Kaki Yang Tak Renta
Ujaran bijak, semakin
afdol keluar dari manusia bijak. Walau bukan profesi atau status sosialnya. Bukan
bahasa klise, basa-basi, pemanis mulut, pemerah bibir atau yang jelas bukan
bahasa politik.
Ujaran bijak bisa
bergaya diplomatis. Multitafsir dan nyaris bias. Akumulasi, asumsi dari aneka
kejadian nyata bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Mengerucut atau acap muncul
di permukaan.
Saya ajak pemirsa,
penonton, pendelok tata kalimat ini.
Untuk urusan akhirat,
kita wajib iri dengan orang lain yang bisa ahli masjid. Lihat ke atas,
sedemikan nyata tindak dan aksi diri hamba Allah yang menjaga wudhunya.
Mulai dan niat dengan
kebaikan. Konsisten, kontinyu, rutin atau mendawamkan amal kebaikan. Sekecil apapun,
menjadi kebiasaan dalam hitungan waktu terkecil.
Untuk urusan dan sukses
dunia, lihat jauh ke depan tanpa batas pandang. Turunkan pelan tatapan mata
kita. Betapa masih banyak anak bangsa penganut ekonomi sehari.
Makanya pemeritah
memberi label masyarakat kurang beruntung. Menunjukkan klas ekonomi papan
bawah. Stigma uneducared people karena status sosial yang tak pernah
beranjak. Betah di dasar kehidupan.
Agar pembangunan
nasional terasa menyentuh semua pihak. Pemerintah memposisikannya senagai permanent underclass. Bermanfaat sebagai
faktor penentu besaran utang luar negeri. NKRI memposisikan diri sebagai negara
yang sedang, masih dan akan berkembang. Sehingga perlu bantuan darurat.
Jadi, kita sudah punya
pakem, aturan main untuk melihat kenyataan hidup.
Justru yang paling
mujarab, manjur, mustajab, cespleng dengan pola bercermin diri. Mawas diri
sejak dini. Muhasabah. Evaluasi diri dengan bijak. Bukan mencari pembenaran. Bukan
menghalalkan perilaku pembiaran karena berkaca pada kebijakan negara.
Untuk membandingkan diri
dengan pihak lain dalam urusan dunia sekaligus urusan akhirat. Cara sederhana
dengan melihat orang lain yang tahun kelahirannya sama. Bukan sekedar umur dan
atau usia yang sama.
Karena waktu tidak
berlaku sama untuk makhluk hidup, terkhusus buat manusia dan atau orang. Ada yang
merasa rasanya waktu berjalan cepat. Tahu-tahu sudah siang. Sebaliknya,
jalannya waktu padat merayap. Detak dan degup jantung teraba. Detik waktu atau
jalannya jarum detik jam bermakna. Seiring dengan asa yang bergulir pelan tapi
pasti.
Apa cara bijak kita
untuk menakar kadar manfaat umur dan atau usia. Patokan kita adalah usia
Rasulullah saw.
Di jalanan, tak sengaja
ketika melihat cara berjalan sesame pengguna jalan. Ada yang santai tapi memang
itu tekniknya. Ada yang menjaga langkah agar stabil dan berkemajuan. Selangkah demi
selangkah. Menjaga irama kehidupan, mengatur nafas.
Bisa iri jika ada yang
langkah tegap, cekatan dan mantap. Terlebih jika si empunya kaki, ubannya lebih
rimbun. Perlu kita simak cara jalan Rasulullah saw.
Boleh bangga tak terucap
dan tak terwujud dalam aksi, jika menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Betapa
ada anak manusia yang jauh lebih belia, jalan gemulai bak pria tulang lunak. Siapa
terka, ybs jalan sambil mengingat keberadaan-Nya.
Pernah, walau sifat
kasus, saat berjalan kaki saya salib rombongan anak sekolah. Karena menggerombol,
jalan sambil bincang. Ucapan yang saya tangkap, sederhana. Menjadi sumber
inspirasi menjadi tata kalimat.
Pembaca yang setia.
Beda atau lain cerita. Ada
manusia yang jauh lebih banyak makan kalender. Jalan sambil tengak-tengok,
sesekali senyum atau menganggukan kepala. Selidik punya sidik, ternyata ybs
mantan pejabat. Jalannya tampak dianggun-anggunkan. Biar tampak berwibawa. Minimal
tampak sebagai ahli berpikir. Mikirkan negara yang nasibnya tak bisa lepas dari
jeratan renternir dunia.
Berjalan kaki atau olah
kaki, dilakukan sekedar agar kaki tak merasa jemu di rumah saja. Atau hanya
diajak duduk. Tindak meluruskan kaki, sebagai pasal pemulihan citra diri. Agar kaki
siaga, sewaktu-waktu diminta jasanya. Siap menjadi kaki-tangan siapa saja. Maksudnya
peran sentral kaki untuk menjawa wibawa citra dan pesona diri. Ada kursus
kepribadian melatih cara jalan kaki yang baik dan benar. Ada kurus atau sekolah
lenggang catwalk.
Agar tapak kaki ini
tidak menjelajah kemana-mana, salah injak, salah menapak, salah arah. Belum sampai
pada akhir kata. Namun simpul ada di hati hadirin yang mulia.
Jadi, kaki bukan ukuran
umur dan atau usia. Walau ukuran kaki ada hubungan diplomatik dengan daya
jangkau kaki. Kuat jalan. Berdiri tahan lama.
Masalah klise, klasik
adalah kaki yang mengajak kita untuk bertindak atau kita yang mengajak kaki untuk
kemana saja tujuan hidup. Dimana bumi kita pijak, pakai hukum lokal. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar