Halaman

Senin, 16 Juni 2014

Revolusi Mental Dan Pasal Terburu Nafsu

  
Anak didik lulusan SMA banyak yang sudah sadar diri akan kualitas, kapasitas diri maupun kemampuan finansial orang tua. Tidak memaksakan diri mendaftar ke peguruan tinggi favorit atau sesuai cita-cita sejak masa kecil. Tetapi juga tidak bisa bersegera lebur dengan lapangan kerja yang terbatas dan banyak pesaingnya. Memadukan kerja dan kuliah menjadi obat manjur untuk berani hidup.

Atlet nasional dengan mental juara, kalah menang bukan tujuan untuk berjibaku di berbagai kompetisi. Tumbang di awal langkah atau melenggang ke final, bukan masalah. Lawan tangguh adalah dirinya sendiri. Tetap berlatih walau jadwal pertandingan minim. Tidak ada kata pensiun bagi atlet, apalagi menyerah sebelum berlaga. Merintis sedini mungkin untuk menjadi andalan serta total lebur dalam dunia olah raga.

Artis yang sudah bertarif cepat puas diri. Aji mumpung, selagi laris sanggup kerja siang malam, sekali dayung dua tiga pekerjaan terselesaikan. Tak kurang yang lupa meningkatkan daya jualnya dari aspek yang mendasar. Waktu tidak memburu, namun ada yang keburu parkir sebelum jatuh tempo. Melejit mencapai puncak ketenaran, secepat itu pula mereka berada di bangku cadangan.

Tergesa-gesa
3 contoh di atas, benang merahnya berupa mental dan tuntas dalam bertindak. Peribahasa “berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau”, bukan sekedar karya sastra walau hasil kesimpulan sejarah, teruji oleh zaman. Berlaku  untuk semua anak bangsa, individual maupun komunitas, untuk semua kegiatan dan pekerjaan.

Sebagai contoh nyata di lingkungan Aparatus Negara, yaitu langkah Reformasi Birokrasi ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan, karena mengaitkan pembaharuan pola pikir dan pola budaya aparatur negara yang nota bene bermental priyayi. Ujar Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi. (sumber : ANTARA.news Senin, 14 Juli 2008).

Di era Reformasi, peribahasa di atas tidak berlaku di panggung dan industri politik. Kalau pun malah menjadi kewajiban sesuai sumpah jabatan, model mental apa yang wajib dimiliki para petarung politik atau politisi sipil. Wakil rakyat yang belum jatuh tempo dengan tanpa pikir panjang ikut pilkada. Kepala daerah yang kontraknya belum tuntas, melirik jabatan yang lebih tinggi. Kepala daerah yang tertarik rumput tetangga lebih ranum. Pasangan kepala daerah yang pecah kongsi bukan hal tabu. Kerja belum tuntas atau berhenti di tengah jalan, tidak termasuk wakil rakyat, kepala daerah, pembantu presiden, maupun petugas parpol yang terjegal dan terganjal pasal tipikor.

Apakah sifat terburu nafsu, merasa bisa lebih cepat, budaya instan termasuk sifat dasar manusia. Ikhwal terdesa-gesa dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Al Israa’ (17) : 11] :  Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” Serta tersurat dalam Al-Qur’an [QS Al Anbiyaa' (21) : 37] :  Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.”

Bukan berarti jika tergesa-gesa menjadi sifat dan tabiat manusia, seolah hal wajar jika seseorang menjadi kutu loncat. Ibarat katak rebus, kendati lingkungan sudah tidak kondusif, sudah tidak sehat, sudah tidak mendukung, sudah tidak menguntungkan, dengan mudah eksodus atau bedol kursi mencari lahan yang lebih menjanjikan.

Ikhtiar atau menuntaskan tanggung jawab dilandasi dengan rasa sadar dan sifat sabar. Hubungan antar manusia, kita juga harus bersifat khusyu’ dan thuma’ninah. Revolusi mental bersifat individual, yaitu dengan memaknai falsafah hidup orang Jawa, yaitu : sopo sing temen bakal tinemu, sing bener bakal pener, sing wani bakal dadi, sing jujur bakal mujur, sing umuk bakal keblusuk, waton okol bakal konyol, ngelmu iku kelakone kanthi laku, aja kuminter mundhak keblinger  dalam pikir, ucap dan tindakannya.

Makna atau terjemahan bebas “sopo sing temen bakal tinemu“ yaitu siapa yang sungguh-sungguh, tidak terburu nafsu melakukan sesuatu akan mendapatkan hasilnya. Jika kerjanya hanya setengah-setengah, akan menuai hasil yang sepandan. Jika seseorang tidak menuntaskan sumpah jabatannya, selalu akan tak terpuaskan. Revolusi mental bukan cuci tangan karena telah “tinggal glanggang colong playu” (peribahasa Jawa yang arti mudahnya adalah perilaku meninggalkan tanggung jawab). [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar