Halaman

Selasa, 12 Juni 2018

suksesi Asian Games XVIII 2018, Limbuk curi start vs Pétruk kélangan pêthèl


suksesi Asian Games XVIII 2018, Limbuk curi start vs Pétruk kélangan pêthèl

Gonjang-ganjing di dunia pewayangan, dalam beberapa pasal kejadian perkara tak jauh beda dengan di panggung politik Nusantara. Kasus menyangkut perebutan takhta atau makar atau oposisi stengah hati,banci, nyaris mirip. Bahkan oleh beberapa dalang wayang kulit, gelaran kisah geger di istana entah kerajaan yang mana, terinspirasi oleh kejadian nyata di industri, syahwat politik.

Hasil survei lembaga survei bebas pendapat, membuat asumsi dasar bahwa aneka watak anak wayang, masih kalah dengan yang ada di wayang politik. Istilah ringannya, karakter anak wayang ketinggalan zaman dibanding karakter wayang politik.

Salah banyak benang merah karakter anak wayang dengan wayang politik sudah tersurat, tersirat melalui peribahasa. Nasional maupun daerah, khususnya peribahasa Jawa.

Ungkapan, ujaran tradisional Jawa secara garis besar meliputi paribasan, bebasan, dan saloka. Contohnya, bahkan agar tampak santun dengan memakai nama flora, misal:  timun wungkuk jaga imbuh yang bermakna “orang yang digunakan sebagai cadangan tenaga (jika terdapat keadaan yang memaksa).

Sejatinya, ungkapan tadi dimaskudkan sebagai saran atau teguran ringan. Seseorang jangan mengandalkan nama besar, jasa silsilahnya. Harus menunjukkan usaha dengan keringat sendiri. Kalau memang nasib hanya sebagai pelengkap karena praktik politik balas jasa, lain perkara. Rakyat sudah maklum sejak zaman penjajahan.

Wayang politik yang sedang manggung, naik daun, seolah merasa akan bisa tahan lama. Pakai jargon di zaman Orde Baru adalah “atas kehendak rakyat”.  Bukan “atas petujunjuk bapak presiden”. Namanya juga politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar