Halaman

Kamis, 05 Juni 2014

Diperlukan, Tap MPR Tentang Tanggung Gugat / Tanggung Renteng Dosa Kolektif Era Reformasi.

Beranda » Berita » Opini
Senin, 04/08/2003 07:00

Di zaman Orde Lama, Soekarno sebagai mantan RI-1 dicerca dan disudutkan secara sistematis. Soekarno lebih banyak dosanya dibanding kebaikannya, kata oknum setempat. Kendati Soekarno berdiri di atas semua golongan / partai politik dalam kemasan Nasakom. Soeharto sebagai Pembina Golkar semasa Orde Baru menyebabkan pasca lengser keprabonnya nyaris tak tersentuh hukum buatan manusia.

Dosa bawaan Orde Baru dilanjutkan oleh Partai Golkar dengan berbagai bentuk fenomenal dan futuristik. Memang Golkar telah mengakar sampai pelosok desa, dengan program kuningisasi. Ruh KKN masih gentayangan bebas, bahkan topeng Reformis pun tak mampu menyembunyikannya. KKN telah tersebar bebas sampai daerah terpencil, menjadi wabah nasional, menjelma bak bencana tak bertuan. Salah satu dosa Orde Baru yang menjadi beban Reformasi adalah Krisis Moneter yang merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan dengan berbagai bentuk tampilan.

Dosa baru Reformasi dimulai dengan penolakan pertanggungjawaban RI-1 ke 3. Mandataris MPR hasil Pemilu 1999, Gus Dur, rontok di tengah jalan. Duet penerusnya malah menyisakan berbagai problematik, yang tak akan habis dikupas tuntas. Kita sadari, jika kondisi seperti sekarang ini tetap bergulir sampai satu dekade, kita akan dihadapkan pada berbagai krisis dilematis. Pertikaian adiluhung, yaitu saling menyalahkan akan menjadi komoditas politik. Saat itu pasal-pasal hukum menjadi primadona dalam pertengkaran politik.

Kombinasi dosa peninggalan Orla, Orba dan Reformasi Edisi Perdana malah menjadi suntikan semangat pasca Pemilu 2004. Munculnya berbagai tokoh berlatar belakang pendidikan dari dunia lain, munculnya pemikiran berbasis bisnis dengan iblis, munculnya faham atau isme yang lebih mengedepankan keakuan, munculnya kekuatan massa yang bersifat spontan, sporadis dan radikal - semua bermuara ke bancakan dosa kolektif.

Orang tak akan puas dengan memvonis masa lampau, bahkan menggadaikan masa depan sebagai retorika politik, wajar dan berakal. Masyarakat akan dicekoki berita tentang dosa politik dalam berbagai versi sesuai selera media massa. Produk pariwara pun tak luput dari bahasa politik. Mirip tokoh politik sebagai bintang iklan yang merekayasa dan mereka kata simbol politik. Skenario tunggalnya yaitu bagaimana kaki kanan secara elegan menginjak kaki kiri tanpa mempengaruhi keseimbangan politik.

Agar nantinya kita tak dibebani dosa politik - kapan kerjanya - maka setiap estafet kepemimpinan nasional diadakan acara "buang dosa", bukannya ngalap berkah. Pihak tersangka harus mempertanggungjawabkan secara politis di akhir masa jabatannya segala rencana dan realisasi dosa politiknya. Format tanggung gugat / tanggung renteng dosa politik ini diformulasikan dalam bahasa hukum. Sebagai uji coba tentunya era Reformasi yang baru memasuki dekade pertama. Agar tak terjadi bias politik yang tak berkesudahan memang diperlukan Ketetapan MPR, sesuai judul di atas. Minimal agar satu generasi tak terkontaminasi dosa bawaan/turunan. (hn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar