salah koki vs salah menu vs salah bumbu
Kalau “korban” hanya
satu, belum dapat diambil kesimpulan. Sampel memang tidak boleh satu. Apalagi kurang
dari satu. Bayangkan kalau satu-satunya “korban” adalah Anda.
Bicara korban, tidak
elok untuk adat, adab yang masih menjadi acuan. Konotasi, stigma menjadi beban
tersendiri. Seperti sudah divonis di awal kejadian perkara. Tanpa tahu
sebab-musabab. Tanpa dinyatakan pasal atau normanya.
Penerapan ‘korban’ bisa
untuk siapa saja. Tidak tergantung bulu. Malah terkadang, tergantung kesigapan
tukang endus berita. Mau-maunya, suka-sukanya sang ahli mengolah fakta. Mengandalkan
ujaran tertulis seatraktif nian. Kode etik jurnalistik hanya dikedepankan jika
sang juru pengganda berita malah jadi “korban”. Senjata makan tuan, berbalik
jadi tersangka.
Rakyat sudah maklum. Sumber
segala sumber ujaran dan penistaan. Bukan keluar atau produk orang biasa. Soal akurasi
data dan informasi, bisa dicicil sesuai tarif.
Skenario besar untuk
pertahanan diri, bukan pasal tabu. Wajib jaga wibawa dari intervensi investor
politik. Rakyat siap dikorbankan demi raihan suara rakyat. Mendapat mandat. Bukan
zamannya mandataris MPR.
Pastikan cuaca
mendukung. Semua pihak sibuk memikirkan nasib sendiri. Jangan berharap ada
bantuan (asing) gratis. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar