penguasa semakin berisi
semakin nyaring bunyinya
Hasil kombinasi dua peribahasa.
Namanya politik, rekayasa, manipulasi
modus apa pun tampak dewasa, berklas.
Ironis binti miris, pilkada serentak
rabu, 27 Juni 2018, menyisakan potongan fakta. Saking bekèn, tenar tersohor nama oknum
balon kepala daerah, pemilih malah milih nama lain. Faktor kasihan (wujud nyata
rasa tepo
slira, welas
asih) menjadi pertimbangan utama.
Jangan sampai kalau ybs dipercaya,
malah semakin menambah pamor. Rekam jejak selama hidupnya memang begitu. Ahli sepak,
sedot, keruk, main sikut. Sampai ki dalang Sobopawon bingung mementaskannya. Mau
bilang watak politik.
Rakyat semakin maklum, peta politik
menjadi jebakan masa depan. Sekulerisasi politik menjadikan martabat parpol
keropos dalam. Warna politik terbentuk sejak pra-Proklamasi menjadikan nyali
diri siap jual diri.
Propaganda politik penguasa, dengan
menggandakan aneka ujaran menjilat vs serba ujaran menghasut menjadi satu paket.
Terima jadi sampai pilpres 2019.
Penduduk karena mempunyai e-KTP,
rakyat karena masuk kategori uneducated people, permanent underclass maupun masyarakat yang
didaulat bisa masuk bursa masyarakat kurang beruntung, tetap dibutuhkan untuk
uji coba Pancasila.
Artinya praktik mengkonfrontasikan,
membenturkan Pancasila dengan pihak yang tak searah dan sehaluan dengan
penguasa. Andalan, jimat, aji-aji konstitusional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar