Senin, 04/08/2003
07:00
Di zaman Orde Lama,
Soekarno sebagai mantan RI-1 dicerca dan disudutkan secara sistematis. Soekarno
lebih banyak dosanya dibanding kebaikannya, kata oknum setempat. Kendati
Soekarno berdiri di atas semua golongan / partai politik dalam kemasan Nasakom.
Soeharto sebagai Pembina Golkar semasa Orde Baru menyebabkan pasca lengser
keprabonnya nyaris tak tersentuh hukum buatan manusia.
Dosa bawaan Orde Baru
dilanjutkan oleh Partai Golkar dengan berbagai bentuk fenomenal dan futuristik.
Memang Golkar telah mengakar sampai pelosok desa, dengan program kuningisasi.
Ruh KKN masih gentayangan bebas, bahkan topeng Reformis pun tak mampu
menyembunyikannya. KKN telah tersebar bebas sampai daerah terpencil, menjadi
wabah nasional, menjelma bak bencana tak bertuan. Salah satu dosa Orde Baru
yang menjadi beban Reformasi adalah Krisis Moneter yang merasuk ke dalam
sendi-sendi kehidupan dengan berbagai bentuk tampilan.
Dosa baru Reformasi
dimulai dengan penolakan pertanggungjawaban RI-1 ke 3. Mandataris MPR hasil
Pemilu 1999, Gus Dur, rontok di tengah jalan. Duet penerusnya malah menyisakan
berbagai problematik, yang tak akan habis dikupas tuntas. Kita sadari, jika
kondisi seperti sekarang ini tetap bergulir sampai satu dekade, kita akan dihadapkan
pada berbagai krisis dilematis. Pertikaian adiluhung, yaitu saling menyalahkan
akan menjadi komoditas politik. Saat itu pasal-pasal hukum menjadi primadona
dalam pertengkaran politik.
Kombinasi dosa
peninggalan Orla, Orba dan Reformasi Edisi Perdana malah menjadi suntikan
semangat pasca Pemilu 2004. Munculnya berbagai tokoh berlatar belakang
pendidikan dari dunia lain, munculnya pemikiran berbasis bisnis dengan iblis,
munculnya faham atau isme yang lebih mengedepankan keakuan, munculnya kekuatan
massa yang bersifat spontan, sporadis dan radikal - semua bermuara ke bancakan
dosa kolektif.
Orang tak akan puas
dengan memvonis masa lampau, bahkan menggadaikan masa depan sebagai retorika
politik, wajar dan berakal. Masyarakat akan dicekoki berita tentang dosa
politik dalam berbagai versi sesuai selera media massa. Produk pariwara pun tak
luput dari bahasa politik. Mirip tokoh politik sebagai bintang iklan yang
merekayasa dan mereka kata simbol politik. Skenario tunggalnya yaitu bagaimana
kaki kanan secara elegan menginjak kaki kiri tanpa mempengaruhi keseimbangan
politik.
Agar nantinya kita
tak dibebani dosa politik - kapan kerjanya - maka setiap estafet kepemimpinan
nasional diadakan acara "buang dosa", bukannya ngalap berkah. Pihak
tersangka harus mempertanggungjawabkan secara politis di akhir masa jabatannya
segala rencana dan realisasi dosa politiknya. Format tanggung gugat / tanggung
renteng dosa politik ini diformulasikan dalam bahasa hukum. Sebagai uji coba
tentunya era Reformasi yang baru memasuki dekade pertama. Agar tak terjadi bias
politik yang tak berkesudahan memang diperlukan Ketetapan MPR, sesuai judul di
atas. Minimal agar satu generasi tak terkontaminasi dosa bawaan/turunan. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar