggalnya. Seberapa besar peran dan kontribusi mereka, khususnya sebelum jadi wakil rakyat, yang dirasakan oleh lingkungannya.

Menjadi aktivis parpol memang mudah, bisa ditekungeluti (bin gung? dasar rakyat) dari papan bawah atau karena olah vokal bisa meroket namanya. Konyolnya keberadaan partai politik mendominasi penyaringan wakil rakyat. Parpol masih merupakan representasi dari rakyat yang mempunyai hak pilih. Selama 5 (lima) tahun ke depan para calon pemilih pemula bisa belajar banyak dari sepak terjangnya politikus. Dimulai bagaimana mengendalikan massa sampai bagaimana mengendalikan dana yang tak bertuan. Penyederhanaan syarat jadi wakil rakyat, yaitu minimal bisa baca tulis dan berhitung (khususnya tambah dan dikalikan, tak perlu pembagian apalagi pengurangan) semua yakin, bahkan anak TK pun bercita-cita jadi wakil rakyat.

Bagaimana seorang wakil rakyat bisa konsentrasi dengan nuraninya dalam membaca aspirasi rakyat kalau ybs masih dibebani berbagai kewajiban ke parpolnya, semua kewajiban yang tak tertulis. "Kewajiban tak tertulis" ini sejalan dengan pasal bahwa dalam Pemilu setiap parpol menerima subsidi dari pemerintah (astaga! ternyata pemerintah memberi makan para papol. Entah apa tepat diartikan sebagai "memberi makan anak singa" atau "mendidik anak jadi pengemis".), yang besarnya sama besarnya (maka berlomba-lombalah mendirikan partai plitik) ditentukan dalam UU. Bahkan seluruh sumbangan dan hibah, baik berupa tunai maupun natura, wajib dicatat secara khusus oleh partai politik, lengkap dengan nama, alamat, pekerjaan, nilai nominal sumbangan / jenis barang yang disumbang, tanggal sumbangan, tempat penerimaan, dan aktivitas yang disumbang.

Partai politik wajib melaporkan hasil audit keuangannya kepada masyarakat luas lewat media massa. Jadi yang diumumkan melalui media massa bukan ucapan suka cita bahwa kadernya telah terpilih sebagai penyelenggara negara. Secara finansial ekonomis memang ada rumus atau hitungan untung rugi untuk menjadi wakil rakyat lewat partai politik. Jadi kepala desa saja ada tarifnya, apa lagi jadi wakil rakyat. Berapa modalnya dan berapa tahun bisa kembali, belum bonus dan tanda terima kasihnya.

Terlebih menjelang Pemilu 2004 dengan biaya maksimum kampanye hanya ditargetkan sebesar Rp 121 M. Seberapa jauh sinergi wakil rakyat bisa terpublikasikan lewat media massa. Mungkin selama ini yang terkabarkan hanyalah berita miringnya saja, yang memang merupakan ciri khasnya dan citra karakternya. Pemeo D4 (datang, duduk, diam dan duit) sudah bukan eranya. D3 (dialog, diskusi dan debat) yang harus digalakkan. Belum lagi ulah sang ketua yang cacat hukum tega-teganya masih meneruskan dan meluruskan tanggung jawab dan wewenangnya (jadi ingat Mekar, yang hidungnya si Bung mekar). Berjuang tanpa pamrih adalah landasan idiil para wakil rakyat. Memang berat jadi wakil rakyat, apalagi menjadi pahlawan. 10 Nopember 2002 (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar