Halaman

Jumat, 10 Oktober 2014

PELURU UNTUK RAKYAT

PELURU UNTUK RAKYAT
24 April 2011

Konflik horizontal atau bentrokan  antara TNI (oknum atau institusi) dengan warga (di Kebumen, Jawa Tengah), di era Reformasi, sebagai berita biasa, umum bahkan jamak yang ditayangkan langsung atau ulang oleh media masa. Kemungkinan besar banyak tragedi yang luput dari liputan media masa, karena TKP di luar Jawa. Kecuali jika ada aparat TNI yang jadi korban bentrok atau menjadi sasaran amuk masa, akan diekspose secara seksama. Mabes TNI pun selalu punya daya sangkal, bahwa personelnya dalam tahap membela diri sesuai prosedur, jika terpaksa menembak atau melakukan tindak kekerasan. Dari kaca mata hukum, jika terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), baru hukum bicara. Atau dunia internasional ikut menyorot yang berdampak pada embargo alutsista dan suku cadang, pengurangan bantuan pelatihan militer, dibatasinya tukar menukar perwira, menyusutnya kerja sama bilateral maupun multilateral di bidang pertahanan; dll. Setiap sengketa perlu dituntaskan secara demokratis dan sesuai koridor hukum berlaku.

Tidak hanya dengan TNI, warga pun bisa jadi target atau sasaran tembak Polri. Sebagai contoh, bentrok polisi dengan masa kampung Gunungbatin Udik, kecamatan Terusannunyai, Lampung Tengah, di Polsek Tulangbawang Udik, Kabupaten Tulangbawang Barat, Selasa 19-4-2011 pukul 21.30 WIB bakal berbuntut panjang serta menuai perhatian serius dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pasalnya dari keterangan warga yang berhasil dihimpun, saat mendatangi Mapolsek Tuba Udik, ratusan polisi sudah menyambut kedatangan masa dengan taburan peluru. Mental kepolisian setempat perlu diselidiki, mengapa sampai bentrokan tersebut terjadi, apakah ketika itu polisi sudah ketakutan sehingga merespons kedatangan warga dengan tembakan peluru tajam.

Sengketa lahan di Kebumen menjadi akar konflik antara TNI dengan warga. Benang merah tragedi “peluru untuk rakyat” selama ini bersumberkan dari akar konflik yang sangat bervariasi. insiden konflik atau bentrok fisik yang berakhir korban jiwa seolah susah dihindari. Konflik tidak mungkin muncul tiba-tiba atau mendadak, walau bisa muncul secara sporadis. Rentetan kondisi yang disandang pihak TNI : akumulasi masalah dan kasus turun-temurun yang tak pernah tuntas secara hukum; sistem pertahanan yang baur dengan sistem keamanan; tentara masuk kampus dengan berbagai dalih; sikap dan aksi represif tentara terhadap para pengunjuk rasa; dwifungsi ABRI yang masih eksis sisa paradigma Orde Baru; TNI berbisnis dengan dalih kesejahteraan perajurit; TNI dalam jasa pengamanan perusahaan; TNI kembali ke barak; sikap politik para tentara dalam mengawal demokrasi; arogansi aparat terhadap rakyat; masalah internal TNI yang terpendam dan meledak keluar; sensitifitas petinggi TNI dalam menyikapi masalah bangsa dan negara; dsb merupakan pemacu dan pemicu mengapa TNI dengan gampang dan tanpa pikir panjang menyalakkan senjatanya. TNI menjadi ringan tangan dan gatal tangan, baik dikomando maupun karena faktor atau sistem pertahanan.


Upaya untuk meredam konflik, tergantung dari itikad baik dari para petikai atau pelaku. Akar konflik bisa ditemukenali, untuk kemudian dirumuskan solusinya. Namun hubungan antar petikai atau pelaku konflik sukar dieliminir atau diharmoniskan (khusus akar konflik berbasis SARA). Konflik seolah sudah turun temurun (di lingkungan TNI maupun di kalangan masyarakat), menjadi tradisi yang membudaya. Korban pun tak akan terelakkan [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar