PELURU
UNTUK RAKYAT
24 April 2011
Konflik horizontal atau bentrokan antara
TNI (oknum atau institusi) dengan warga (di Kebumen, Jawa Tengah), di era
Reformasi, sebagai berita biasa, umum bahkan jamak yang ditayangkan langsung
atau ulang oleh media masa. Kemungkinan besar banyak tragedi yang luput dari
liputan media masa, karena TKP di luar Jawa. Kecuali jika ada aparat TNI yang
jadi korban bentrok atau menjadi sasaran amuk masa, akan diekspose secara
seksama. Mabes TNI pun selalu punya daya sangkal, bahwa personelnya dalam tahap
membela diri sesuai prosedur, jika terpaksa menembak atau melakukan tindak
kekerasan. Dari kaca mata hukum, jika terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM),
baru hukum bicara. Atau dunia internasional ikut menyorot yang berdampak
pada embargo alutsista dan suku cadang, pengurangan bantuan pelatihan militer,
dibatasinya tukar menukar perwira, menyusutnya kerja sama bilateral maupun
multilateral di bidang pertahanan; dll. Setiap sengketa perlu dituntaskan
secara demokratis dan sesuai koridor hukum berlaku.
Tidak hanya dengan TNI, warga pun bisa jadi target
atau sasaran tembak Polri. Sebagai contoh, bentrok polisi dengan masa
kampung Gunungbatin Udik, kecamatan Terusannunyai, Lampung Tengah, di Polsek
Tulangbawang Udik, Kabupaten Tulangbawang Barat, Selasa 19-4-2011 pukul 21.30
WIB bakal berbuntut panjang serta menuai perhatian serius dari Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pasalnya dari keterangan warga yang
berhasil dihimpun, saat mendatangi Mapolsek Tuba Udik, ratusan polisi sudah
menyambut kedatangan masa dengan taburan peluru. Mental kepolisian
setempat perlu diselidiki, mengapa sampai bentrokan tersebut terjadi, apakah
ketika itu polisi sudah ketakutan sehingga merespons kedatangan warga dengan
tembakan peluru tajam.
Sengketa lahan di Kebumen menjadi akar konflik antara
TNI dengan warga. Benang merah tragedi “peluru untuk rakyat” selama ini
bersumberkan dari akar konflik yang sangat bervariasi. insiden konflik atau
bentrok fisik yang berakhir korban jiwa seolah susah dihindari. Konflik tidak
mungkin muncul tiba-tiba atau mendadak, walau bisa muncul secara sporadis.
Rentetan kondisi yang disandang pihak TNI : akumulasi masalah dan kasus
turun-temurun yang tak pernah tuntas secara hukum; sistem pertahanan yang baur dengan
sistem keamanan; tentara masuk kampus dengan berbagai dalih; sikap dan aksi
represif tentara terhadap para pengunjuk rasa; dwifungsi ABRI yang masih eksis
sisa paradigma Orde Baru; TNI berbisnis dengan dalih kesejahteraan perajurit;
TNI dalam jasa pengamanan perusahaan; TNI kembali ke barak; sikap politik
para tentara dalam mengawal demokrasi; arogansi aparat terhadap rakyat;
masalah internal TNI yang terpendam dan meledak keluar; sensitifitas petinggi
TNI dalam menyikapi masalah bangsa dan negara; dsb merupakan pemacu dan pemicu
mengapa TNI dengan gampang dan tanpa pikir panjang menyalakkan senjatanya. TNI
menjadi ringan tangan dan gatal tangan, baik dikomando maupun karena faktor
atau sistem pertahanan.
Upaya untuk meredam konflik, tergantung dari itikad
baik dari para petikai atau pelaku. Akar konflik bisa ditemukenali, untuk
kemudian dirumuskan solusinya. Namun hubungan antar petikai atau pelaku konflik
sukar dieliminir atau diharmoniskan (khusus akar konflik berbasis SARA).
Konflik seolah sudah turun temurun (di lingkungan TNI maupun di kalangan
masyarakat), menjadi tradisi yang membudaya. Korban pun tak akan terelakkan
[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar