Halaman

Sabtu, 09 Juni 2018

suksesi Asian Games XVIII 2018, jual beli pasal vs tumpang tindih wewenang


suksesi Asian Games XVIII 2018, jual beli pasal vs tumpang tindih wewenang

Mobil stir kanan karena sistem lalu lintas Indonesia, arah arus ada di jalur dan atau lajur kiri maupun tepi sebelah kiri. Stir tengah macam motor, bebas pilih jalur. Pejalan kaki di trotoar, di bahu jalan, harus mengalah. Pemotor ditengarai sebagai raja jalanan, sétan jalanan.

Tempat duduk pengemudi yang tinggi, mampu membaca situasi lalu lintas dan lingkungan dengan bebas dan cepat, terpacu untuk selalu memacu kendaraannya. Contoh klasik didominasi awak sopir bis. Diimbangi dengan bunyi klakson, lengkap sudahlah. Soal rem blong masih banyak pohon atau warung.

Jelas terang benderang, lalu lintas kiri, namun dalam praktiknya masih banyak pihak yang membuat aturan sendiri. Begitu juga dalam lalu lintas perjalanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Pasal salip-menyalip, zig-zag masih dianggap santun. Asal tidak mencelakakan orang lain, apalagi merugikan negara. Tetapi asal bisa memperkaya golongan, koalisi atau diri sendiri.

Pihak yang merasa berwajib, berkepentingan dengan lancarnya lalu lintas. Memanfaatkan rambu-rambu lalu lintas sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kontrak politik. Rambu-rambu ada yang dipasang permanen. Selebihnya bersifat dinamis, mobilitas sesuai sikon. Ada juga yang standar lokal, namun sakti.

Hebatnya Nusantara. Satu rambu dengan aneka arti, multitafsir. Tergantung  siapa yang terkena pasal atau rambu dimaksud. Siapa yang bernasib ketiban pinalti. Semakin disangkal, malah akan berbanding lurus dengan rambu berlapis.

Tata niaga politik menjadikan jangan bermain jari-jemari untuk menari menyusun konfigurasi ujaran tertulis. Benar saja bisa dianggap salah. Baik saja bisa berakibat buruk. Bagus saja bisa berbuah keburukan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar