suksesi Asian Games XVIII 2018,
tepuk tangan pertama vs tawa terakhir
Memang,
tepuk tangan dan tawa mulut, sebagai ekspresi diri. Tepuk pramuka menjadi
pemersatu jiwa yang sedang sehat, riang dan tanpa pandang kasta. Mangan ora mangan, sing penting iso keplok bareng.
Soal
tawa. Mentertawakan diri sendiri menjadi bentuk diplomasi untuk merendahkan
diri. Atau merasa rendah diri. Atau mematut diri di kalangan yang tak jelas
suaranya. Tertawa getir ketika tahu, orang melihatnya karena ada pamrihnya. Ada
tantangan barter politik.
Orang
bijak bertutur, perajurit tua tak akan pernah mati. Orang timur pandai
menyembunyikan perasaan hati. Anak cucu ideologis, sampai jadi bahaya laten,
tak ada matinya, tak ada kapoknya.
Atlet
dari duta negara asing bertarung, bertanding, berlaga; adu otak, adu otot, demi
martabat bangsa dan negaranya. Ukurannya serba lebih. Lebih cepat, lebih jauh,
lebih tinggi, lebih kuat, lebih banyak. Entah cabor apa jika pemenangnya, lebih lama. Pokoknya,
kuat lama dan tahan lama.
Asian
Games XVIII 2018 untuk atlet amatir (?). Simak duel petinju. Kalau pakai
singlet, berarti amatir. Banyaknya ronde, mungkin 3 (tiga) ronde. Rangkaian
ring di bendera club organisasi olahraga Asia, sebagai tanda tanding
profesional. Kalau ada.
Selain sponsor,
pemodal, penyandang dana, dimana posisi dan peran petaruh. Atau pihak yang
mampu menentukan, mendikte skore atau sejauh apa kuasa wasit pertandingan.
Namanya olahraga yang dibalut dengan aroma politik.
Kita
tidak tahu nantinya siapa atau pihak mana yang tawa terakhir saat penutupan
Asian Games XVIII 2018. Bukan masalah perolehan suara.
Kita
bersyukur, pemerintah mampu mensukseskan hajat nasional Asian Games XVIII 2018
secara profesional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar