suksesi Asian
Games XVIII 2018, Limbuk curi start vs Pétruk kélangan pêthèl
Gonjang-ganjing di dunia pewayangan,
dalam beberapa pasal kejadian perkara tak jauh beda dengan di panggung politik
Nusantara. Kasus menyangkut perebutan takhta atau makar atau oposisi stengah
hati,banci, nyaris mirip. Bahkan oleh beberapa dalang wayang kulit, gelaran
kisah geger di istana entah kerajaan yang mana, terinspirasi oleh kejadian
nyata di industri, syahwat politik.
Hasil survei lembaga survei bebas
pendapat, membuat asumsi dasar bahwa aneka watak anak wayang, masih kalah
dengan yang ada di wayang politik. Istilah ringannya, karakter anak wayang
ketinggalan zaman dibanding karakter wayang politik.
Salah banyak benang merah karakter
anak wayang dengan wayang politik sudah tersurat, tersirat melalui peribahasa. Nasional
maupun daerah, khususnya peribahasa Jawa.
Ungkapan, ujaran tradisional Jawa
secara garis besar meliputi paribasan, bebasan, dan saloka. Contohnya, bahkan
agar tampak santun dengan memakai nama flora, misal: timun wungkuk jaga imbuh yang bermakna “orang
yang digunakan sebagai cadangan tenaga (jika terdapat keadaan yang memaksa)‟.
Sejatinya, ungkapan tadi dimaskudkan
sebagai saran atau teguran ringan. Seseorang jangan mengandalkan nama besar,
jasa silsilahnya. Harus menunjukkan usaha dengan keringat sendiri. Kalau memang
nasib hanya sebagai pelengkap karena praktik politik balas jasa, lain perkara. Rakyat
sudah maklum sejak zaman penjajahan.
Wayang politik yang sedang manggung,
naik daun, seolah merasa akan bisa tahan lama. Pakai jargon di zaman Orde Baru
adalah “atas kehendak rakyat”. Bukan “atas
petujunjuk bapak presiden”. Namanya juga politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar