suksesi Asian Games XVIII 2018,
jual beli pasal vs tumpang tindih wewenang
Mobil
stir kanan karena sistem lalu lintas Indonesia, arah arus ada di jalur dan atau
lajur kiri maupun tepi sebelah kiri. Stir tengah macam motor, bebas pilih
jalur. Pejalan kaki di trotoar, di bahu jalan, harus mengalah. Pemotor
ditengarai sebagai raja jalanan, sétan jalanan.
Tempat duduk
pengemudi yang tinggi, mampu membaca situasi lalu lintas dan lingkungan dengan
bebas dan cepat, terpacu untuk selalu memacu kendaraannya. Contoh klasik
didominasi awak sopir bis. Diimbangi dengan bunyi klakson, lengkap sudahlah. Soal
rem blong masih banyak pohon atau warung.
Jelas terang
benderang, lalu lintas kiri, namun dalam praktiknya masih banyak pihak yang
membuat aturan sendiri. Begitu juga dalam lalu lintas perjalanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Pasal salip-menyalip, zig-zag masih
dianggap santun. Asal tidak mencelakakan orang lain, apalagi merugikan negara. Tetapi
asal bisa memperkaya golongan, koalisi atau diri sendiri.
Pihak yang
merasa berwajib, berkepentingan dengan lancarnya lalu lintas. Memanfaatkan rambu-rambu
lalu lintas sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kontrak politik. Rambu-rambu
ada yang dipasang permanen. Selebihnya bersifat dinamis, mobilitas sesuai
sikon. Ada juga yang standar lokal, namun sakti.
Hebatnya
Nusantara. Satu rambu dengan aneka arti, multitafsir. Tergantung siapa yang terkena pasal atau rambu dimaksud. Siapa
yang bernasib ketiban pinalti. Semakin disangkal, malah akan berbanding lurus
dengan rambu berlapis.
Tata niaga
politik menjadikan jangan bermain jari-jemari untuk menari menyusun konfigurasi
ujaran tertulis. Benar saja bisa dianggap salah. Baik saja bisa berakibat
buruk. Bagus saja bisa berbuah keburukan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar