Anak didik lulusan SMA banyak yang sudah
sadar diri akan kualitas, kapasitas diri maupun kemampuan finansial orang tua.
Tidak memaksakan diri mendaftar ke peguruan tinggi favorit atau sesuai
cita-cita sejak masa kecil. Tetapi juga tidak bisa bersegera lebur dengan
lapangan kerja yang terbatas dan banyak pesaingnya. Memadukan kerja dan kuliah
menjadi obat manjur untuk berani hidup.
Atlet nasional dengan mental juara,
kalah menang bukan tujuan untuk berjibaku di berbagai kompetisi. Tumbang di
awal langkah atau melenggang ke final, bukan masalah. Lawan tangguh adalah
dirinya sendiri. Tetap berlatih walau jadwal pertandingan minim. Tidak ada kata
pensiun bagi atlet, apalagi menyerah sebelum berlaga. Merintis sedini mungkin
untuk menjadi andalan serta total lebur dalam dunia olah raga.
Artis yang sudah bertarif cepat puas
diri. Aji mumpung, selagi laris sanggup kerja siang malam, sekali dayung dua
tiga pekerjaan terselesaikan. Tak kurang yang lupa meningkatkan daya jualnya
dari aspek yang mendasar. Waktu tidak memburu, namun ada yang keburu parkir
sebelum jatuh tempo. Melejit mencapai puncak ketenaran, secepat itu pula mereka
berada di bangku cadangan.
Tergesa-gesa
3 contoh di atas, benang merahnya berupa
mental dan tuntas dalam bertindak. Peribahasa “berjalan sampai ke batas, berlayar
sampai ke pulau”, bukan sekedar karya sastra walau hasil kesimpulan sejarah, teruji oleh zaman.
Berlaku untuk semua anak bangsa, individual
maupun komunitas, untuk semua kegiatan dan pekerjaan.
Sebagai contoh nyata di lingkungan Aparatus Negara,
yaitu langkah Reformasi Birokrasi ternyata tak semudah membalikkan telapak
tangan, karena mengaitkan pembaharuan pola pikir dan pola budaya aparatur
negara yang nota bene bermental priyayi. Ujar Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Taufik Effendi. (sumber : ANTARA.news Senin, 14 Juli 2008).
Di era Reformasi, peribahasa di atas
tidak berlaku di panggung dan industri politik. Kalau pun malah menjadi
kewajiban sesuai sumpah jabatan, model mental apa yang wajib dimiliki para
petarung politik atau politisi sipil. Wakil rakyat yang belum jatuh tempo
dengan tanpa pikir panjang ikut pilkada. Kepala daerah yang kontraknya belum
tuntas, melirik jabatan yang lebih tinggi. Kepala daerah yang tertarik rumput
tetangga lebih ranum. Pasangan kepala daerah yang pecah kongsi bukan hal tabu. Kerja
belum tuntas atau berhenti di tengah jalan, tidak termasuk wakil rakyat, kepala
daerah, pembantu presiden, maupun petugas parpol yang terjegal dan terganjal
pasal tipikor.
Apakah sifat terburu nafsu, merasa bisa lebih cepat,
budaya instan termasuk sifat dasar manusia. Ikhwal terdesa-gesa dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Al Israa’ (17) : 11] :
“Dan
manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah
manusia bersifat tergesa-gesa.” Serta tersurat dalam Al-Qur’an [QS Al Anbiyaa' (21) : 37] :
“Manusia
telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu
tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan
segera.”
Bukan berarti jika tergesa-gesa menjadi
sifat dan tabiat manusia, seolah hal wajar jika seseorang menjadi kutu loncat.
Ibarat katak rebus, kendati lingkungan sudah tidak kondusif, sudah tidak sehat,
sudah tidak mendukung, sudah tidak menguntungkan, dengan mudah eksodus atau
bedol kursi mencari lahan yang lebih menjanjikan.
Ikhtiar atau menuntaskan tanggung jawab
dilandasi dengan rasa sadar dan sifat sabar. Hubungan antar manusia, kita juga harus bersifat
khusyu’ dan thuma’ninah. Revolusi
mental bersifat individual, yaitu dengan memaknai falsafah hidup orang Jawa,
yaitu : sopo sing temen bakal tinemu, sing bener bakal pener, sing wani bakal dadi, sing
jujur bakal mujur, sing umuk bakal keblusuk, waton okol bakal konyol, ngelmu
iku kelakone kanthi laku, aja kuminter mundhak keblinger dalam pikir, ucap dan tindakannya.
Makna atau
terjemahan bebas “sopo sing temen bakal tinemu“ yaitu siapa yang
sungguh-sungguh, tidak terburu nafsu melakukan sesuatu akan mendapatkan
hasilnya. Jika kerjanya hanya setengah-setengah, akan menuai hasil yang
sepandan. Jika seseorang tidak menuntaskan sumpah jabatannya, selalu akan tak
terpuaskan. Revolusi mental bukan cuci tangan karena telah “tinggal glanggang colong playu” (peribahasa Jawa yang arti mudahnya adalah
perilaku meninggalkan tanggung jawab). [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar