Halaman

Jumat, 29 Juni 2018

penguasa semakin berisi semakin nyaring bunyinya


penguasa semakin berisi semakin nyaring bunyinya

Hasil kombinasi dua peribahasa. Namanya politik, rekayasa, manipulasi  modus apa pun tampak dewasa, berklas.

Ironis binti miris, pilkada serentak rabu, 27 Juni 2018, menyisakan potongan fakta. Saking bekèn, tenar tersohor nama oknum balon kepala daerah, pemilih malah milih nama lain. Faktor kasihan (wujud nyata rasa tepo slira, welas asih) menjadi pertimbangan utama.

Jangan sampai kalau ybs dipercaya, malah semakin menambah pamor. Rekam jejak selama hidupnya memang begitu. Ahli sepak, sedot, keruk, main sikut. Sampai ki dalang Sobopawon bingung mementaskannya. Mau bilang watak politik.

Rakyat semakin maklum, peta politik menjadi jebakan masa depan. Sekulerisasi politik menjadikan martabat parpol keropos dalam. Warna politik terbentuk sejak pra-Proklamasi menjadikan nyali diri siap jual diri.

Propaganda politik penguasa, dengan menggandakan aneka ujaran menjilat vs serba ujaran menghasut menjadi satu paket. Terima jadi sampai pilpres 2019.

Penduduk karena mempunyai e-KTP, rakyat karena masuk kategori uneducated people, permanent underclass maupun masyarakat yang didaulat bisa masuk bursa masyarakat kurang beruntung, tetap dibutuhkan untuk uji coba Pancasila.

Artinya praktik mengkonfrontasikan, membenturkan Pancasila dengan pihak yang tak searah dan sehaluan dengan penguasa. Andalan, jimat, aji-aji konstitusional.

Rakyat tak semen-mena melupakan jasa dan fakta peribahasa Jawa: asu gedhé menang kerahé.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar