Halaman

Rabu, 29 Oktober 2014

MENCARI FORMAT PENGEMBANGAN SDM BERDASARKAN ANALISA FAKTOR RISIKO DAN FAKTOR PERUBAHAN

Oleh : Herwin Nur, staf Bagian Perintal - Set. BPSDM


KILAS BALIK
Kita terjebak retorika, walau belum stigma, bahwa pengembangan SDM merupakan fungsi pendidikan dan pelatihan. Memang tidak begitu salah. Padahal kalau mau sedikit melongok ke dunia luar dipastikan wawasan kita akan bertambah. Atau kalau hanya berbasis pendidikan dan pelatihan kita berharap dapat melakukan sesuatu secara optimal. Terlebih mengingat para pelaku pembangunan meliputi aparatur negara, mitra kerja dan masyarakat. Kita pun masih terpaku pada target kuantitas dari pengembangan SDM melalui mekanisme pendidikan dan pelatihan. Sehingga keberhasilan pengembangan dinilai berdasarkan jumlah kelulusan. Tidak memasuki kuadran manfaat dan tidak menyentuh evaluasi teturn of investmen (ROI).

Dukungan formal melalui Bidang Pembangunan Aparatur Negara (Draft “Rencana Pembangunan Jangka Menengah (PJM) Tahun 2005-2009”, Bappenas) masih sebatas pada aparatur negara. Kondisi ini  justru membuka peluang bagi BPSDM untuk memformulasikan pelaku pembangunan lainnya untuk berkiprah atau memberikan kontribusi nyatanya.

Dari sisi lain, tingkat akumulasi kebutuhan nyata dan kemampuan nyata masyarakat akan bidang Kimpraswil sangat beragam karena adanya potensi dan keanekaragaman daerah. Hal lain yang perlu disikapi oleh  pemerintah kota / kabupaten adalah merubah metode konvensional dari teori mengeneralisasikan dan memarginalkan keinginan "want" menjadi teori "needs of publict demand". Teori konvensional hanya efektif untuk diterapkan pada tujuan tertentu saja dengan kondisi normal dan sasaran yang homogen, contoh sewaktu Repelita.

Sejarah pengembangan SDM bidang Kimpraswil masih dipengaruhi oleh target oriented. Kondisi ini dipengaruhi oleh lingkup departemen yang masih memberlakukan proyek oriented. Untuk mendapatkan suatu rumusan dan bentuk kegiatan, mau tak mau kita harus menghitung mundur dari sesuatu capaian yang telah dipatok. Kondisi ideal akan berbenturan dengan ketersediaan dana untuk BPSDM.

STRUKTUR ORGANISASI DAN STRATEGI         
Terjadi di tahun 2001, setelah struktur organisasi BPSDM selesai diputuskan barulah ditetapkan siapa yang akan mengisi kotak-kotak tersebut. Prosedur ini sangat lazim dan jamak dilakukan yang disebut sebagai pola strategy follows structure. Namun, dengan berat hati dapat disimpulkan bahwa strategi dikalahkan oleh organisasi yang disodorkan. Masalahnya, bagaimana mungkin tujuan dapat tercapai secara optimal? Artinya, memang birokrasi (diharapkan) disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya yang optimal.

Cara pencapaian target ataupun sasaran selama ini dilaksanakan secara prosedural, minimal berpegang atau adanya  Standard Operation Procedure (SOP). Karena dilaksanakan secara birokratis maka jika terjadi hambatan pada satu terminal atau mandeg disatu tahap akan mempengaruhi proses. Terbiasa pada kondisi pasif atau malah berulah status quo. Terkadang untuk bisa mencapai tujuan dibutuhkan terobosan maupun penyimpangan berupa jalan pintas, jalan alternatif, langkah zig-zag.

TANTANGAN PENGEMBANGAN SDM
Hakekat profesionalisme tidak bisa dimiliki oleh aparatur negara. Pada dasarnya format profesional tidak mengenal hambatan waktu dan ruang. Sebagai pegawai kita dibatasi oleh waktu dan ruang, berupa pensiun! Setelah pensiun yang masih melekat hanya kata “uang pensiun” yang justru menjadi beban negara. Bentuk dan aroma pengabdian langsung stop. Pengalaman sebagai pejabat tidak  bisa dijual di dunia pasca pegawai. Dengan adanya batas usia pensiun ini maka banyak pejabat yang menunggu waktu berharap untuk promosi, terlebih yang merasa telah memiliki berbagai persyaratan (misal telah menyelesaikan Diklatpim, telah mendapatkan bintang jasa, merasa kenal dengan pucuk pimpinan tertinggi, dsb), termasuk masuk dalam DUK (Daftar Urutan Kedekatan).

Pendidikan seumur hidup melalui sistem kediklatan seolah hambar larut dalam batas pensiun. Bahkan tumpukan sertifikat dan deretan gelar akademis tak mempan menghadapi kehidupan nyata.

Meskipun kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang Kimpraswil berpeluang tumbuh lebih baik dan kestabilan struktur departemen dapat dipertahankan, minimal struktur standar departemen mengandung kegiatan pendidikan dan pelatihan, namun  di balik itu masih terdapat beberapa tantangan dan faktor risiko internal dan eksternal.

Di sisi eksternal, sebagai kekuatan yang muncul dari luar BPSDM, seperti: karakteristik kebijakan departemen, perkembangan teknologi informasi, perubahan-perubahan di pasar, otonomi daerah, tekanan sosial dan politik serta terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap prospek pengembangan SDM 2005-2009, antara lain :

Pertama, semakin tajamnya persaingan antar aparatur negara di tingkat departemen, meningkatnya otorisasi pelaksanaan diklat di tiap satminkal, maka  pelaksanaan diklat tidak didominasi oleh BPSDM (misal, tergantung instansi pembina untuk diklat fungsional, sebatas diklatpim tk. IV dan III, dsb). Kondisi ini dapat  mempengaruhi kinerja dan daya saing pelaku pembangunan bidang Kimpraswil terhadap tuntutan pembangunan dan semangat otonomi daerah.

Kedua, sebagai program penunjang dengan kemungkinan sampai peringkat juru kunci dapat menurunkan tingkat dan kerapan kegiatan pengembangan SDM, khususnya pada komitmen untuk meningkatkan kapasitas aparatur negara. Dukungan tidak sebatas dana, yang lebih kuat justru berupa komitmen pimpinan departemen.

Ketiga, kemungkinan mulai menciutnya bidang garap pembangunan bidang Kimpraswil di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan ke atas terhadap penetapan kebijakan departemen. Tantangan pembangunan pada tahap pemanfaatan dan pemeliharaan.

Di sisi internal, sebagai kekuatan yang muncul dari dalam tubuh BPSDM, seperti : masalah/prospek karir, perilaku dan keputusan manajemen serta masih mencuatnya beberapa permasalahan dengan berbagai tingkat tatanan dan tantangan yang harus dikelola dengan bijak, meliputi :

Pertama, konsistensi dari implementasi program kebijakan pembangunan bidang Kimpraswil diharapkan dapat mengubah paradigma pengembangan SDM. Pengembangan SDM bagian integral dari sistem pembangunan bidang Kimpraswil. Pengembangan SDM secara multifungsi harus dikelola dengan lebih fokus, transparan dan bermanfaat.

Kedua, penyelesaian permasalahan struktural menyangkut kebijakan dalam penetapan perimbangan kegiatan pendidikan dan pelatihan, khususnya pada faktor penghambat akselerasi pengembangan SDM

Ketiga, di sisi pengembangan SDM belum optimalnya fungsi koordinasi, pengelolaan dan evaluasi. Hal ini karena adanya pejabat yang lebih banyak berkutat di belakang meja.

Keempat, menjaga konsistensi dan kesinambungan kebijakan pendayagunaan aparatur negara, baik kebijakan program maupun dukungan anggaran.

Kelima, proses transformasi kebijakan dan demokratisasi dalam bentuk sistem dan mekanisme dalam proses pemilihan peserta pendidikan dan pelatihan.

Dari berbagai evaluasi awal,  dapat disimpulkan kekuatan eksternal (kebijakan departemen) maupun kekuatan internal (keputusan manajemen untuk membiarkan lini yang idle capacity) mendorong munculnya kebutuhan BPSDM untuk melakukan perubahan.

SARAN TINDAK LANJUT
Agar proses perubahan sebagai upaya meminimalisir faktor risiko yang digulirkan di dalam organ BPSDM maka kemungkinan kesalahan potensial harus dihindari.  Khususnya jangan sampai terjebak pada pola strategy follows structure. Pencermatan dilakukan mulai dari :

Pertama, Rencana tindak perubahan dirancang secara dinamis. Bila tugas dan fungsi BPSDM tidak bisa menjawab tantangan pembangunan bidang Kimpraswil maka kebijakan pelaksanaan harus dinamis. Berbagai pihak yang terkait dengan perubahan (pejabat struktural dan mimbar bebas) perlu merancangkan perubahan dengan matang. Perubahan bersifat mengantisipasi terhadap perubahan yang terjadi di lapangan (di luar BPSDM). Berbagai langkah dinamis yang dapat dilakukan meliputi :
§  Menganalisa kondisi potensial yang dapat menentukan / mempengaruhi kebutuhan akan perubahan di lingkungan internal BPSDM.
§  Merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari perubahan.
§  Memprediksi dampak dan manfaat yang mungkin muncul dengan adanya perubahan.
§  Menemukenali berbagai faktor yang dapat menghambat terjadinya perubahan dan cara mengatasinya.
§  Menyusun  strategi yang tepat untuk mensosialisasikan dan menggulirkan  perubahan.
§  Mempersiapkan parameter dan pendekatan yang akan digunakan untuk mengevaluasi perubahan.
§  Mengadakan  studi banding  ke BPSDM departemen lain yang telah berhasil mengelola perubahan.
§  Merumuskan masukan manajemen dari adanya perubahan.

Kedua, Bangun koalisi dan jejaring kerja yang solid di antara berbagai pihak yang terkait dengan perubahan. Para pejabat struktural dan tingkat pelaksana maupun pihak terkait perubahan lainnya  harus bekerja sama dalam sebuah tim yang solid dalam melaksanakan perubahan ini. Tim dimaksud untuk dapat meningkatkan dukungan terhadap perubahan yang digulirkan dan mencegah terjadinya responsif yang berkelebihan terhadap perubahan.

Ketiga, kelola responsif terhadap perubahan dengan berbagai pendekatan yang sesuai. Untuk memastikan bahwa proses perubahan dapat berlangsung sesuai dengan rencana, maka responsif yang muncul harus dapat diatasi, khususnya dengan adanya kemungkinan pejabat yang lari di tempat sampai staf yang bersifat kontraproduktif. Munculnya responsif dimiliki pimpinan yang tak mau tergoyang kedudukannya. Mereka lebih mengandalkan keberhasilan masa lampau bukannya melihat kenyataan di depan matanya.

Keempat, selain adanya jabatan struktural yang terkadang birokratis atau model kerja yang maunya terima jadi, tinggal lapor ke atasan langsung maka jelas perlu dibuat tim adhoc atau kedaruratan. Tim bekerja berdasarkan keahlian / ketrampilan, jadi bukan berdasarkan ex-officio alias karena jabatan. Pola kerja dengan membagi habis tugas dan pekerjan sudah harus ditinggalkan dan ditanggalkan. Wewenang yang melekat pada jabatan harus disertai dan diimbangi dengan peran yang jelas dan berkelanjutan.

Kelima, membuka pintu untuk menjalin kerja sama dalam rangkaian saling memberdayakan. Dimulai dengan peningkatan kapasitas dan fasilitas yang sudah dipunyai BPSDM, antara lain 29 Balai dan mekanisme pengeluaran sertifikat.

Keenam, dalam nuansa birokratis untuk mendapatkan hasil yang optimal hindari adanya pendelegasian / disposisi tugas secara berlapis-lapis bahkan sampai lini terakhir. Idealnya disposisi cukup turun satu tingkat (misalnya undangan untuk Eselon I bisa diwakilkan ke Eselon II saja, jangan sampai yang datang malah Eselon IV – kondisi ini bisa menimbulkan kesan tidak mengormati pihak pengundang!!!) serta harus dipahami mana tugas yang bersifat jabatan (bisa didelegasikan dan terbatas) dengan tugas yang bersifat perorangan atau personal (biasanya tidak bisa didelegasikan).


Dampak utama dari kesalahan yang dilakukan dalam mengelola perubahan adalah munculnya responsif dari para pegawai, khususnya pada lini pelaksana.  Tepatnya pada pegawai yang tidak mampu mengaktualisasikan diri atau mempunyai nilai jual. Responsif dimaksud adalah suatu bentuk reaksi, tanggap, peka, peduli atau respon atas perubahan. Responsif terhadap perubahan ini sangat beragam. Terlebih mungkin bagi mereka yang sebetulnya tidak menginginkan perubahan, tetapi karena posisinya terpaksa menerima. Bagi yang bersifat moderat dan tak mau repot biasanya jual nama pimpinan agar urusan lancar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar